[ Selamat pagi, Mas.] Sebuah pop up muncul di layar Dani. Iseng-iseng Reni membuka gawai milik suaminya itu.
'Deg!' Entah kenapa dia merasakan sesuatu yang berbeda. Dengan tangan gemetar Reni berusaha membukanya.
Muncul beberapa pesan lagi setelahnya yang bisa membuat Reni benar-benar sesak nafas.
'Apa sebenarnya yang menjadi bahan omongan?' Hatinya terus menduga-duga, dia berusaha berpikir positif, tapi kata-kata di pesan itu terus mendorongnya berpikir negatif.
[ Aku ingin Mas menjadi ayah dari Fandi. Kita akan bersama-sama membesarkan anak-anak kita.] Begitulah isi pesan itu. Diliriknya Dani yang masih terlelap dalam tidurnya.
Matahari sudah mulai terbit tapi suaminya itu bukan tipe orang yang biasa bangun pagi. Bahkan untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim saja, Reni jarang melihatnya.
'Apa setega itu Mas Dani sama aku?'. Sudut matanya mulai memanas. Dipandanginya wajah polos suaminya yang selama ini selalu manis padanya.
Memang benar, di usia pernikahan mereka yang menginjak angka tujuh tahun, pasangan itu belum juga dikaruniai momongan.
'Tapi, bukankah pernah ke dokter dan setelah tes lab, sperma Mas Dani yang bermasalah?' Sudah tak sanggup menahannya, air mata itu akhirnya luruh juga.
Dalam diam Reni menangis sesenggukan seorang diri. Dani, suaminya tak akan bangun. Dia hanya bisa bangun jika tubuhnya diguncang dengan sangat kencang.
'Apa yang harus aku lakukan?' Ingin rasanya saat ini juga dia menanyakannya pada suaminya. Tapi yang ada pasti bukan jawaban yang dia inginkan, melainkan sebuah kebohongan. Reni sangat hafal dengan sifat suaminya satu itu.
Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu akhirnya mengusap pipi dan sudut matanya. Dia tak boleh gegabah. Biarlah saat ini dia pura-pura tidak tahu, tapi dia harus mengumpulkan bukti untuk membalas keduanya.
***
Dani sudah sampai di pabrik tempatbya bekerja. Hari-harinya bekerja kini tidak akan membosankan lagi. Sejak Tari, janda anak satu, kini bekerja satu bagian dengannya.
"Mas," sapa Tari pada Dani ketika keduanya bertemu di halaman depan pabrik. Dani sumringah melihat kekasih hatinya itu.
Tari memiliki perawakan yang cukup berisi, beda dengan Reni, istrinya. Reni memiliki tubuh yang bisa dibilang kurus. Meski secara kecantikan sama saja. Tapi sekali-sekali Dani juga ingin merasakan yang berisi. Dasar laki-laki.
"Eh, sudah dari tadi, Yank. Tentu saja mereka saling memanggil dengan sebutan 'yank' jika sedang berdua saja. Teman-teman kerja Dani sudah tahu jika dia sudah punya istri. Jika mereka berjalan bersama pasti ngiranya cuma teman kerja yang sedang berbincang.
Tari merupakan karyawan baru di pabrik tempat Dani bekerja. Entah kenapa sangat mudah bagi Dani untuk merayu Tari.
Dani berpikir, dia bisa mencoba berhubungan dengan Tari untuk mengetahui apakah dirinya bisa punya anak atau tidak. Sudah jahat memang niat awalnya.
"Barusan aja. Kok pesanku nggak dibales, sih?" tanya Tari dengan nada manja.
'Pesan?' Dani mengernyitkan dahinya. Sedari pagi dia cek handphonenya tapi tidak ada pesan apapun dari kekasihnya itu.
'Apa Reni yang baca? Terus dihapus? Tapi kok nggak ngomong apa-apa? Gawat kalau Reni sampai curiga.' Segala pemikiran berputar di kepalanya. Bagiamanapun Dani masih mencintai Reni. Istrinya itu satu-satunya yang tetap bertahan dengannya.
Dari dia cuma pengangguran, sedang istrinya yang kerja. Punya usaha juga tidak berjalan mulus, istrinya tetap setia menyokongnya. Hingga kini dirinya punya pekerjaan tetap di pabrik. Semua tidak lepas dari bantuan istrinya yang menggunakan koneksi keluarganya.
Kini Reni memang tidak lagi bekerja karena ingin sekali memiliki momongan. Siapa tahu kalau tidak kecapekan karena bekerja, Reni bakal cepat hamil. Meski sudah 2 tahun sejak memutuskan resign, belum ada tanda-tanda rahim istrinya itu terisi benihnya.
"Mas ... Mas ...." Tari tampak menggoyang-goyangkan lengan Dani ketika melihat kekasihnya itu hanya melamun.
"Ha!" Dani segera sadar jika ada Tari di sampingnya. Tidak mungkin dia bilang kalau Reni yang membuka pesannya.
"Oh ... Mas lupa, Yank. Kesiangan tadi bangunnya. Nggak sempat bales pesanmu." Mereka berdua memang sepakat saling mengirim pesan lewat SMS saja, bukan lewat WA.
"Oh, kirain kenapa? Sudah sarapan, Yank?" Tari memang sangat perhatian, sehingga membuat Dani ingin sedikit bermain-main dengannya.
Salahkah perasaannya saat ini yang mencintai dua wanita di waktu yang bersamaan? Tapi, bukankah cinta tak pernah salah?"Belum. Aku sengaja mau sarapan sama kamu." Lelaki itu menowel hidung kekasihnya yang membuat mereka terbahak bersama.
"Yaudah. Kita ke kantin aja dulu. Keburu bel masuk." Tari tersenyum ke arah Dani. Jika orang yang belum tahu pasti ngiranya, mereka ini adalah sepasang kekasih, meski nyatanya memang gitu.
Tapi, jika ditanya oleh teman kerjanya, Dani selalu beralasan jika memang mereka cuma teman yang kebetulan nyambung jika ngobrol.
[Nanti sore jadi 'kan, Mas?] Tari mengirimkan sebuah pesan pada Dani.
Mereka berdua kini sedang makan di kantin.
Tidak berdampingan dan agak jauh, agar orang lain tidak terlalu curiga.[Aku antar istri dulu ke rumah orang tuanya. Biasanya dia akan lama di sana. Biar kita bisa bebas mainnya]. Dani tersenyum penuh arti pada wanita yang duduk di depannya itu, meski terhalang beberapa meja. Tari pun balas tersenyum. Birahi keduanya sudah di ubun-ubun.
[Baiklah, Mas Dani sayang. Aku udah nggak sabar nunggu. Aku pastikan aku bisa hamil dengam segera.] Sebulan mengenal Tari, Dani memang sering bercerita tentang rumah tangganya. Yang sudah menikah tujuh tahun tapi belum dikaruniai anak. Dan juga tentang tabiat istrinya yang sedikit keras kepala.
Seperti gayung bersambut, setiap keluahan Dani menimbulkan perasaan tersendiri di hati Tari. Dirinya yang sudah dua tahun ini hidup menjanda, menjadikannya haus akan belaian laki-laki.
Kata-kata manis Dani mampu membuat Tari bertekuk lutut. Dia pun yakin mampu memberikan putra untuk kekasihnya itu, karena dia sendiri sudah pernah melahirkan. Tak ada yang salah dengan rahimnya.
Bukannya tak ada pria lajang lain, tapi mungkin setan sudah menguasai keduanya, hingga rela menabrak norma dan aturan yang ada.
Agama yang dianut, hanya menjadi sebuah status di kartu pengenal.
[Kamu nggak papa jadi istri kedua, Tari?] Dani memang tidak menjanjikan akan menceraikan istrinya, karena bagaimanapun kebersamaan selama tujuh tahun tidak bisa dia hilangkan begitu saja. Sekeras apapun istrinya, dia masih sangat mencintainya.
[Aku nggak masalah, Mas. Yang penting aku bisa memilikimu.] Entah cinta apa yang dirasakan Tari pada suami orang itu, yang pasti cinta terlarang mereka akan menimbulkan mala petaka bagi keduanya.
Setelah pesan terakhir itu, keduanya saling tersenyum. Seolah ini adalah jatuh cinta yang pertama bagi mereka. Tak peduli dengan status ataupun perasaan orang lain. Yang pasti hanya nafsu yang akan mereka turuti untuk saat ini.
"Yank, kamu jadi balik kampung?" Dani memeluk Reni dari belakang, meniup-niup leher istrinya itu, hingga Reni merasa geli. Meski banyak pertanyaan yang ingin dia lontarakan, namun Reni memilih untuk menahannya terlebih dahulu. Dia harus benar-benar membuktikan semuanya."Iya, Yank. Aku udah kangen ama mereka- bapak dan ibu Reni-. Aku mau di sana seminggu, ya?" Reni berbalik menatap suaminya, dia tampilkan senyum semanis madunya, meski nyatanya hatinya ingin menjerit."Baiklah ...." Jawaban dari Dani tak seperti yang dibayangkannya. Biasanya dia akan protes dan dalam dua hari pasti sudah menjemputnya. Tapi, kini dengan mudahnya berkata baiklah. Reni benar-benar kecewa dengan jawaban Dani."Boleh?" Sekali lagi ingin memastikan jawaban yang keluar dari bibir Dani, kini matanya menatap lurus ke arah mata suaminya."
Reni merasa sangat gelisah. Handphone Dani sedari tadi tidak diangkat. Pas ditelepon nyambung, tapi tidak diangkat-angkat juga."Kemana kamu, Yank?" Reni mondar-mandir di dalam kamarnya. Perasaannya sungguh tak enak.Semenjak berpisah siang tadi, tak sekalipun suaminya itu menghubunginya. Bahkan untuk sekedar mengabari kalau dia sudah sampai di rumah.Sebagai istri, tentu saja Reni sangat khawatir. Meski beberapa hari ini pikirannya dipenuhi sebuah kecurigaan. Namun, sebagai seseorang yang telah bersama selama tujuh tahun, tentu saja bukan perkara kecil ketika tidak mendapat kabar sama sekali dari pasangannya."Apa kamu sudah sampai di rumah, Yank?" Tidak biasanya suaminya seperti ini. Beberapa hari ini dia memang menemukan hal-hal yang tidak biasa pada suaminya, yang membuatnya lebih curiga.&n
Sudah seminggu Reni berada di rumah orang tuanya, dan Dani sama sekali tidak merajuk untuk menjemputnya, seperti yang selama ini dilakukannya.Pria itu hanya sesekali menghubungi Reni, itupun hanya sekedar lewat pesan, tak sampai video call.Reni tak terlalu kaget dengan hal ini. Dia sudah bertekad memantapkan hatinya untuk tidak lagi menangis karena Dani. Seminggu ini, tidak Reni habiskan hanya untuk berdiam diri. Dengan sisa uang simpanannya, dia berusaha membangun usaha yang bisa diurus oleh adiknya. Kebetulan Zaki, adik satu-satunya Reni, adalah anak yang terbilang cukup rajin. Meski dia masih duduk di kelas sebelas, tapi bibit-bibit berbisnis sudah mulai kelihatan."Dek ...," panggilnya pada Zaki yang tengah menyapu halaman belakang.Zaki dengan patuh menghampiri kakaknya yang kini berdiri di belaka
"Siapa, Mas yang ngirim pesan?" tanya Tari penasaran. Dani dan Tari sedang makan di salah satu warung bakso di sekitar tempat kerja mereka.Hari ini hari Sabtu dan seharusnya mereka libur kerja. Tapi sejak mengantar Reni kemarin, Dani pamit dengan orang tuanya untuk berangkat dari tempat istrinya itu. Tentu saja mereka tidak curiga sama sekali saat Dani tidak pulang ke rumah. Padahal malam-malamnya dia habiskan bersama Tari, yang hanya pasangan zinanya."Biasa ... siapa lagi," jawab Dani singkat."Istrimu yang galak itu?" Ada nada mengejek dalam pertanyaannya."Hmmm ....""Tapi, aku nggak habis fikir, deh, Mas. Bisa-bisanya dia itu tidak melayani suami dengan baik. Kalau aku, ya. Pasti suami aku bakal aku layanin dengan baik. Seperti malam tadi." Beberapa hari ini
Pagi-pagi sekali Dani sudah sampai di rumah mertuanya. Secangkir kopi kini sudah ada di hadapannya. "Dari rumah jam berapa, Dan?" tanya Bambang, ayah Reni. Pria berusia 55 tahun itu duduk di kursi ruang tamu untuk menemani menantunya. Karena ayahnya menderita asam lambung, Reni hanya menyuguhkan segelas teh hangat untuk ayahnya itu."Sekitar jam 6 tadi, Yah." Bambang hanya manggut-manggut mendengar jawaban Dani.Setelah basa-basi dengan mertuanya itu, Dani pun segera pamit untuk pulang ke rumah. Orang tua Reni masih menyambut hangat menantu kesayangannya itu. Reni sendiri belum bisa bercerita pada keluarganya.Dengan motor matic keluaran 2016, Dani membonceng Reni meninggalkan halaman rumah orang tuanya.Meski Reni sudah
[ Alhamduillah baik, Ren. Ada apa?]Sebuah pesan masuk . Reni segera melihat ke arah pesan itu. Dengan buru-buru dibalasnya dan mengirimkannya.[ Aku pengen ketemu, kangen nich. Aku main tempat kos kamu, ya.] Reni pikir lebih sopan jika meminta tolong dengan bertatap muka.Reni dan Tasya memang dulu sangat akrab ketika keduanya sama-sama bekerja di pabrik yang sama. Jadi, sudah tak segan lagi bagi Reni untuk bertemu.[ Boleh-boleh aja. Kapan kamu mau main?] [ Besok gimana?] Reni benar-benar tidak sabar ingin tahu tentang Tari. Sebenarnya dia ingin hari ini juga, tapi mengingat hari sudah sore, diurungkannya niat awalnya.[ Oke, deh. Besok aku pulang jam 4.][ Oke]Ren
"Eh itu si Dani, Ren !" Tasya menyenggol lengan Reni. Wanita itu segera mengikuti arah pandang sahabatnya itu.Tentu saja Reni sangat hafal dengan sosok dan perawakan Dani, dan dia yakin bahwa itu adalah dia.Dani berjalan melewati gerbang sendirian. Reni tidak menemukan tanda-tanda suaminya itu tengah berbicara dengan wanita lain."Itu ... yang namanya Tari." Tasya menunjuk ke arah seorang wanita yang berjalan di belakang Dani. Cukup lama Reni mengamatinya, wanita berambut panjang dengan tubuh sedikit berisi. Terlihat begitu segar, tak seperti dirinya yang terlihat seperti bunga yang layu.Reni membuang nafas, 'Apa Mas Dani udah bosen ama yang kerempeng kayak aku?' Hatinya terus menduga-duga kenapa suaminya itu bisa sam
Dani memasuki kamarnya, hatinya dipenuhi amarah ketika mendengar aduan dari ibunya tadi. Ditambah nafsu yang tidak tersalurkan saat bersama Tari tadi membuat amarahnya semakin memuncak.Dilihatnya Reni yang sudah tidur berbaring memunggunginya."Yank ... yank ...!" panggil Dani kasar. Reni bergeming, dia pura-pura tertidur. Dia tahu apa yang akan dikatakan suaminya itu.Kini Dani mendekatkan tubuhnya pada Reni, dan mengguncang-guncang bahu istrinya agar terbangun."Yank ....""Eugh ...." Reni menggeliat, dia membalik tubuhnya dan menatap wajah suaminya yang penuh dengan amarah.Reni terduduk dan berusaha bersikap biasa, "Kenapa, Mas?" Wanita itu mengernyitkan dahinya, seolah penasaran dengan apa yang akan dikatakan suaminya. Padahal dia sudah menduganya.