La Rossa masuk ke dalam kamar, ia mengedarkan pandangannya menelisik isi kamar itu. Dan ternyata kamarnya bersih, bahkan tidak terlihat seperti kamar yang lama tak dihuni.“Siapa yang menempati kamar ini?” batin La Rossa.Ia lalu berkeliling sembari menyentuh setiap perabotan yang ada di dalamnya. “Tak ada debu, benar-benar bersih,” gumam La Rossa.Ia duduk di pinggiran ranjang, matanya terus berkeliling. Pandangan mata La Rossa terkunci pada sebuah foto usang berbingkai kayu berwarna hitam yang terpampang di atas nakas yang ada di samping ranjang.Ia bangkit dan berjalan mendekati nakas, mengambil foto itu dan mengamatinya dengan penuh saksama. Ia mengerutkan keningnya, wajahnya terasa familiar. Tapi, ia tak pernah melihatnya.Ia terus mengamati foto itu. Seorang wanita yang cantik dengan mata biru dan hidung mancung persis seperti milik Gilbert. “Ah! Ya Gilbert, ia mirip Gilbert,” gumam La Rossa.“Mata dan hid
Keesokan harinya La Rossa bangun ketika ada yang menyentuh pundaknya. Ia tersentak kaget dengan gerakan yang sangat cepat, ia menangkap tangan itu dan memelintirnya.Tinjunya melayang menghantam perutnya. BUGH! “Ah ...!” pekik dan teriaknya.“Gilbert?!” La Rossa menatap wajah Gilbert yang tengah meringis menahan sakit di perutnya.La Rossa menggaruk tengkuk kepalanya canggung, ia tak terbiasa ada orang lain di dekatnya. Bahkan Jhonny saja sangat jarang, bahkan hampir tak pernah membangunkan dengan menyentuh atau mengguncangnya.“M-maaf ...,” La Rossa dengan suara lirih meminta maaf.“Tak apa. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” Gilbert tersenyum manis pada La Rossa. "Jauh lebih baik," La Rossa turun dari tempat tidurnya. "Aku menunggumu untuk sarapan bersama," Gilbert lalu keluar dari kamar. La Rossa membersihkan dirinya dan berganti pakaian, setelah rapi ia keluar dari kamar menuju ke ruang makan. Semalam ia belum sempat melihat-lihat seluruh ruangan dalam rumah ini. Lebih tepatnya temp
La Rossa memandang Gilbert dengan tatapan penuh menyelidik. Rasa tak percaya kalau Gilbert memiliki kekuatan begitu besar. Bagaimana mungkin, bukankah Gilbert selama ini tak pernah keluar dari mansionnya? Lalu mulai kapan Gilbert menyusun dan membangun kekuatannya? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak La Rossa.Gilbert merasakan tatapan menyelidik dari La Rossa. Tapi, ia berpura-pura tak mengetahuinya. Gilbert kembali menawari La Rossa untuk ikut bersamanya."Ikutlah bersamaku Ros!" pinta Gilbert."Tidak! Aku tidak bisa, maafkan aku," La Rossa kembali menolak tawaran dari Gilbert."Baiklah. Aku tak akan memaksamu. Tapi, tunggulah sampai aku kembali, baru kamu menyelidiki kematian kedua orang tuamu," Gilbert mengalah dan tak memaksa La Rossa untuk ikut bersamanya."Tapi ...,""Aku mohon!""Baiklah!"Akhirnya La Rossa yang mengalah. La Rossa beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Gilbert dan teman-temannya. Ia kembali k
"Cari tahu kebenarannya!" Gilbert memerintah dengan dingin.Sungguh ia tak pernah mengira jika Magdalena masih hidup, jelas-jelas ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau jasad Magdalena di semayamkan bersanding dengan Papanya Abyakta."Baik bos!" jawab Jonathan.Tangan Gilbert terangkat ke atas, dan mereka semua yang ada di sana pun pergi satu per satu meninggalkan meja makan. Menyisakan Gilbert seorang diri. Ia menopang kepalanya menggunakan kedua tangannya, alisnya berpaut satu sama lain.Gilbert berpikir keras mengenai kematian Magdalena, ternyata ada banyak teka teki mengenai kematian orang tuanya. Abyakta Aditama seorang pengusaha nomor satu di Indonesia. Ia merupakan pemilik perusahaan Aditama Company, perusahaan terbesar Se-Asia Tenggara.Namun, sayang penyebab kematiannya sampai detik ini belum terungkap. Gilbert menyakini kematian mereka akibat ulah dari paman tiri satu-satunya, yaitu Alfredo Aditama. Gilbert menghempaskan amplop coklat itu ke atas meja hingga isinya
Gilbert tak beranjak sejengkal pun dari sisi La Rossa. Ia dengan sabar menemaninya, tiba-tiba tangan La Rossa menggapai-gapai di udara seolah sedang meminta tolong. Keringat dingin mengucur dari pelipis turun ke pipinya. Gilbert dengan penuh kasih sayang menggenggam tangan La Rossa, ia juga mengelap keringat yang ada di dahi dan pipi La Rossa lembut. "Jangan pergi! Kumohon! Jangan pergi!" igau La Rossa. "Jangan tinggalkan aku. Aku mohon!" La Rossa terus mengigau. Gilbert dengan penuh kasih sayang membisikan sebuah kalimat yang menenangkan untuk La Rossa. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Jangan takut! Ada aku di sini yang akan melindungi dan menyayangimu," bisik Gilbert tepat di telinga La Rossa. "Jangan pergi!" semakin lama suara La Rossa semakin lirih. Lalu tubuh La Rossa menggigil hebat, Gilbert menjadi semakin khawatir melihatnya. Ia meraba keningnya, panasnya masih tinggi. "Dingin!" lirih La Rossa dengan mata yang masih terpejam. Gilbert naik ke atas ranjang, ia masuk ke da
Gilbert menarik La Rossa dalam pelukannya, ia mendekapnya erat seakan takut akan kehilangan. La Rossa pun menyambut dekapan itu dengan balik memeluk pinggang Gilbert. Wajahnya ia sembunyikan di dada bidang Gilbert, ada rona merah nyata dalam raut wajahnya.La Rossa merasa malu sekaligus bahagia, ia tersenyum tipis. Tak ada seorang pun yang pernah melihatnya tersenyum persis seperti saat ini. Manis dan cantik. Wajah kaku dan beku La Rossa kini berubah menjadi manis dan imut, siapa pun yang melihatnya akan tertipu dengan mimik wajahnya saat ini.Dunia hitam mengenal La Rossa dengan wanita dingin dan kejam, ia tak pernah berpikir untuk memberi kesempatan kedua bagi musuh atau targetnya. Ia akan menghabisi para musuhnya tanpa berkedip. Gilbert berbisik di telinga La Rossa, memohon agar La Rossa tetap berada di sisinya, "Tetaplah berada di sisiku, menemaniku hingga senja dan ajal menjemput. Jangan pergi lagi,""Aku akan pergi malam nanti, patuh dan jadilah gadisku yang penurut, hmm." sam
La Rossa akhirnya bertanya, karena ia tak bisa memendam rasa penasaran dalam hatinya, "jika Tante Magdalena masih hidup lalu kemana saja selama ini? Dan jika ia tak diketahui keberadaannya kenapa kamu tidak mencarinya? Bukankah kamu memiliki kekuasaan?"Gilbert menatap La Rossa, "kamu sudah mengetahuinya?"La Rossa tersenyum mengejek, "hanya orang bodoh yang tidak mengetahuinya, kecuali ia orang dungu."Gilbert mencubit pipi La Rossa gemas, "matamu jeli dan tajam,""Bagaimana dengan pertanyaanku?" La Rossa kembali berusaha mengungkit pertanyaan yang telah ia ajukan."Aku baru mengetahuinya beberapa jam yang lalu, Jonathan membawa kabar yang mengejutkan ini," Gilbert meraih amplop coklat yang tadi ia letakkan di atas meja nakas.Gilbert menyodorkannya pada La Rossa. Kemudian La Rossa meraihnya dan merogoh meraih isi amplop itu. Matanya membeliak saat melihat seseorang yang ada dalam foto itu, benar-benar sangat mirip dengan Tante Magdalena.
La Rossa sampai pada tempat tujuan, ia melihat sebuah gedung tua usang. La Rossa melipir sembari mengacungkan senjata apinya, berjaga.'Kenapa sepi?" gumam La Rossa.Ia terus melangkahkan kakinya memasuki gedung tua itu lebih jauh ke dalam. Gedung tua itu sepertinya bekas bangunan pabrik kontruksi, di sana terlihat banyak bekas alat-alat bangunan yang tak terpakai.La Rossa terus melipir, mata elangnya menangkap sesosok mayat yang terkurap dengan bergelimangan darah. Ia terus melangkahkan kakinya waspada dan awas.Semakin masuk ke dalam ternyata semakin banyak, ia membalik tubuh tak bernyawa itu. Ia tak mengenalinya, sepertinya dia dari kelompok Black Wolf.Ia terus mencari Miller dan rekan-rekannya, ia menemukan orang yang di kenalinya. La Rossa menghampirinya, berjongkok dan memeriksa nafasnya dengan menempelkan ke dua jari tangan di dekat hidungnya.La Rossa tak merasakan hembusan angin dari hidungnya, ia kemudian mendengarkan detak jangtungnya dengan mendekatkan daun telinganya ke