Klien menatap cemas wajah Edward yang serius, "Ada yang tahu bahwa Jenderal tidak berada di markas?" tanyanya dengan suara berat. "Bisa jadi! Mungkin di antara kita ada mata-mata," jawab Edward dengan ekspresi tajam, memperhatikan gerak-gerik para prajurit melalui jendela kantornya."Markas begitu banyak jumlah prajurit, bagaimana kita cari orangnya?" tanya Klien, merasa khawatir akan keselamatan Jenderal. "Kita hanya bisa buktikan bahwa Jenderal dalam keadaan baik-baik saja," jawab Edward dengan tegas. "Caranya?" tanya Klien, penasaran dengan strategi yang akan diterapkan Edward. "Kumpulkan semua pasukan kita, dan umumkan ada yang ingin saya sampaikan!" perintah Edward. "Siap," jawab Klien, mengangguk dan segera melaksanakan perintah Edward. Tak lama kemudian, seluruh pasukan berkumpul di lapangan markas. Mereka berdiri tegak, menunggu apa yang akan disampaikan oleh Edward. Wajah mereka tampak serius dan tegang, menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam markas. Edward berdi
Vivian yang gugup ia bertanya," Ada apa, Tuan?" Billy menatap tajam tajam pada mata indah wanita itu," Di mana suamimu? Apakah dia bekerja di sini?" Vivian terdiam dan tentu hampir tidak percaya dengan pertanyaan aneh dari pria itu," Kenapa Anda bertanya tentang dia?" tanya Vivian penasaran.Billy menatap tajam ke arah jari manis Vivian, mencari keberadaan cincin pernikahan yang seharusnya ada di situ. "Tidak ada! Seorang wanita yang telah menikah tidak mengenakan cincin pernikahan, bukankah sungguh aneh," ujar Billy dengan nada dingin dan sinis. Vivian merasa tersudut, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, "Sepertinya ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya." Wajah Vivian tampak tegang, namun ia berusaha menutupinya dengan senyuman paksa. Billy kemudian beralih tatapan pada hidangan yang disediakan hotel, seolah mencari topik pembicaraan lain. "Apakah hotel ini milik suamimu? Agak aneh ketika dia membiarkan istrinya melayani tamu hotel," ujar Billy mencoba m
Vivian berdiri di depan cermin, meremas-remas rambutnya dengan ekspresi wajah kesal. Tangannya gemetar karena emosinya yang tak terkendali. "Bryan, apa kamu sehat-sehat saja? Emily adalah dokter, dia pasti bisa menjagamu. Untuk apa aku harus khawatir lagi," ucap Vivian dengan suara parau. Mata Vivian berkaca-kaca, menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. "Sudah sekian lama kita berpisah, mana mungkin kamu masih ingat denganku. Aku sangat bodoh sekali. Sudah mulai hidup baru, masih saja hidup dalam bayanganmu. Apa yang harus aku lakukan agar bisa melupakanmu," ujar Vivian sambil menepuk kepalanya dengan keras. Vivian kemudian duduk di tepi ranjang, merenung. "Lebih baik aku fokus dengan pekerjaanku, agar tidak mengecewakan mama," batin Vivian sambil menghela napas panjang. Dia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dari kenangan Bryan dan Emily, berusaha keras untuk melupakan rasa sakit yang menghantui hatinya. Tapi semakin dia mencoba, semakin dia merasa terpuruk dalam kenangan
Billy duduk di meja makan, ia mencicipi makanan yang disajikan di depannya. Setiap gigitan menghasilkan ekspresi biasa di wajahnya, walau ia merasa puas akan tetapi tidak menunjukan ekspresi memuaskan.Aroma yang menggugah selera dan tekstur yang pas di lidahnya membuat Billy semakin terpesona dengan kelezatan hidangan yang ada di hadapannya. Sementara itu, Vivian berdiri di sampingnya, menahan napas seakan menunggu putusan penting. Raut wajahnya terlihat gugup.Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah makanan yang ia siapkan benar-benar sesuai dengan selera Billy. Billy melanjutkan menyantap makanan itu, sesekali meneguk minuman yang disediakan Vivian. Setelah beberapa suapan, ia meletakkan garpu dan pisau di piring, menatap Vivian dengan tajam. "Apakah hanya kebetulan?" tanya Billy, penasaran dengan bagaimana Vivian bisa mengetahui selera makanannya. Merasa diperhatikan, Vivian tersenyum gugup dan menjawab, "Pihak hotel berusaha menyediakan makanan sesuai selera tamu, Tuan." Suaranya t
Karyawan hotel itu, Natalie, tampak gugup ketika menerima perintah dari Tony dan Tomy. Ia segera menyediakan hidangan makanan malam untuk salah satu tamu VIP hotel tersebut. Setelah makanan siap, ia mendorong troli makanan menuju ke salah satu kamar VIP. Dengan hati berdebar, ia mengetuk pintu kamar itu. Tuk! Tuk!"?Klek!" Pintu dibuka perlahan, dan di baliknya tampak Billy yang wajahnya tampak serius. Natalie mencoba tersenyum ramah. "Tuan, hidangan malam telah disediakan," ucap Natalie sambil membungkukkan badannya.Billy mengerutkan keningnya, menatap dingin pada Natalie. "Kenapa kamu yang mengantarnya? Di mana Vivian Alexander?" tanyanya dengan nada tegas. Natalie menelan ludah, merasa terintimidasi oleh tatapan Billy. "Ini adalah pesanan darinya, Tuan. Vivian sedang memantau lantai atas," jawab Natalie dengan suara gemetar. Billy masih menatap Natalie dengan pandangan tajam, seakan mencoba membaca kejujuran di wajah gadis itu. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka pintu
Lampu senter yang menerangi wajah Billy menyadarkannya akan bahaya yang sedang menghampiri. Tomy, tanpa ragu, langsung menendang Billy yang segera mempertahankan diri. Billy bangkit dengan cepat, melayangkan pukulan keras ke wajah dan perut Tomy. Suara 'Bruk! Bruk!' terdengar nyaring, membuat Tomy mengerang kesakitan. "Aahh!" Tony bergegas ingin menghampiri Billy, namun tiba-tiba ditahan oleh Vivian yang mencoba melindungi tamunya. Marah, Tony langsung menampar wajah Vivian dengan keras. "Dasar jalang!" serunya sambil menampar, "Plak!" Tamparan itu membuat Vivian pingsan, kepalanya terbentur sesuatu saat jatuh. Billy mendengar suara tamparan keras itu, kemarahannya membara. Dia meninju wajah Tomy dan Tony berulang kali, membuat keduanya terkapar tak berdaya. Tidak lama kemudian lampu kembali menyala menerangi ruangan kamar yang luas itu Sementara itu, wajah Billy tampak merah padam, nafasnya terengah-engah, dan tatapannya penuh amarah. Kondisinya yang baru membaik ia berusaha ber
"Unik sekali, Charlie Parkitson memiliki seorang istri yang tidak peduli dengan nyawa sendiri. Tapi, apa alasannya mereka bercerai?" guma Billy dalam hati."Tuan, Charlie Parkitson...maksud saya Bryan Anderson tidak ada kabar sama sekali. Hampir seluruh rumah sakit di bagian Amerika sudah diselidiki. Tapi, masih belum menemukan dia," kata Jhones.Billy menatap tajam pada asistennya dan menghampirinya," Kalau rumah sakit juga tidak ada, Kamu bisa selidiki seluruh hotel atau datanya. Apakah dia masih di negara itu atau tidak. Apakah butuh aku yang mengajarimu?" tanya Billy.Jhones menunduk dan berkata," Maaf, Tuan. Saya segera menyampaikan pada mereka!""Sekalian, selidiki kenapa dia dan istrinya bisa bercerai!" perintah Billy yang kemudian duduk di sofa dengan bersilang kaki."Iya, Tuan."Jhones penasaran dengan atasannya itu, dan hanya bisa menuruti perintahnya," Aneh sekali! Untuk apa tuan ingin tahu alasan perceraian mereka," batinnya.Vivian duduk di ruangan manager dengan wajah te
Edward menatap pria itu dengan tatapan aura membunuh," Kau sangat yakin sekali. Percaya atau tidak kami akan menahan kalian semua," kecam Edward."Kami tidak takut pada kematian, Bunuh saja!" jawab pria itu dengan menantang. Tanpa rasa takut sedikit pun.Karena tidak mengakui, pria itu akhirnya dibawa ke markas untuk disiksa.Andrew sangat khawatir dengan situasi yang mulai tidak aman," Mereka yang kita tahan sebelumnya lebih memilih mati dari pada memberitahu kita siapa dalangnya," ujar Andrew."Organisasi mana yang mengincar jenderal? Aneh sekali. Dia seakan tahu bahwa jenderal tidak ada di sini," ucap Edward.Di sebuah ruangan yang sunyi, Jeff, pengacara Bryan, duduk berhadapan dengan Micheal di samping tempat tidur Bryan yang terbaring lemah. Wajah Bryan tampak pucat, matanya terbuka lebar namun tak mampu berkedip, hanya bisa mendengarkan percakapan di sekelilingnya. "Apakah Vivian masih menolak?" tanya Micheal dengan raut wajah yang khawatir. "Iya, dia dengan tegas menolak mene