"Key, nanti dulu, kan belum sisiran." Citra datang dengan napas tersengal-sengal. Aku menatap ke arah Keysha. "Key, tadi pakai bajunya sambil lari-larian, ya?" tanyaku dengan nada tegas."Iya, Ma."Kulepaskan pelukan ditubuhya, lalu menatap manik berwarna cokelat itu. "Kan sudah Mama bilang, jangan seperti itu. Kasihan Mbak Citra." Key hanya mengangguk, detik kemudian aku dan dia tertawa. Selalu seperti ini, aku tak bisa marah padanya. S*al emang. "Sini, Cit, biar saya aja yang nyisirin rambutnya. Kamu istirahat aja."Tak sengaja, aku melihat Mbak Rosa tengah menatapku tajam. Aku hanya melengos. Jika dibiarkan, wanita itu bisa saja terus memperlakukanku begitu. "Mas ikut ke sekolahan, Ning."Aku menoleh padanya yang sedari tadi fokus makan. Begitupun dengan Mbak Rosa. "Baik, Mas," jawabku sambil tersenyum. "Ehm, kan ibu kandungnya Keysha itu saya, jadi biar saya saja yang pergi. Kamu di rumah," ucap Mbak Rosa tiba-tiba. Aku dan Mas Andra sama-sama terkejut, apalagi lelaki itu
Genggaman tangan Mas Andra padaku tiba-tiba terlepas. Apa ini? Kenapa aku memiliki firasat buruk? "Mas?" Aku memanggil, namun ia hanya diam dan memandang lurus ke arah Mbak Rosa. "Bisa tidak, jangan menyulut pertengkaran pagi-pagi, Ros?" Kali ini Mas Andra berbicara pada Mbak Rosa. Wanita itu memandang ke arahku, lalu ke arah Ibu. Senyum sinis tersungging di wajahnya. "Harusnya kamu sadar, Mas, melek! Yang bikin kita bertengkar itu ibumu. Kamu lupa, kalau dia yang mengusulkanmu untuk menceraikanku? Kenapa jadi aku yang salah?" Kali ini Mas Andra diam. Ia seperti kena skak mat oleh Mbak Rosa. Ibu hanya menghela napas sembari mengelus dadanya. "Sudah, Mas, lebih baik kita keluar, biarkan Ibu istirahat."Aku mendorong Mas Andra keluar, sementara Mbak Rosa mendengus melihatku yang melewatinya. Aku harus belajar untuk tak mempedulikan wanita itu. Bisa-bisa, aku yang stress. "Eh, mau ke mana kalian?" tanya Mbak Rosa saat aku sudah mengambil tas."Aku akan pergi dengan Rosa saja, Nin
Mendengar nama anak bungsunya kusebut, Ibu segera menghampiri. Bukannya memeluk, beliau malah memukul kepala adik iparku itu. "Aw, Ibu!" sungutnya. "Dasar! Ke mana saja kamu selama ini? Kenapa nggak ada kabar?" Mas Kino meringis, kemudian memeluk erat ibunya. Ibu memang selalu bercerita bahwa ia merindukan anak bungsunya itu. Ditambah nomor Mas Kino memang jarang aktif. Tak ada signal, alasannya. Aku tersenyum melihat pasangan anak dan ibu itu melepas kerinduan. Aku segera ke belakang, berniat membuatkan minum untuk mereka. "Bu, mau ngapain?" tanya Mbok Minah saat melihatku tengah di dapur. "Ini, Mbok, mau bikin minum. Mas Kino pulang." Desi yang sedari tadi di dalam kamar, terlihat buru-buru keluar. Ia celingukan melihat ke depan. "Ada Mas Kino, Ning?" "Desi, panggil yang betul!" hardik Mbok Minah. "Sudah, nggak papa, Mbok. Lagipula memang Nining yang meminta. Risih dipanggil Ibu sama Desi. Mbok juga kalau mau manggil nama juga gapapa, tapi kalau di depan Ibu jangan, ya," u
"Hah?" Ibu bertanya. "Nggak, Bu. Kino mau ke kamar dulu. Capek, Bu," ucap Mas Kino sambil mengangkat tasnya dan masuk ke dalam kamarnya yang tepat berada di sisi ruang tamu. Tak lama kemudian, terdengar deru suara mobil masuk ke halaman. Aku tak berniat untuk membukakan pintu, biar saja. Benar saja, pintu terbuka kemudian terlihat Keysha masuk sambil cemberut. Kenapa anak itu? "Mama!" Keysha datang padaku dan langsung memeluk. Mbak Rosa dan Mas Andra datang bersamaan di belakangnya. Melihat Keysha yang memelukku, Mbak Rosa segera mengambil Keysha. "Lepas!" Keysha menghentakkan tangan ibu kandungnya itu. "Lihat, Ning! Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Kenapa dia jadi membangkang begini?!" Aku yang tak mengerti, hanya menoleh pada Mas Andra. Berharap ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi? "Sudahlah, Rosa. Lagipula, ini salahmu juga. Kenapa kamu pergi ninggalin kami selama ini? Inilah akibatnya. Anakmu malah dekat dengan orang lain daripada dirimu sendiri!" ucap Mas
Mas Kino membawaku ke sebuah danau. Terhampar luas, indah, namun sepi. Tak ada seorang pun. Hanya aku dan Mas Kino di sini. Kuhela napas barang sebentar. Menikmati semilir angin yang terasa menyejukkan, meskipun hatiku tengah berkemelut hebat. "Bagaimana bisa kamu menikah dengan Mas Andra, Ning? Kamu tahu sendiri, dia itu masih punya istri."Aku bergeming. Bingung harus memulai dari mana cerita yang bahkan aku sendiri tak memiliki kendali di dalamnya. "Ning?" "Nining juga nggak tahu, Mas. Semuanya terjadi begitu saja. Karena kebaikan Bu Mega dan kasih sayangku pada Keysha, aku nggak bisa menolak, Mas."Mas Kino menghela napas. Kupindai raut wajahnya, ada setitik rasa kecewa di dua manik itu. "Kenapa?" tanyanya. Aku menoleh, tak paham dengan pertanyaannya. Apanya yang kenapa? "Maksudnya?""Kenapa harus Mas Andra?" Aku terdiam, juga bingung harus menjawab apa. Mungkin memang sudah takdirnya aku bersama Mas Andra, kan? "Kenapa nggak sama aku aja, Ning?" Lagi, ia berbicara seaka
Andra!" Ibu datang dengan tergopoh-gopoh, padahal kondisi beliau tengah tak baik. "Bu!" Aku mengamit lengan beliau. "Mas, apa-apaan ini? Kenapa kamu pukul Mas Kino?" "Mas? Ning, dia ini adik iparmu! Dan kamu, Kino, Nining itu bukanlah pembantu lagi di sini, tapi istriku! Seenaknya saja kamu membawanya begitu saja tanpa izin dariku!" teriak Mas Andra. Aku dapat melihat dari ekor mata, Mbak Rosa keluar dari kamar mengunakan piyama kurang bahan, sementara Keysha menyusul di belakangnya namun ditahan oleh Sinta. Bagus, jangan sampai anak kecil melihat perkelahian orang dewasa. "Mas, ada apa?" Aku menilik tampilannya. Bahkan di depannya kini ada Mas Kino, apa dia tak malu auratnya dilihat oleh orang lain?"Gapapa!" Mbak Rosa menghampiri Mas Andra dan memeluk lengannya. Aku tersenyum kecut. Bahkan kini Mas Andra sudah tak segan lagi untuk bermesraan di depanku. Ah, siapalah aku? "Mas, sepertinya besok aku akan pulang ke rumah Bapak," ucapku. "Benarkah? Bagus, dong!" Kali ini Mbak
Aku terdiam, kemudian tersenyum kembali sebelum akhirnya memutuskan keluar. Sampai di luar, Mas Kino tengah duduk di sofa tunggal, sementara Mas Andra duduk d sebelah Mbak Rosa yang seperti cacing kepanasan. Astghfirullah, Nining, kamu solimi sekali! Malam hari. Mas Andra datang membawa sebuah nampan. Aku yang masih kesal pun hanya diam tak menanggapi. "Ning." "Kamu masih marah?' "Ning?" Kuatur napas, lalu menghembuskan perlahan. "Mas, tolong ceraikan aku!"--Mas Andra sempat mematung sesaat, kemudian meletakkan makanan itu di atas meja. Aku kembali mengalihkan pandangan, tak ingin menatap mata indahnya yang mungkin saja bisa membuatku luluh. "Ning, jangan bercanda tentang hal ini," ucap Mas Andra. "Siapa yang bercanda? Bukankah itu Mas, yang terlalu plin plan sehingga tak bisa memilih? Mas pikir, terbuat dari apa hatiku ini?" Mas Andra terdiam, lalu meraih pinggangku dan memeluknya. Sempat kutepis tangannya, tapi kembali lagi memeluk. Hingga aku pasrah dan diam. "Aku bingu
Aku tersenyum kecut. "Kamu memang tak berniat mengantarkanku, kan? Aku bahkan belum bicara kalau tak ingin kamu ikut." Wajahnya terkejut, kemudian seakan langkah tingkah. "Hah?" Aku menggeleng. Kemudian mengangkat tas. Waktu sudah malam, semoga masih ada bis yang belum berangkat. Jika bis tak ada, maka aku akan naik kereta saja. "Mama mau ke mana?" tanya Keysha ketika melihatku melewatinya. Aku melirik ke arah Mbak Rosa yang sedang memakan buah, ia tampak cuek, hanya melirik tas yang kubawa. "Mama mau pulang dulu ke rumah Kakek. Keysha baik-baik di sini, ya?" "Key mau ikut!"Aku menggeleng, kemudian memanggil Sinta untuk mengambil Keysha. "Mama pergi dulu ya?" "Mama, ikut! Ma!" Aku tak kuasa mendengar tangisan Keysha, Mas Andra turun dan merebut tas milikku. "Mas!" Aku berteriak saat tas itu kembali dibawa olehnya ke atas. "Drama banget, sih!" Aku menoleh ke sumber suara. Ya, tentu saja Mbak Rosa. Memangnya siapa lagi? Di rumah ini yang nyinyir ya cuma dia aja. "Masalah?"