Share

3. Mertua Julid.

"Mas, daging ayam ini berapa satu kilo nya?" tanya Mayang berbasa-basi. Dia kemudian berpura-pura melihat Alya.

"Eh, Alya. Lagi belanja juga?"

"Ini siapa?" lanjutnya seraya menatap Ibu Martha.

"Ibu Mertua aku. Kenalin," jawab Alya.

Mayang dengan penuh perhatiannya mengulurkan tangannya pada ibu Rama. Mengetahui Alya mandul, Mayang mencoba mencari perhatian agar bisa menjadi istri kedua Rama.

"Halo, Bu. Nama saya Mayang. Temannya Alya."

"Halo, kamu cantik sekali," puji Martha.

Mayang puas mendengar pujian itu. Sedangkan Alya merasa sangat rendah setelah di hina di depan banyak orang.

"Sudah menikah?"

Mayang menjawab malu-malu. "Sudah pernah, Bu. Sekarang saya janda."

Martha terlihat sedih. "Waduh, tapi kamu cantik, kamu masih bisa mencari pria yang lebih baik."

"Iya nih Bu. Kebetulan saya juga lagi nyari," jawab Mayang.

Ibu Martha hanya memberi semangat pada Mayang. Kemudian Mayang menghampiri Alya, dan mengatakan kalau dia ingin menjahit baju lagi.

"Oh, yaudah. Nanti ke rumah aja ya. Sekarang aku mau masak dulu," kata Alya.

Dengan bibirnya yang merah pekat, Mayang tersenyum ramah. Namun, semua yang dia lakukan semata-mata untuk mencari perhatian Ibu Rama.

Pertemuannya dengan Mayang, membuat Martha memuji wanita itu di hadapan Alya. Bahkan saat memasak, Martha menyayangkan jika perempuan secantik Mayang harus menjanda.

"Ngomongin apa sih, Ma?" tanya Monik seraya duduk di meja makan.

"Itu, tadi di tukang sayur mama ketemu temennya si Alya. Dia cantik banget kaya model, tapi sayang dia janda," jelas Martha.

"Terus?"

"Ya gak apa-apa sih. Cuma sayang aja perempuan kaya dia harus sendiri," lanjutnya.

"Aku juga cantik tau mah!" kata Monik merajuk.

Martha tertawa. Dia tak bermaksud membandingkan Monik dengan Mayang.

Sementara itu, Alya menunduk seraya memotong sayuran. Hatinya kembali sakit jika mertuanya itu selalu memuji wanita lain di hadapannya. Apalagi, jika mertuanya itu selalu mengungkit tentang dirinya yang mandul.

Malam harinya, sebelum tidur. Rama sempat menanyakan perasaan Alya. Dia takut Alya sakit hati jika Ibunya selalu memarahinya.

"Kamu baik-baik saja kan? Jika kamu terluka, nanti aku akan minta Ibu aku untuk segera pulang saja."

"Gak usah, Mas. Aku baik-baik saja kok," kata Alya menutupi kesedihannya. Padahal, Rama tak tahu jika Martha sudah membongkar aibnya yang mandul di depan para tetangganya.

"Sekali lagi, maafin ibu aku ya, sayang?"

Alya diam saja. Dia membaringkan tubuhnya membelakangi Rama. Matanya berkaca-kaca. Sungguh perih perasaannya jika mertuanya itu selalu merendahkannya.

"Sayang?"

Alya tak menjawab. Dia berpura-pura tidur.

Keesokan harinya, Mayang sedang tertawa dan berbincang dengan Martha. Membuat Alya terkejut. Dia baru saja pulang dari pasar, dan melihat temannya itu sudah berada di rumahnya.

"Assalamualaikum?"

Martha dan Mayang menoleh dengan kompak. Mayang segera bangkit berdiri untuk membantu Alya membawa kantong belanjaan.

"Eh, eh. Gak usah di bantuin, May. Kamu kan tamu di sini. Udah biarin aja Alya yang bawa sendiri!" ujar Martha tiba-tiba.

Mayang kembali menjatuhkan kantong belanjaan yang cukup berat. Dia menatap Alya dengan perasaan tak nyaman. "Gak apa-apa, Al?"

Alya berusaha tersenyum. "Iya, udah. Gak usah biar aku saja," katanya.

Saat membawa kantong belanjaan ke dapur, Alya mendengar ibu mertuanya dan Mayang sedang membicarakan keponakan Mayang yang sangat lucu.

"Aduh, lucunya. Tante juga ingin punya satu yang kaya gini! Sayangnya Rama gak bisa kasih!"

"Yaudah, besok aku ajak keponakan aku ke sini deh buat main sama Tante!"

Martha terlihat senang. Dia kembali memuji Mayang karena bisa membuat hatinya senang.

"Kamu beda banget sama Alya. Dia itu selalu saja buat Tante emosi. Kemarin, Tante baru datang, dan lihat rumah ini seperti kapal pecah. Padahal dia anak aja belum punya, tapi katanya dia belum sempet beres-beres rumah! Apa coba kerjaannya!"

Alya menghela nafas panjang. Lagi-lagi mertuanya itu menjelek-jelekan dirinya ke orang lain. Tak ingin termakan dengan hinaan mertuanya, Alya mencoba menghadapinya.

"May, boleh aku liat kain yang kamu bawa?" tanya Alya seraya duduk di samping Mayang.

"Oh, ini Al. Kamu udah tau kan ukuran badan aku. Pokoknya aku percaya sama kamu. Aku yakin kamu bisa bikin baju yang bagus buat aku!" puji Mayang.

"Yaudah, Minggu depan kamu balik lagi ya buat ambil bajunya."

Mayang mengangguk paham. Saat Mayang hendak pergi, Martha melarangnya.

"Eh, buru-buru amat. Kamu sibuk ya, May?"

Mayang merasa Ibu Rama itu sudah nyaman berada di dekatnya. "Enggak juga sih Tan. Kenapa ya?"

"Sini aja temenin Tante. Tante bete tau! Kita ngobrol-ngobrol aja."

Mayang menatap Alya yang sedang berusaha tersenyum. Dia rasanya telah berhasil mencari perhatian Ibunya Rama itu.

"Tante, gimana kalo kita ke salon langganan aku? Katanya lagi ada diskon. Kita pijit-pijat kepala biar gak pusing," tawar Mayang.

Martha terlihat senang. Dia pun menyetujuinya.

"Ayo! Aduh, harusnya Tante punya menantu seperti kamu. Pasti menyenangkan banget!" ujar Martha seraya mengencangkan suaranya.

Ucapan itu sontak membuat Mayang menatap Alya. "Alya, kamu juga mau ikut? Kita pergi sama-sama aja yuk?"

"Eh, gak usah! Ngapain ajak dia! Udah dia di rumah aja! Kalo ajak dia yang ada malah malu-maluin!"

Alya sudah tak tahu lagi harus bagaimana. Karena Mertuanya itu selalu saja membuat hatinya hancur.

"Eh, kalian mau ke mana? Monik ikut dong!"

Suara itu membuat Mayang menoleh ke anak tangga. Seorang remaja cantik berjalan menghampiri mereka.

"Itu adiknya Rama. Namanya Monik," ujar Martha memperkenalkan.

Mayang lagi-lagi mencari perhatian pada anak usia delapan belas tahunan itu.

"Ya ampun cantik sekali!" pujinya.

"Makasih Kak. Kakak juga cantik banget. Oh ini yang di ceritain Mama kemarin?"

Mayang terlihat bingung. Dia penasaran apa yang sudah Martha ceritakan pada Monik.

"Katanya Kakak tuh cantik banget kaya Model, tapi sayang kakak janda."

Kalimat blak-blakan itu membuat Martha dan Mayang tertawa geli.

"Kamu ini! Kapan mama bilang seperti itu?"

Mayang pun tertawa. Kenyataan itu memang benar. Dia adalah seorang Janda.

Melihat ketiga orang di depannya sedang tertawa tanpa mengajak dirinya, membuat Alya memilih pergi. Dia melangkah perlahan, hingga kepergiannya itu tak di ketahui mereka.

Namun, saat mereka hendak pergi, Mayang baru menyadari kalau Alya tak berada di dekatnya.

"Di mana Alya?"

"Udah gak usah di ajak. Biarin aja!" kata Martha.

"Iya, Kak Mayang. Ngapain sih ngajakin Kak Alya. Dia bau masakan!" sahut Monik membuat suasana di dalam mobil kembali ceria.

Merasa telah berhasil mengambil perhatian adik dan Ibu Rama, membuat Mayang semakin serakah. Dia melanjutkan niatnya untuk mendapatkan Rama sebagai suaminya.

Setelah kepergian mereka, Alya menangis sesegukan di dapur. Dia merasa hatinya sangat sakit dan perih. Dia sudah tak kuat menghadapi mertua dan adik iparnya itu. Namun, dia hanya bisa menyembunyikan kesedihannya. Dia tak mau mengadu pada Suaminya jika dia terluka dengan semua ucapan mertuanya.

"Ya Tuhan, tolong aku... Aku sangat membutuhkan bantuanmu," batinnya memohon.

Alya menyeka air matanya. Dia telah mengadukan semua penderitaannya kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana pun dia harus menghadapi hari ini.

Pagi itu, Alya sangat sibuk. Dia memasak banyak menu kesukaan mertuanya. Dia juga mencuci pakaian, setrika, mengepel lantai, dan menjahit pesanan. Hingga waktu maghrib, Alya baru bisa beristirahat. Dia berbaring di atas sofa seraya menonton acara berita. Namun, karena terlalu lelah, Alya pun ketiduran.

Suara mesin mobil terdengar. Martha dan Monik baru saja pulang bersenang-senang bersama Mayang.

"Terima kasih untuk traktirannya, ya kak. Kak Mayang baik banget!" puji Monik.

"Sama-sama Monik. Lain kali kalau ada waktu kita shoping lagi yaa~"

"Aduh, senang banget bisa kenalan sama kamu. Kita dibelikan baju mahal lagi," lanjut Martha.

"Gak apa-apa, Tante. Cuma segitu doang. Nanti kalo kita shoping lagi aku beliin yang lain deh!"

Mendengar itu Monik melompat kegirangan. Dia merasa senang memiliki Kakak seperti Mayang. "Andai saja Monik punya kakak seperti Kak Mayang!" gumamnya.

Mayang hanya tertawa. Dia merasa puas karena sudah merebut hati Monik dan Martha.

Setelah berpisah dengan Mayang, Martha dan Monik akhirnya masuk ke dalam rumah. Namun, tatapan tajam Martha langsung tertuju pada Alya yang terlelap.

"Enak-enakan itu anak tidur! Udah malem gini lampu belum dinyalakan!" ujar Martha seraya menghampiri Alya dengan penuh emosi. Begitu juga Monik.

"Heh, Alya!"

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status