Hari itu, entah apa yang membuat Raihan anakku tiba tiba hadir, tanpa kuberitahu, dia sudah mengenakan pakaian abu abu sutra senada dengan gamisku, ada peci dan kain pinggang yang bersarung hingga ke lututnya. Dia memasuki tempat acara lalu menyalami aku dan irsyad secara bergantian."Selamat, Bunda, selamat Om," ucapnya dengan nada tulus, aku tak melihat sandiwara atau keterpaksaan di wajahnya, wajah dan gestur anakku nampak santai dan ringan."Terima kasih, Nak," jawabku menerima uluran tangannya. Masih dengan rasa heran yang menggelayuti hatiku, aku penasaran sekali kenapa tiba-tiba Raihan datang dan menunjukkan penerimaannya, tapi aku tidak terlalu membiarkan itu kentara, khawatir keheranan Itu akan menular kepada Mas Irsyad.Acara lamaran berlangsung khidmat hingga rangkaian prosesi selesai dilakukan dan tamu tamu berangsur pulang.Mas Irsyad juga mengikuti keluarganya pulang, setelah berpamitan padaku pria itu menaiki mobilnya dan pergi.Tinggallah aku dan keluargaku, juga an
Dia tak menjawab ucapanku tadi, mungkin tercengang, mungkin pula hatinya seakan ditembus tombak ucapan pedas sehingga butuh waktu untuk meresapi perihnya.Panggilan sudah kututup tapi Hamdan memanggil lagi, kutolak, namun ia memanggil dan terus membuatku kesal."Apa lagi!" kujawab tanpa salam karena kesal."Aiisy ...." Dia tak menjawab, tapi menangis sejadi jadinya. Mungkin seumur hidup tak pernah kulihat pria itu menangis sesenggukan macam itu, tapi sekarang dia sungguh terlihat lemah.Kadang, cinta itu menguatkan tapi dengan perhitungan salah serta kecerobohan cinta bisa jadi duri yang menghancurkan. Tadinya hidup Mas Hamdan bahagia, lurus dan damai, kedatangan wanita baru membuatnya berpaling. Lalu, setelah berpisah denganku dia masih menderita juga, berharap bisa menyatukan kami padahal sudah jelas api dan air tidak bisa berada di gelas yang sama."Apa ... kau menelponku hanya untuk memperdengarkan dirimu yang menangis?""Aku tidak punya kata kata, tolong berikan kesempatan andai
"apa-apaan ini Mas, apa kamu berencana untuk membangun rumah di hadapan garasiku?""Aku hanya berkemah untuk melindungi diri dari panas matahari dan hujan?"Ungkapannya terdengar konyol dan polos sekali, aku sampai tercengang!"Oh ya, aku terkesima mendengar jawabanmu yang terdengar innocent sekali, Mas," sindirku."Aku tidak sok Imut Aisyah, aku sedang berjuang," jawabnya santai."Oh ya, hmmm ..." Aku segera naik ke mobil dan berniat untuk pergi meninggalkan tempat itu secepatnya."Tumben pacarmu tidak menjemput!""Hmm, banyak urusan," gumamku sambil memutar bola mata."Mengapa wajahmu tidak senang, aku bicara kenyataan kan?" ujarnya sambil mengejekku, kurasa dia sengaja memancing emosi untuk mencari-cari cara bicara dengan diri ini. Sayang, aku tak punya waktu."Ya, kau bicara kenyataan. Sayangnya kekasihku adalah pria yang sangat sibuk mengurusi bisnis dan menata masa depannya. Dia tidak ada waktu untuk terus bersamaku lagi pulang terus bersama membuat kerinduan tidak berarti rasan
Usai menemui calon suamiku, makan siang bersamanya sekitar dua menit, kuputuskan untuk pulang karena khawatir dengan kedua anak dan keadaan rumah yang katanya berantakan bekas tenda Mas Hamdan.Setelah dua puluh menit berkendara, aku sampai di rumah, belumlah berbelok ke halaman, mobilku terhalang oleh tenda yang melintang di pintu pagar, tertiup angin dan meleyot sebelah. Sambil mendecak menahan marah, aku segera turun dan menyingkirkan benda tersebut, kugeret ke pinggir sambil menahan dongkol di dalam hati.Rupanya tak semudah itu menarik tenda yang dipancang ke tanah oleh Mas Hamdan, aku harus mencabut tiang dulu baru bisa menyingkirkannya."Kurang ajar, merepotkan saja," ujarku geram. Kulipat tenda itu ke pinggir lalu memasukkan mobilku. Kembali diri ini ke depan untuk mengambil tenda tersebut sebelum hilang lalu pergi menutup pagar."Assalamualaikum," ucapku pada anakku."Walaikum salam, Bunda sudah pulang rupanya," jawabnya sambil bangkit dari posisi rebahannya di depan Tivi.
Hari itu sekitar pukul sembilan Ira datang ke rumah, mantan adik iparku yang merupakan bidan itu menemuiku di halaman belakang ketika diri ini sibuk mengurusi ayam dan burung peliharaan."Assalamualaikum, apa kabr, mbak kayaknya ya ....""Ah, enggak kok, ini kasih makan ayam peliharaan Mas Hamdan dulu," jawabku sambil mengibas tangan dan menyambut Ira."Tumben kemari?""Rindu aja dengan keponakan dan Mbak Aisyah," jawabnya."Bisa aja kamu," balasku tertawa."Btw, sebenarnya aku mau ngajakin Mbak ke rumah, aku diminta menyampaikan pesan kalo Ayah dan ibu ingin berjumpa," ucap wanita itu dengan senyum lebarnya."Berjumpa?""Iya.""Kenapa?""Enggak ada, kangen aja."Ya, mungkin karena aku telah belasan tahun jadi menantu mereka, kedua oang tua Mas Hamdan menjadi sangat akrab layaknya orang tua sendiri."Gimana kabar Ayah dan ibumu?""Ayah dan ibu juga masih ayah dan ibunya Mbak, jadi tidak perlu bertanya seperti itu," ujarnya seraya tersenyum padaku."Apa mereka sakit?""Tidak, sehat sa
"kalau begitu saya pulang saja, situasinya jadi gak enak," ucapku sambil bangun dan megambil tas."Tunggu dulu, kamu baru saja datang," ucap Ibu mertua."Saya rasa canggung sekali berada di tempat ini lama-lama, terlebih saya bukan lagi anggota keluarga.""Ya, tahu diri sana," jawab Mas Hamdan dengan muka tak senang. Nampaknya sikapnya benar-benar berubah, dia yang tadinya ingin kembali padaku, sekarang berubah seakan kami adalah musuh kebuyutan."Hamdan, jaga bicaramu!" bentak ayah sambil menghardiknya agar menjauh."Aku harus bagaimana ayah, mengapa ayah mengundangnya sehingga pertemuan kami jadi seperti ini. Harusnya aku gak bertemu dia lagi agar kami tak berdebat lagi!""Kau itu pergilah lanjutkan urusanmu, jangan di sini!" ujar ayah dengan gemasnya."Apa? gara gara Aisyah aku diusir di rumah sendiri?"Mas Hamdan terbelalak dan rasanya tidak percaya dengan kenyataan."Pergilah sebelum ayah benar-benar kesal!" ucap ayah mertua menunjuk pintu utama, "aku menyuruhnya kemari demi h
"Mau kemana ini?!" Dia yang turun dari mobil langsung menghempas pintu dengan kasarnya."Kamu keluar," jawabku singkat."Kemana?" tanyanya sambil mengangkat dagu, sungguh songong!"Kemana saja, yang penting menyenangkan. Minggir sana, janga halangi mobil kami," jawabku."Kamu boleh pergi, tapi tak perlu mengajak anak anakku, karena aku ke sini datang menjemput mereka," ujarnya lantang.Entah untuk berapa kali lagi aku harus dipermalukan oleh perbuatan mantan suami. Sudah sering aku canggung pada warga kampung dan tetangga karena sikap Mas Hamdan yag selalu cari perhatian dan bikin ribut. Sekarang, apa-apaan dia ...."Maaf ya, anak anak mau pergi dengan kami," ucap Irsyad menimpali."Diam kamu! Kamu bukan bapaknya!" bentak Mas Hamdan sambil melotot, putri kecil Irsyad nampak takut dan meringkuk ke lengan ayahnya karena takut pada mantan suamiku."Biar anak anak yang tentukan mau ikut siapa!" selaku cepat.Anak anak kupandangi, mereka membalasku dan menggeleng kecil, isyarat bahwa mer
Ada masanya aku bosan hanya berada di rumah, hanya sibuk menghitung detik dan menunggu waktu serta menonton tv saja. Kuputuskan untuk pergi menyibukkan diri di kebun, merawat sayur dan tanaman hidroponik yang kukembangkan di rumah penyemaian.Setelah mengganti baju dengan pakaian berkebun, aku ke rumah kaca untuk merawat sayuran organik, menyemprot dan merawat sepenuh hati agar tumbuhannya subur dan tidak diganggu ulat pemakan daun.Tak terasa waktu berlalu, sejam kemudian aku kedatangan seseorang yang sudah kuduga akan mencariku. Mas Hamdan lagi.Dari kejauhan dia nampak menyapa dan menyalami pekerja di kebun, memeriksa taman dan padi lalu bersitatap denganku yang kini merawat sayur dan buah anggur.Tentu saja dia yang melihatku sendiri tidak melewatkan kesempatan itu untuk mendatangiku."Assalamualaikum kau terlihat telaten sekali," ujarnya menyapa."Waalaikumsalam Apa yang kau lakukan di tempat ini?""Kau terdengar seakan tidak menyukai kedatanganku," ucapnya dengan wajah tid