"Unik sekali, Charlie Parkitson memiliki seorang istri yang tidak peduli dengan nyawa sendiri. Tapi, apa alasannya mereka bercerai?" guma Billy dalam hati."Tuan, Charlie Parkitson...maksud saya Bryan Anderson tidak ada kabar sama sekali. Hampir seluruh rumah sakit di bagian Amerika sudah diselidiki. Tapi, masih belum menemukan dia," kata Jhones.Billy menatap tajam pada asistennya dan menghampirinya," Kalau rumah sakit juga tidak ada, Kamu bisa selidiki seluruh hotel atau datanya. Apakah dia masih di negara itu atau tidak. Apakah butuh aku yang mengajarimu?" tanya Billy.Jhones menunduk dan berkata," Maaf, Tuan. Saya segera menyampaikan pada mereka!""Sekalian, selidiki kenapa dia dan istrinya bisa bercerai!" perintah Billy yang kemudian duduk di sofa dengan bersilang kaki."Iya, Tuan."Jhones penasaran dengan atasannya itu, dan hanya bisa menuruti perintahnya," Aneh sekali! Untuk apa tuan ingin tahu alasan perceraian mereka," batinnya.Vivian duduk di ruangan manager dengan wajah te
Edward menatap pria itu dengan tatapan aura membunuh," Kau sangat yakin sekali. Percaya atau tidak kami akan menahan kalian semua," kecam Edward."Kami tidak takut pada kematian, Bunuh saja!" jawab pria itu dengan menantang. Tanpa rasa takut sedikit pun.Karena tidak mengakui, pria itu akhirnya dibawa ke markas untuk disiksa.Andrew sangat khawatir dengan situasi yang mulai tidak aman," Mereka yang kita tahan sebelumnya lebih memilih mati dari pada memberitahu kita siapa dalangnya," ujar Andrew."Organisasi mana yang mengincar jenderal? Aneh sekali. Dia seakan tahu bahwa jenderal tidak ada di sini," ucap Edward.Di sebuah ruangan yang sunyi, Jeff, pengacara Bryan, duduk berhadapan dengan Micheal di samping tempat tidur Bryan yang terbaring lemah. Wajah Bryan tampak pucat, matanya terbuka lebar namun tak mampu berkedip, hanya bisa mendengarkan percakapan di sekelilingnya. "Apakah Vivian masih menolak?" tanya Micheal dengan raut wajah yang khawatir. "Iya, dia dengan tegas menolak mene
Vivian berdiri di samping Billy yang tengah asik memilih pakaian wanita di toko busana. Dalam hati, Vivian merasa heran dan penasaran dengan pilihan tamunya tersebut. Sementara itu, Jhones yang berdiri di pintu toko hanya bisa menatap keheranan pada Billy dan Vivian. Tangan Vivian sudah penuh dengan pakaian yang dipilih Billy. Setiap kali Billy menemukan pakaian yang menarik perhatiannya, ia akan mengambilnya dan melemparkannya ke arah Vivian yang berusaha keras untuk tidak menjatuhkan tumpukan pakaian tersebut. "Hitung semuanya!" perintah Billy pada pelayan toko yang segera mengangguk dan menjawab dengan sopan, "Baik, Tuan." Vivian mencoba untuk menahan rasa penasarannya. "Pria ini kenapa memilih banyak pakaian wanita," gumamnya dalam hati, sambil melirik Billy yang tampak serius dalam memilih pakaian. Billy lalu berhenti sejenak dan menoleh ke Vivian yang sedang berjuang dengan tumpukan pakaian di tangannya. Ia tersenyum simpul, seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Vivian.
Vivian menatap nanar ke arah Celine, "Apakah Papa masih hidup?" tanyanya dengan suara bergetar. Celine meneguk minuman yang dicangkirnya, ia tidak tahu apakah harus menjawab pertanyaan putrinya itu. Kemudian ia meletakkan kembali cangkirnya ke piring. "Papamu dan Mama telah berpisah saat kamu baru diculik tidak lama. Rumah tangga yang kami jalani mulai berubah setelah kamu hilang. Papamu sering mengamuk saat pulang sehingga menyalahkan Mama atas kehilangan dirimu. Kemudian kami memilih berpisah," ungkap Celine dengan nada sayu. Vivian menundukkan kepalanya, tangannya mencengkeram erat-erat rok yang dikenakannya. "Jadi, Papa tidak mencari aku selama ini?" tanyanya dengan suara hampir tak terdengar. "Kami melakukan segala cara agar menemukanmu, Melapor polisi, menempel postermu di mana-mana. Hari demi hari berlalu kami tetap tidak putus asa. Sehingga tiga bulan berlalu. Papamu mulai berubah. Dia jarang pulang dan lebih sering bersama temannya di luar. Mama sangat sedih...Tapi, mama
Vivian mendorong Billy dengan kekuatan yang cukup untuk melepaskan pelukannya yang tiba-tiba. "Tolong jaga sikapmu, Tuan!" ujar Vivian sambil menjaga jaraknya dari pria itu, wajahnya tampak merah padam karena emosi. "Kamu masih merindukan dia setelah dia mengkhianatimu? Untuk apa kamu harus mencintai seorang pria yang di hatinya sudah ada orang lain," ujar Billy dengan nada mencemooh, seolah-olah dia tahu apa yang ada di dalam hati Vivian. "Bukan urusanmu," sahut Vivian dengan dingin, ingin segera meninggalkan tempat itu agar terbebas dari tatapan Billy yang mengejek. Namun sebelum Vivian bisa melangkah pergi, Billy kembali menahan tangannya. "Aku akan pastikan kamu menerimaku dalam waktu dekat ini, dan melupakan dia," ujar Billy dengan yakin, matanya menatap tajam ke dalam mata Vivian yang kini berbinar dengan amarah. "Tidak akan terjadi sama sekali!" jawab Vivian yang menepis tangan Billy dan meninggalkan kamar itu.Billy tersenyum sinis melihat wanita itu pergi begitu saja," Li
Wanita itu dengan tersenyum dan menjawab," Tentu saja aku akan memuaskanmu, karena Tuan adalah pelanggan kami."Rekan bisnis Billy lainnya tersenyum sinis," Tuan Maxwel, Anda bisa menikmatinya sampai puas. Mereka adalah anak baru dan layak menjadi teman ranjangmu." ucap pria sambil meneguk minumannya."Layani saja mereka semua dalam satu malam, Maka, aku akan membayarmu," kata Billy yang menunjukan ke arah anggotanya yang berdiri di sana.Wajah wanita itu berubah pucat saat mendengar kata-kata Billy. Ia menatap sejumlah 8 orang anggota Billy yang berdiri dengan tatapan yang menggoda dan menakutkan sekaligus. Keringat dingin mulai mengucur deras di dahinya. "Tuan, jangan bercanda!" ujar wanita itu dengan suara yang gemetar, berusaha untuk tersenyum seolah-olah itu hanya sebuah lelucon. Billy tidak bergeming. Ia justru menoleh ke arah rekan-rekannya yang ditemani wanita malam lainnya, "Tuan Maxwel, apakah Anda tidak suka dengan dia? Kalau tidak suka, kita bisa cari yang lain," tanya
Vivian menghela nafas sejenak saat membawa hidangan dan sebotol minuman ke kamar Billy. Ia berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar terlihat seperti biasa dan tidak canggung. Sementara Billy sedang duduk di meja kerjanya, fokus menatap laptop dan beberapa berkas yang dipegangnya erat. "Tuan, hidangan telah disediakan. Silakan!" ucap Vivian dengan sopan. Ia kemudian berbalik, melangkah menuju pintu kamar untuk keluar. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Billy terdengar. "Siapa yang memintamu keluar?" tanya Billy tanpa menoleh dari laptopnya. "Apakah ada pesanan lain, Tuan?" tanya Vivian dengan suara yang sedikit gemetar. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa canggungnya.Billy akhirnya menutup laptopnya dan menatap Vivian dengan tajam. "Kamu belum memberitahu aku keputusanmu," ujarnya dengan nada serius. Vivian menelan ludah, merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa keputusan yang diambilnya akan sangat menentukan nasibnya ke depan. "Maaf, Tuan. Tidak ada keputusan
Marcus menunduk dan cemas dengan emosi yang diluapkan atasannya itu."Tuan, Aku sadar aku sudah salah. Kedepannya tidak akan menyentuh barang itu lagi," ujar Marcus sambil berlutut dengan wajah lesu.Billy mendekati pria itu dengan tatapan aura membunuh," Kenapa kau tidak mati saja, Dengan perlakuanmu seperti itu...apakah masih layak menjadi asisten kasino? Jangan lupa asal usulmu dari mana. Kau hanya mantan narapidana yang tidak memiliki apa pun," ketus Billy.Tak lama kemudian Jhones melangkah masuk ke kamar atasannya," Tuan," sapanya dengan sopan.Billy membuka penutup botol dan menuangkan minuman ke gelas beningnya," Dengar baik-baik! Pria tua ini dipindahkan ke bagian luar. Tanggungjawabnya adalah mengawasi kasino bersama bodyguard lainnya!" perintah Billy dengan tegas." Kalau dia tidak mampu usir saja!" lanjut Billy tanpa basa basi."Iya, Tuan," jawab Jhones.Marcus hanya bisa menerima keputusan atasannya, Ia menghela nafas dan tidak berdaya.Sementara Lina, dengan wajah pucat p