"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya.
"Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya.
"Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...."
"Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya.
"Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu..."
"Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" Randi masih menjaga egonya untuk tidak terbawa emosi dengan apa yang ku lontarkan. Aku kehilangan kendali atas diriku, sebab amarah yang ku pendam begitu membludak kini.
"Tapi jadi penting untuk sekarang. Karna nama wanita itu terus mereka sebut dan bandingkan dengan aku..." Aku menyeka air mataku, mencoba waras meski mentalku hancur gak karuan.
"Terus, kalo kamu tau tentang Natalie, kamu mau apa?"
"Ya supaya aku tau apa langkah yang akan aku ambil selanjutnya..."
"Natalie itu mantan pacarku sebelum kamu, ya kenal dia juga karna dijodohin kan sama anaknya sosialita mama." Ia menjeda obrolannya dengan menarik nafas panjang.
"Kenapa? Kamu begitu cinta sama dia?" Energi negatifku masih terus mengelabui emosiku.
"Bukan, bukan masalah itu. Dia pernah fitnah aku dengan sadisnya sampai-sampai nyaris aku menikah dengannya. Dia selingkuh dariku dan hamil, setelah orang tuanya tau dia hamil, dia menuduhku yang menghamilinya..."
Jelas saja pernyataan Randi membuat sorot mataku yang tadinya redup, langsung nyala seketika. Begitu bahayanya gaya pacaran Natalie, dan mungkin Randi dulu......
Aku gak bergidik, ku biarkan dia terus mengungkapkan semuanya tentang Natalie tanpa ku potong.
"Ya dia ke rumah nangis-nangis dengan orang tuanya, minta pertanggung jawabanku. Orang tuaku ya panik lah ya, aku pun juga panik. Selama pacaran sama dia, sama sekali gak pernah ku sentuh apalagi sampai berhubungan. Tapi orang tuanya gak percaya samaku, dan tetap aja mereka kekeh untuk menikahiku dengan Natalie. Sampe akhirnya, ayah dari bayi yang dikandungnya datang sendiri, dan akhirnya mereka nikah." Ungkap Randi.
"Ya terus, kalo dia sudah nikah, kenapa semua orang masih berharap kamu dengan wanita itu, Rand?"
"Pernikahan mereka gak berlangsung lama Cle, anak yang dikandungnya keguguran, dan dia diceraikan sama suaminya."
"Jadi maksud kamu sekarang dia janda?" Aku mempertajam sekaligus memperjelas maksud dari pernyataan Randi yang panjang itu.
"Iya, dia sendiri sekarang. Dan ya salah aku juga gak jujur dari awal sama kamu, kalo semenjak sama kamu pun dia dan orang tuanya masih terus menginginkanku..."
"Mereka tau kan posisinya kamu udah punya aku?" Aku mempertajam pertanyaanku. Rasa cemburu yang gak bisa ku tanggung, akhirnya meluap dan membanjiri seluruh rasa amarah.
"Waktu kita dulu pacaran, Natalie tau kok aku sama kamu, tapi cuma sebatas rekan kerja aja gak lebih. Untuk sekarang kan memang disembunyikan dulu sama mama. Jadi, jelas aja dia gak tau..." Jelas Randi dengan detail.
Aku terdiam. Entah apa pikiran yang tengah bersarang di kepalaku.
"Mas, jadi kamu maunya gimana?"
"Apanya, Cle?" Matanya tersorot tajam ke arahku.
"Kamu tau dengan kondisiku yang kayak gini udah gak mungkin untuk kasih kamu keturunan. Sementara, satu-satunya hal yang mungkin bisa ku pertahankan di tengah keluargamu adalah anak kita, Ran. Dan aku gak bisa punya itu..." Kembali, air mataku kembali mengalir.
"Sebentar, maksud kamu, kamu mau kita pisah?" Suara Randi begitu nyaring.
Aku hanya diam, dan sesekali menyeka air mataku yang terus-menerus membasahi pipi.
"Cle, coba jernihin dulu pikiran kamu. Kamu tuh sadar gak sih apa yang barusan kamu katakan. Coba-coba sadar dulu..." Randi menyentuh tanganku, dan mengangkatnya setinggi dadanya. Lalu ia kecupkan tanganku.
Aku semakin terisak, rasanya begitu sakit di posisi ini.
"Kamu tuh gak perlu mikirin apa-apa cukup yakin untuk sembuh dan ambil hati mama. Cuma itu Cle..."
"Gak semudah itu ambil hati mama kamu, Ran..."
***
"Puas kamu, hampir semua teman saya tau tentang kamu?" Airin membentak hebat di depan kamarku.
Meski kondisiku kini belum pulih seratus persen, tapi teriakan darinya betul-betul membuatku gak tenang berada di dalam kamar. Randi yang sepertinya sudah pergi ngantor membuatku harus menghadapi Airin sendirian.
"Krek..." Pintu terbuka pelan. Ku toleh sedikit kepalaku ke luar pintu yang ternyata di depan sudah ada Airin seolah ingin memangsa santapannya. Tatapannya tajam, raut wajahnya bengis. Ia benar-benar marah.
"Keluar kamu!!!" Ia sekali lagi membentakku,
"Ma.. maaf ma... Kenapa Ma?"
"Masih nanya kenapa? Gila ya kamu! Sudah di kasih kesempatan buat nikah dengan keluarga konglomerat, mana mandul lagi, terus cuma diminta buat nurut dari surat perjanjian aja gak bisa. Udah sekarang juga kamu turun, dan tanda tangani surat perceraian kamu."
"Ma, aku gak mau cerai dari Randi..." Spontan ku bisa berbicara semulus ini kepadanya.
"Saya kasih biaya hidup kamu, berapapun itu asalkan tinggalin Randi. Tinggalkan keluarga saya!!" Airin masih terus memaksa.
Aku tidak menggubris, ku diamkan saja paksaannya. Sampai akhirnya ia beneran menarik tanganku dengan kasarnya.
"Ma... Sakit..." Aku berteriak kesakitan dan berusaha melepaskan genggaman eratnya.
"Makanya kalo gak mau pake cara kasar, nurut dong dibilangin!!"
"Loh Ma, ada apa?" Tiba-tiba Randi datang menaiki tangga.
"Ran, gak ke kantor?" Aku pun spontan meresponnya, sebab gak seperti biasa ia pulang begitu awal.
"Sepertinya ada yang ketinggalan.." Gumamku dalam hati.
"Ma, ada apa? Kenapa mama narik-narik tangan Claire..."
"Di bawah sudah ada pengacara, mama mau dia tandatangani juga surat perceraian itu. Kamu berhak hidup bahagia, Randi. Kamu berhak mendapatkan keturunan!" Tegas Airin dengan kondisi tanganku masih berada digenggamannya.
"Ma, tenang dulu tenang. Kan bisa dibicarakan baik-baik, Ma. Gak harus dengan perceraian kan..." Randi mencoba berbagai cara untuk menenangkan ibunya.
" Satu-satunya cara cuma kamu pisah dengan dia. Sekarang ayo cepat kamu tanda tangan di depan pengacara!" Aku pun mau gak mau harus bergerak mengikuti arah tarikan tanganku sembari berdoa kalo ini hanyalah mimpi yang gak jadi kenyataan.
"Ma..... Randi cinta sama Claire!" Randi menghentikan langkah kaki mamanya yang padahal sudah berada disudut lantai bawah.
"Pak, sekarang juga Bapak urus perceraian anak saya dan wanita ini ya. Saya sudah muak melihatnya di rumah ini!"
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan? "Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi."Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya."Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang...""Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...." "Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.Aku diam, mengabaikan komentarnya."Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya. "Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kam
“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memberikan restu kepada wanita rendahan seperti dia.” Bentak pria paruh baya sembari menatap matanya ke arah jendela besar di gedung pencakar langit.“Pa, apa masalahnya sih sampai Papa dan Mama sulit menerima Claire?” Randi dengan suara yang tidak kalah kerasnya sesekali memukul meja yang berada di samping tubuhnya. Sementara aku terus berusaha menenangkan Randi yang sedang terpacu emosi.“Nak, kami sebagai orang tua tentu mau yang terbaik untuk kamu. Claire sudah jelas tidak sederajat dengan kita, lantas, apa kata kolegamu?” Wanita paruh baya dengan rambut pendek berwarna merah menjelaskan dan memberikan pengertian kepada anak lelaki tunggalnya yang kini penuh dengan amarah atas penolakan kedua orang tua terhadap aku tepat di depan hadapan dan mataku.“Dan kamu Claire, tolong mengerti bahwa kami ini adalah keluarga terpandang. Kamu harusnya sadar diri posisimu hanya sekretaris dari keluarga rendahan!” Tegas Mama Randi dengan menatap sinis ke ar
“Kan Tante juga tahu, aku menjalin hubungan sama Randi bukan baru-baru ini aja, melainkan sedari jaman kuliah. Aku juga sudah berusaha untuk memberi pengertian kepadanya tentang status sosial kami, namun nyatanya ia terus memberiku kekuatan dan keyakinan agar kami bisa menerjang restu orang tuanya.” Terangku dengan mata yang mulai terbayang kaca-kaca.“Aku paham sayang. Randi juga anak yang baik untuk kamu dan keluarga ini. Tapi, dengan gap sosial yang begitu jauh pasti akan susah kalian bersama, Cle. Aku juga sama sekali gak melarang kamu untuk menjalin kasih dengannya, namun cinta yang kamu punya untuknya hanya membuatmu sakit aja, sayang.” Tante yang tadi duduk berhadapan denganku, kini berpindah berada di sebelahku dan mengusap bahuku seolah menenangkan.“Aku sudah gak tau harus melakukan apa, Te......” Air mataku yang tak tertahan airnya tumpah sembari mengingat bagaimana perlakuan kedua orang tua Randi yang begitu kasar terhadapku.“Tadi Randi mengajakku bertemu kedua orang tuan
Deg……“Nyawaku terancam?” Gejolak batin penuh dengan pertanyaan kala Roger berkata demikian kepadaku. Namun dalam hatiku selalu yakin mereka pada akhirnya mereka akan baik kepadaku, akan luluh kepadaku, serta akan bersikap sayang kepadaku sebab hanya aku menantu perempuan satu-satunya yang mereka miliki.Lalu, acara sungkeman ini berlanjut kepada Tante Alexa yang sedari tadi telah tersenyum bahagia menyaksikan acara pernikahanku bersama pria yang selama ini ada di hidupku, Randi.Ia langsung merangkul kami berdua seraya berkata,“Randi, Claire selamat atas pernikahan kalian ya. Gue bangga banget sama kalian sampai di titik ini. Semoga pernikahan kalian bahagia, walaupun jalannya terjal, badai atau apapun nanti tetap sama-sama ya. Randi, tolong jagain keponakan tante yang cantik ini ya, dia kesayangan papinya jadi jangan pernah sakiti dan sia-siakan Claire.” Pinta Alexa sembari meneteskan air matanya.“Thank you Te, pasti akan aku jaga sebaik mungkin kok Clairenya. Claire juga tuh Te
“Di, di kondisi saat ini dan kamu masih mengingatkanku tentang poin perjanjian itu?” Tegasku yang sedikit berontak dengan apa yang sudah ia katakan.“Claire, kamu sudah menyetujuinya kan?” Tanyanya singkat sembari mengambil tanganku yang masih gemetaran.“Tapi di bawah masih kacau, gak apa-apa aku aja yang ambil sendiri..” Ucapku yang masih mengontrol emosiku dengan membantah apa yang diperintahkan Randi.“Ya sudah tapi jangan sampai ketahuan mama atau papa ya, kamu lewat pintu belakang saja mutar.” Sarannya.Setelah Randi menyetujui saranku, aku berjalan menuju halaman belakang merogohkan tanganku pada saku rok yang ku kenakan. Mulai ku buka layar ponsel ini dan menuju aplikasi makanan online. Satu per satu menu ku buka dan ku masukkan ke dalam keranjang makanan.“Udah jadi pesan makanannya?” Dari arah belakangku terdengar suara pria yang beberapa detik kemudian merangkulku.“Ini sedang pesan Mas, kamu mau makan apa?” Aku menoleh ke belakang sembari melihatnya yang tengah tersenyum
“Kamu gak pernah cerita ya sama aku tentang keluarga kamu secara keseluruhan gini.” Isak tangisku pecah.“Claire maaf, aku pun gak kepikiran juga perihal ayam bakar buat mereka semarah itu.”“Tapi harusnya kamu bisa cerita, bisa bilang apa yang gak pernah kamu makan, apa yang gak mereka suka, harusnya kamu bilang!” Teriakku di dalam kamar pengantin yang tanpa ada hiasan apapun.“Oke oke, tenang dulu. Oke, aku salah.” “Gitu aja?” “Kamu makan dulu ya, aku ambilin piringnya sebentar.” Randi berusaha membujukku.“Udah gak perlu. Kamu bisa keluar sebentar gak Di?” Pintaku.“Kenapa? Ini juga kamarku, kan?”“Aku butuh waktu sendiri dulu.” Desakku.“Oke, aku keluar dulu. Claire tolong jangan berpikir terlalu jauh ya.” Ia mengingatkan kembali sebab ia amat paham bagaimana aku bisa berpikir yang berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar, diikuti oleh diriku yang mau langsung mengunci kamarnya ini. Setelahnya aku kembali ke atas ranjang yang tanpa hiasan apapun untuk mencirikan adanya pengantin b
"Claire jelas saja menoleh ke arah samping kanan tempat dimana beberapa lift terletak disana."Samar-samar pria itu datang dan menghampiriku. Pria itu tinggi, dengan tubuh proporsional dan kemeja navynya serta sinar matanya yang sangat familiar diingatanku."Lo ngapain disini?" Sekali lagi ia menorehkan senyumannya kepadaku."Eehh... Lo Arsy?" Aku coba mereka ulang ingatanku yang sebenarnya juga gak mungkin aku lupakan, karena ia sempat tertulis dalam catatan harianku dulu."Hahaha iya ini gue Cle. Siapa lagi kalo bukan gue? Gue gak ada kembarannya, tenang aja..." Ia membalasku dengan tertawa."Hahahaa gak nyangka aja bisa ketemu lo disini Ar. Gue pikir lo gak akan balik ke Indonesia lagi setelah betah di Norway sana.." Celetukku sembari memegang laptop tempat semua data yang mau dipresentasikan tersimpan."Panjang ceritanya, entar aja kita agendakan buat ngobrol lagi. Gue ada meeting nih.." Ia pamit dan melangkah pergi tepat dihadapanku dengan meninggalkan senyuman yang masih sama se