Setelah mengatakan hal itu, Raihan lalu beralih ke kamarnya. Untuk beberapa saat aku tercenung mencoba meresapi ungkapan protes yang diucapkan secara tersirat oleh Raihan. Aku tahu, anakku menyindir diri ini yang lalai. Dan ya, aku tak berhak memprotes balik karena bagaimana pun, harusnya peran orang tua mencakup segala hal dalam kehidupan anak termasuk mencukupi kebutuhan, waktu berkualitas dan kasih sayang.Kuhela napas pelan lalu memulai mengolah makan siang yang rasanya sudah kesorean. Ya, waktu telah menunjukkan pukul dua lewat lima belas siang dan anakku belum makan juga. Setelah dua puluh menit berkutat sibuk di dapur membuat spaghetti bolognese dan French fries kesukaan mereka, kupanggil kedua anakku untuk makan."Raihan, Zahra .... ayo makan," ucapku di tangga.Tidak ada sahutan di sana, sepi dan hening sekali."Raihan, Zahra?" Masih tidak ada jawaban, mungkinkah kedua anakku tidur?Kunaiki tangga dan pergi memeriksa dua kamar dengan nuansa babyoink dan biru langit itu.
Kenyang," jawabnya singkat. Meski tersenyum, aku menangkap sekali kekecewaan yang sama seperti yang kakaknya rasakan."Maafka Bunda ya ....""Jangan terlalu sering minta maaf, tidak apa apa, jangan dipikirkan," jawabnya sambil beralih ke kamar.Aku terduduk sedih di kursi kebun belakang sambil menahan air mata yang tak sengaja tumpah, perlahan kurasakan sensasi hampa yang lebih menyakitkan daripada dtinggal Mas Hamdan. Ditolak perhatian oleh ana sendiri adalah kepahitan yag sulit kuterma, karena seumur hidup, mereka bersamaku, aku yang telah melahirkan merawat dan selalu berusaha membahagiakan mereka. Tapi kenapa, sejak permasalahan dengan Mas Hamdan bergulir, anak-anak cenderung menjadi pendiam dan dingin. Mereka seakan ingin menunjukkan protesnya lewat kebungkaman, sementara aku sendiri tak paham, tidak menangkap, apa yang sebenarnya mereka inginkan.Apakah sebenarnya mereka tidak setuju dengan perceraianku dengan Mas Hamdan? Kalau ternyata tidak setuju kenapa tidak diutarakan saj
"Apa maksudmu mengatakan itu di depan anak anak?!" tanyaku marah, jelas dia akan memantik kesalah-pahaman."Jangan mengalihkan pembicaraan. Bukannya, pria yang berkencan denganmu di cafe itu terlihat sangat tampan dan menggairahkan. Dia pasti sudah mengalihkan duniamu kepadanya?" ujar Mas Hamdan sambil mendecak dan menatap pada anak anak."Apa? Kencan? Sudah kubilang dia adalah teman lamaku yang kemudian berbisnis dan kami sedang membagi hasil? Perlukah ribuan kali menjelaskan pada seseorang yang harusnya sudah toxic dan tidak perlu diberi penjelasan?!""Tentu saja kau merasa penting menjelaskannya padaku, karena aku adalah Ayah dari anak-anakmu, dan ... tentu saja anak-anak ini juga butuh jawaban mengapa akhir-akhir ini kau menyebalkan sekali, hahahahah," ujarnya yang makin membuat anak anak mendelik sinis padaku."Apa? Aku menyebalkan? tahu apa kau tentangku dan keseharian kami?!" Aku terbelalak dan tidak percaya betapa liciknya Mas Hamdan ingin menjatuhkan martabatku di hadapan putr
"Jaga bicaramu, sampai hari ini aku masih bertanggung jawab pada anakku. Jangan coba mempengaruhi mereka atau berusaha merebut mereka dariku! Kau hanya laki-laki yang tidak bertanggung jawab lagi gila selangkangan!""Bunda! Jangan hina ayah!" teriak Raihan. Mas Hamdan hanya melipat tangan di dada sambil mengangkat alisnya dengan tawa senang.Cepat kilat putraku masuk ke dalam kamarnya entah apa yang dia lakukan, tapi lima menit kemudian terlihat dia membawa ransel dan mengenakan sepatunya."Apa ini? Kamu mau kemana?" tanyaku bergegas menyongsongnya."Aku akan pergi dengan ayah agar Bunda tidak repot lagi. Ayah tidak akan melarang banyak hal dan tak perlu menetapkan banyak aturan. Ayah akan mencukupiku tanpa bertanya untuk apa dan bagaimana aku menggunakan uangku!" jawab anak sulungku."Bagus Nak, akhirnya hati dan pikiranmu terbuka juga untuk menentukan kau ikut siapa. Ayah menghargainya," ucap mantan suamiku sambil menepuk bahu putranya lalu merangkul dan mengajak dia pergi."Tidak bi
Ternyata belum selesai ejekannya, dia yang sudah nyaris meninggalkan rumah masih kembali dan berkata."Uhm, kau bilang ingin membuktikan bisa menikah lagi? kurasa kau tak akan bisa mendapatkan pria yang lebih baik dariku." Setelah mengucapkan itu dia melambai dan pergi begitu saja."Dengar Hamdan, jika kau masih datang ke sini lagi, maka aku akan mengutuk anak dalam kandungan Maura cacat mental dan Fisik!""Apa katamu!" dia berbalik dan ingin memukulku."Apa kau mau pukul aku?! apa kau tersinggung? begitu pula perasaanku, Hamdan. Heh, dengan percaya dirinya kamu bilang aku tak akan dapat pria lain yang lebih, kau pikir kau malaikan yang sempurna, enyahlah kau Hamdan.""Dasar wanita gila! di depan anak pun kau sama sekali tidak memfilter ucapanmu!" "Aku sudah terlanjur Murka Hamdan, kamu merampas segalanya dari hidupku!""Aku tidak merampas, tapi kau lah yang memilih pergi, aku sudah memberimu pilihan dan kenyamanan, tapi kau tetap memilih berpisah jadi aku ambil saja segala yang p
"Di mana tempatnya?""Restoran dan kafe milikku," Jawabnya."Jadi tuan rumah datang untuk menjemputku? Manis sekali terima kasih...'"Segeralah ganti baju dan ikut dengan kami," ujarnya sambil memberi isyarat dengan tangannya.Sebenarnya ini baru 9.30, aku saja menyelesaikan pekerjaan rumah bahkan belum sempat mandi, aku juga harus menyiapkan makan siang untuk Zahra sebelum meninggalkan rumah."Aku bersedia ikut tapi bolehkah aku memasak makanan untuk Zahra?""Kau bisa kembali lebih awal dan aku akan membuatkan makanan spesial kedua anakmu," ujar pria itu dengan senyum mengembang lembut."Hanya Zahra tidak ada orang lain," jawabku membalas dengan senyum getir."Memangnya Raihan kemana?""Di pergi ke rumah ayahnya. Semalam masa mendatang dan mengungkit soal pertemuan kita, dia menciptakan kesalahpahaman yang membuat putraku murka.""Maafkan aku karena aku kau mengalami kejadian pahit seperti itu. Aku benar-benar menyesal." Pria itu nampak menunduk sedih dan menghela nafasnya pelan."I
Mungkin setelah hari itu, semuanya berubah. Sejak Irsyad mengatakan bahwa aku telah mendapatkan sosok pengganti yang lebih baik, dia seakan ingin menunjukkan itikad bahwa dialah yang akan menggantikan ayah Raihan. Memang pria itu tidak menyatakan secara langsung rasa suka dan cinta, tapi sikapnya, membuatku merasa dihargai, dilindungi dan dimuliakan.Contoh kecilnya, saat kami berkumpul dengan teman teman, pria itu selalu ada di sampingku, dia berusaha membuatku nyaman dan tidak kaku membaur dengan yang lain. Dia tidak meninggalkanku sendiri demi bersenang senang dengan kawan lelakinya. Kemana pun pergi, kalau sempat dia akan mengantarku, setia menunggu lalu membawaku pulang lagi. Kupikir itu sudah hubungan yang lebih dari teman, meski secara tersirat dia jarang mengarah ke hubungan lebih daripada teman.*"Uhm, sudahkah kamu merasa siap untuk kehidupan yang lebih baik?" itu pertanyaannya ketika suatu sore mengantarku pulang."Apa maksudnya?"Aku meraba maksud yang tak mau kutebak s
"... Tidakkah kamu merasa bahwa kita memang sangat akrab dan orang-orang menilai bahwa kita memiliki hubungan khusus seperti sepasang kekasih? Aku sudah bahagia dan percaya diri bahwa kamu akan menerimaku, tapi ... kau mengutarakan penolakan bahkan sebelum aku mengatakannya," jawab pria itu sambil tertawa canggung."Apa hubungan harus dimulai dari ucapan cinta dan proses pacaran?""Tidak juga, aku dan kamu pernah jadi teman sekolah selama tiga tahun, sedikit tidak kau tahu aku. Ditambah sekarang ini, kita sering pergi ke acara dan berbisnis bersama, kita mendewasa dan berpikir, kurasa kau bisa menilai Aisyah.""Kalau begitu, pergilah ke rumah ayahku dan lamarlah aku di sana."Sesaat wajah yang tadinya sendu, langsung terkejut, mata hitamnya membulat lalu ada sunggingan senyum bahagia tergaris di bibirnya."Apa kau menerimaku?""Ini bukan tentang kita, jika kamu berpikir kita akan bahagia dan serasi bersaama, maka tak mengapa lanjutkan saja.""Lalu bagaimana dengan putramu yang sudah k