Sayangnya, senyuman puas Sean justru membuat Resa cemas. Namun, ia tak punya pilihan lain selain menceritakannya ‘kan? Pemuda tampan itu bisa lebih curiga jika ia menutupinya.“Apakah itu sulit?” tanya Sean tak sabar.Bukan tidak sabar. Wajah Resa makin jelas menunjukan rasa cemasnya. Tentu saja, Sean makin yakin kalau wanita paruh baya di hadapannya pasti menyimpan rahasia tentang David, dan ia yakin di luar dugaannya.“Ah, bukan begitu, Tampan,” sahut Resa seraya mengukir senyuman canggung. “Apa itu tidak akan berakibat buruk padamu nantinya?” kilahnya.“Maksudnya?” tanya Sean mencoba tenang.Resa berdeham sebentar. Kemudian ia mengatur posisi duduknya senyaman mungkin. Setidaknya ia harus mencoba membuat lelaki tampan di hadapannya untuk tak terlibat dengan David. Tentu saja, anak gadisnya sangat mencintai Sean.&nbs
Perlahan ia menarik kacamata bulat yang masih terselip di atas hidung mungilnya Zia. Ia tak boleh membangunkan gadis kecilnya. Secara perlahan dan hati-hati, ia menggeser tubuh Zia dan meraih pinggang serta kakinya, lalu menggendongnya.Ya, Sean harus memindahkan tubuh Zia ke atas ranjangnya. Tubuh gadis kecilnya terasa ringan dalam gendongannya, tetapi ia tetap menurunkan tubuh Zia secara perlahan setelah berada di atas kasur empuknya. Tangannya bergerak secara lembut meletakan kepala gadis kecilnya di atas bantal.Kemudian ia memasukan kakinya Zia ke dalam selimut dan menarik ujung hingga menutupi dada gadis kecilnya. Tangannya menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantiknya Zia. Namun, tiba-tiba ia menghentikan gerak bibirnya yang hendak mengecup bibir mungil gadis kecilnya.
Zia menggeliat diikuti suara seraknya. Perlahan kedua bola matanya terbuka. Ia mengedarkan indera penglihatannya pada sekeliling ruang kamarnya sembari mengumpulkan kesadarannya.“Siapa yang memindahkan aku ke kasur?” tanyanya pada dirinya heran.Gadis itu lalu menoleh pada meja di dekat ranjang empuknya. Tampaknya kesadaran gadis itu mulai terkumpul. Mejanya sudah rapi. Tak ada buku yang terbuka dan laptopnya pun sudah tertutup.“Jangan-jangan paman yang memindahkan aku ke kasur dan merapikan meja,” duganya seraya membawa tubuhnya turun dari ranjang yang dilapisi seprai putih polos.Kakinya langsung melangkah mendekati meja tersebut. Tangannya langsung meraih kertas tempel di atas laptopnya. Tampaknya Sean meninggalkan catatan untuknya.“Selamat pagi, Gadis Kecil. Kamu pasti ketiduran karena menunggu saya pulang? Saya belikan es krim gelato kesukaanmu dan sudah saya masukan ke freezer. Makanlah jika kamu sudah bangun! I love you,”Wajah Zia tersipu malu saat ia membaca tulisan tangan
“Ih, Paman.” Zia makin tersipu malu.Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada bidangnya Sean dan memeluk tubuh lelaki itu erat. Tentu saja ia rindu. Sean lantas mendekapnya erat dan membelai lembut rambut gadis kecilnya.Paginya terasa indah mendapatkan kunjungan dari Zia. Sean menyukainya. “Bagaimana kalau kita menikah hari ini?” usul Sean.Tentu saja Zia terkejut. Ia bahkan langsung melepaskan pelukannya. Gadis manis itu menatap heran wajah lelaki di hadapannya.“Paman lagi ngelamar aku?” tanyanya heran.“Melamar? Saya ngajakin kamu nikah untuk memastikan kamu hanya milik saya,” jawab Sean lugas.“Ya, itu sama aja ajakan lamaran,” jelas Zia diakhiri hembusan napas beratnya.Sean mengerutkan dahinya. Jawaban gadis kecilnya tak sesuai dugaannya. Zia lantas membawa tubuhnya dan mengajaknya d
Pecahan kaca dari gelas porselin memecahkan kemarahan David. Lelaki itu langsung meraih remote kontrol dan mematikan televisi di hadapannya. Berita yang ditayangkan layar datar itulah sumber kemarahannya.“Mas, ada apa?” tanya Clarisa, istrinya yang baru saja muncul di hadapannya.Deru napas lelaki tua itu berpacu dengan cepat. Tangannya mengepal keras. Piring yang berisi roti lapis pendamping kopinya bersiap untuk ia banting ke lantai, tetapi David mengurungkannya. Indera penglihatannya langsung tertuju pada anak gadisnya yang baru saja menuruni tangga dan menghampiri dirinya.“Agnes! Apa kamu masih berniat mendekati Sean?” tanya dengan nada tinggi.Gadis itu tersentak. Tatapan tajam ayahnya membuatnya sedikit ketakutan. “Mem
“Pak Sadin, tolong cari tahu tentang kejadian lima tahun lalu yang melibatkan pengusaha Surya Syailendra bunuh diri!” perintah Sean saat mobil yang membawa dirinya melaju meninggalkan rumahnya.Sean juga menyerahkan ponselnya yang menunjukan sebuah artikel tentang orang tersebut. “Saya merasakan ada yang terlewatkan dari berita itu,” ucapnya setelah pak Sadin yang duduk di sebelahnya menerima ponselnya.Lelaki tua itu langsung membacanya dengan teliti. Sementara Sean kembali fokus pada map yang diberikan pak Sadin sebelumnya. Mereka bersiap menuju tempat untuk menyelesaikan masalah hotelnya yang tertunda karena sengketa tanah.“Tuan sean, ini ada hubungannya dengan tuan David? Kamu yakin akan menyelidikinya?” tanya pak Sadin setelah selesai membaca artikel tersebut.Lelaki tampan di sampingnya menoleh dan menatapnya heran. Sean bahkan mengerutkan keningnya. Wajah asisten, sekaligus sekretarisnya menatapnya cemas dan bingung.“Apa yang kamu cemaskan, Pak Sadin? Apa kamu punya masalah d
Wajah karyawan wanita yang tadi menyambutnya sedikit canggung. Namun, ia langsung mengiyakan perintah Sean dan langsung berbalik meninggalkan mereka. Tak sampai dua menit, karyawan tadi sudah menghampiri mereka.“Silahkan ikut saya, Tuan,” ucapnya ramah seraya mengulurkan tangannya ke arah kanannya.Tentu saja Sean dan pak Sadin langsung mengikutinya memasuki ruangan lain yang berdinding kaca sebagai pembatas ruangan atasannya dan ruang karyawan. Hanya bagian tengahnya yang tertutup warna abu-abu agar orang yang ada di ruangan tersebut tak terlihat. Tampaknya kedua lelaki itu tak mendapatkan sambutan hangat dari pemilik ruangan tersebut.“Silahkan duduk, Tuan!” sambut lelaki yang lebih tua dari Sean sekitar lima tahun. Lelaki itu tersenyum sinis dan tampak mena
“Ah, Paman, turunin aku!”Wajah Zia memerah. Kemudian ia memberontak dalam gendongan Sean, tetapi lelaki itu menguatkan tangannya agar gadis kecilnya tak terlepas dalam gendongannya. Tentu saja, Zia hanya memberontak pelan. Sadar diri, ia tak ingin membuat Sean kelelahan.Hingga akhirnya Zia berhenti memberontak dan memilih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Sean yang sedari tadi tertawa kecil melihat wajah Zia yang memerah. “Kenapa kamu jadi malu-malu begitu. Saya jadi makin nggak sabar buat mandiin kamu,” goda Sean.“Aku beneran malu, Paman. Jangan ngegoda aku!” jawab Zia tanpa menyingkirkan kedua tangannya dari wajahnya.“Malu kenapa?” tanya Sean menghentikan tawanya. “Bukankah saya sudah pernah melihat seluruh tubuhmu.”Zia tersentak. Wajahnya makin meringis di balik kedua telapak tangannya. Tentu saja Sean da