Vivian mendorong Billy dengan kekuatan yang cukup untuk melepaskan pelukannya yang tiba-tiba. "Tolong jaga sikapmu, Tuan!" ujar Vivian sambil menjaga jaraknya dari pria itu, wajahnya tampak merah padam karena emosi. "Kamu masih merindukan dia setelah dia mengkhianatimu? Untuk apa kamu harus mencintai seorang pria yang di hatinya sudah ada orang lain," ujar Billy dengan nada mencemooh, seolah-olah dia tahu apa yang ada di dalam hati Vivian. "Bukan urusanmu," sahut Vivian dengan dingin, ingin segera meninggalkan tempat itu agar terbebas dari tatapan Billy yang mengejek. Namun sebelum Vivian bisa melangkah pergi, Billy kembali menahan tangannya. "Aku akan pastikan kamu menerimaku dalam waktu dekat ini, dan melupakan dia," ujar Billy dengan yakin, matanya menatap tajam ke dalam mata Vivian yang kini berbinar dengan amarah. "Tidak akan terjadi sama sekali!" jawab Vivian yang menepis tangan Billy dan meninggalkan kamar itu.Billy tersenyum sinis melihat wanita itu pergi begitu saja," Li
Wanita itu dengan tersenyum dan menjawab," Tentu saja aku akan memuaskanmu, karena Tuan adalah pelanggan kami."Rekan bisnis Billy lainnya tersenyum sinis," Tuan Maxwel, Anda bisa menikmatinya sampai puas. Mereka adalah anak baru dan layak menjadi teman ranjangmu." ucap pria sambil meneguk minumannya."Layani saja mereka semua dalam satu malam, Maka, aku akan membayarmu," kata Billy yang menunjukan ke arah anggotanya yang berdiri di sana.Wajah wanita itu berubah pucat saat mendengar kata-kata Billy. Ia menatap sejumlah 8 orang anggota Billy yang berdiri dengan tatapan yang menggoda dan menakutkan sekaligus. Keringat dingin mulai mengucur deras di dahinya. "Tuan, jangan bercanda!" ujar wanita itu dengan suara yang gemetar, berusaha untuk tersenyum seolah-olah itu hanya sebuah lelucon. Billy tidak bergeming. Ia justru menoleh ke arah rekan-rekannya yang ditemani wanita malam lainnya, "Tuan Maxwel, apakah Anda tidak suka dengan dia? Kalau tidak suka, kita bisa cari yang lain," tanya
Vivian menghela nafas sejenak saat membawa hidangan dan sebotol minuman ke kamar Billy. Ia berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar terlihat seperti biasa dan tidak canggung. Sementara Billy sedang duduk di meja kerjanya, fokus menatap laptop dan beberapa berkas yang dipegangnya erat. "Tuan, hidangan telah disediakan. Silakan!" ucap Vivian dengan sopan. Ia kemudian berbalik, melangkah menuju pintu kamar untuk keluar. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Billy terdengar. "Siapa yang memintamu keluar?" tanya Billy tanpa menoleh dari laptopnya. "Apakah ada pesanan lain, Tuan?" tanya Vivian dengan suara yang sedikit gemetar. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa canggungnya.Billy akhirnya menutup laptopnya dan menatap Vivian dengan tajam. "Kamu belum memberitahu aku keputusanmu," ujarnya dengan nada serius. Vivian menelan ludah, merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa keputusan yang diambilnya akan sangat menentukan nasibnya ke depan. "Maaf, Tuan. Tidak ada keputusan
Marcus menunduk dan cemas dengan emosi yang diluapkan atasannya itu."Tuan, Aku sadar aku sudah salah. Kedepannya tidak akan menyentuh barang itu lagi," ujar Marcus sambil berlutut dengan wajah lesu.Billy mendekati pria itu dengan tatapan aura membunuh," Kenapa kau tidak mati saja, Dengan perlakuanmu seperti itu...apakah masih layak menjadi asisten kasino? Jangan lupa asal usulmu dari mana. Kau hanya mantan narapidana yang tidak memiliki apa pun," ketus Billy.Tak lama kemudian Jhones melangkah masuk ke kamar atasannya," Tuan," sapanya dengan sopan.Billy membuka penutup botol dan menuangkan minuman ke gelas beningnya," Dengar baik-baik! Pria tua ini dipindahkan ke bagian luar. Tanggungjawabnya adalah mengawasi kasino bersama bodyguard lainnya!" perintah Billy dengan tegas." Kalau dia tidak mampu usir saja!" lanjut Billy tanpa basa basi."Iya, Tuan," jawab Jhones.Marcus hanya bisa menerima keputusan atasannya, Ia menghela nafas dan tidak berdaya.Sementara Lina, dengan wajah pucat p
Malam itu, Bryan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, mulai merasakan sensasi aneh pada jarinya. Setelah hampir sembilan bulan lumpuh, ini merupakan kemajuan yang luar biasa. Dokter Cale dan Emily, terpana melihat perubahan ini. "Ini adalah kabar baik, Bryan akhirnya berhasil melewati masa kritis. Dia akan perlahan membaik," ucap dokter Cale dengan senyum dan penuh harapan. "Benar sekali! Ini adalah petanda baik. Bryan, kau hebat!" kata Emily yang tak bisa menahan kegembiraannya. "Bryan, sembilan bulan kamu melawannya. Usahamu tidak sia-sia!" tambah Dokter Cale sambil menepuk bahu Bryan yang masih lemah. Bryan yang masih berbaring diam hanya bisa mendengar dan mengedipkan matanya. Hatinya bersorak, tapi tubuhnya masih belum mampu meresapi perasaan bahagia yang sedang menguasai ruangan itu. Emily menggenggam tangan Bryan erat, memberikan dukungan dan kehangatan yang selama ini Bryan butuhkan. "Aku akan selalu menemanimu hingga kamu pulih sepenuhnya, Aku yakin kamu kuat da
Malam telah tiba dan Vivian baru saja selesai bekerja. Dengan langkah ringan, ia meninggalkan hotel tempatnya bekerja dan memutuskan untuk berjalan kaki menuju apartemennya yang tidak terlalu jauh dari sana. Angin malam menyapu wajahnya, memberikan sensasi dingin yang menenangkan. Kota yang indah di malam hari menjadi pemandangan yang memanjakan mata. Cahaya lampu yang bersinar dari setiap gedung tinggi di Jerman, menciptakan suasana yang megah dan mempesona. Vivian terpesona oleh keindahan kota ini, tetapi pikirannya tidak bisa lepas dari kenangan masa lalu. Sambil melangkah, matanya tertuju pada sebuah hotel yang dulunya pernah ditempati bersama Bryan, mantan suaminya. Semakin lama ia menatap hotel itu, semakin dalam perasaannya tenggelam dalam kenangan bersama Bryan. "Kenapa aku masih tidak bisa melupakan dia, Sudah sekian lama kami berpisah. Aku benar-benar bodoh," gumam Vivian dengan suara lirih. Vivian menghentikan langkahnya sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan mengusir b
Vivian menatap cincin itu dengan fokus, bukan lamaran Billy yang membuatnya terharu. Akan tetapi, pernikahan sederhana tanpa undangan bersama mantan suaminya yang ia rindukan."Pernikahan yang tidak seharusnya, semuanya telah berlalu," gumam Vivian.Mata Billy menatap tajam pada wanita itu, Seolah mengetahui apa yang ada dipikiran Vivian."Apakah dia masih merindukan mantan suaminya? Bryan Anderson, walau kau sudah menghilang bersama wanita lain. Vivian masih saja merindukanmu," gumam Billy.Billy menghampiri Vivian yang sedang duduk di seberangnya dengan perasaan gugup. Dia mengambil cincin yang berada di atas meja dan menempatkannya di telapak tangan Vivian yang lembut. "Simpan dulu cincin ini, Vivian. Kamu masih punya waktu untuk mempertimbangkannya. Tidak usah sekarang," ucap Billy dengan lembut.Mata Vivian memandang Billy dengan ragu, "Andaikan perasaanmu masih terluka, biarkan aku yang menyembuhkannya. Kalau kamu ingin menangis, aku akan meminjamkan bahuku untukmu," lanjut Bil
"Jacob Maxwel adalah pengkhianat yang bekerja sama dengan musuh melawan kita, Apakah sudah tahu anggota keluarganya?" tanya Bryan pada Edward."Jenderal, Kami akan segera mendapatkan informasi tentang keluarganya," ujar Edward." Apakah Anda mencurigainya?" tanya Edward yang penasaran."Jacob Maxwel seorang pria yang keras kepala, Aku masih ingat saat itu memberontak hanya karena berbeda pendapat. Egois dan angkuh membuatnya berpaling ke musuh," jawab Bryan."Kami akan segera mencari tahu, Secepat mungkin," ucap Edward."Kalau aku tidak salah ingat, Jacob Maxwel memiliki seorang anak laki-laki. Hanya saja aku tidak tahu siapa namanya.Saat dia tewas anaknya masih remaja," ujar Bryan."Apakah berkemungkinan besar, dia akan membalas dendam kematian ayahnya?" tanya Edward penasaran."Tidak tahu pasti, bagaimana pun kita harus cari keluarga pemberontak sampai dapat," jawab Bryan dengan nada tegas.***Billy berdiri di tengah ruangan luas dan besar, dikelilingi oleh anggota-anggota organisas