Pov FirmanAlhamdulillah istriku bisa diajak bicara, Ia sudah tenang sekarang, mungkin berkat penjelasan dari Dimas juga saat Ia menemui Dimas pagi itu. Namun tetap saja, Sikapnya sedikit berubah, Ia lebih sedikit bicara tidak seperti dulu, aku mencoba mengerti akan keadaan ini.Bagaimanapun juga ini memang salahku, Aku yang telah menggores luka di hatinya yang rapuh, maka aku pula yang harus terus menggenggam hati itu agar tetap utuh. Maafkan aku Sayang. Berbagai ucapan manis yang biasa aku katakan, Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku tahu di dalam hatinya Ia pun sedang berusaha berdamai dengan keadaan sekarang, walaupun Dia tahu hanya dirinyalah yang ada di hatiku, tapi tetap saja perempuan adalah makhluk yang sensitif, berbagai macam kecurigaan dan ketakutan pasti bergelayut di hatinya.Bagai hujan di Padang pasir, itu yang aku rasakan saat Wanitaku mulai mau bicara dan mau kuajak pulang, karena sesungguhnya di hati ini diliputi ketakutan, aku takut karena kesalahanku ini, kemu
"Nggak Bu. Jujur Firman terganggu kalau Tania tinggal di sini, lagi pula Dia kan punya pekerjaan, Dia juga bisa bayar sewa kos untuk Dia tinggal. Tak perlu lah kita yang menampung Dia di sini. Firman nggak bisa Bu." Aku terus mencoba memberikan jawaban dengan tenang, agar Ibu tak tersinggung, bagaimanapun Ia adalah ibuku, tak ingin aku menyakitinya, tapi aku juga tak mau di paksa pada sesuatu yang bertentangan dengan hatiku."Yuni, kamu tak keberatan kan, jika Tania kembali tinggal di rumah ini, selain untuk teman Laras, Dia juga bisa bantu-bantu kamu di rumah ini, biar kamu nggak capek, dan bisa segera berhasil promil ya kan," tanya Ibu tiba-tiba ketika Yunita sudah berada di rumah tengah.Aku tersentak saat Ibu melempar pertanyaan itu padanya, aku mengerti maksud Ibu, jika Ia meminta padaku aku tak bisa memberikannya, Ia akan memintanya pada Yunita, Ibu seolah tahu kelemahan Yunita adalah tak mampu menolak permintaan Ibu, karena Yunita pasti tak kuasa untuk menolak. Aku menarik na
Kedua lelaki itu menunduk, tanpa perlawanan, wajahnya memang garang, tapi tak satupun dari mereka berani menatap wajah kami, keduanya tertunduk.Aku dan Dimas duduk di hadapannya terhalang oleh meja yang melintang."Siapa yang menyuruh Kalian?" tanyaku pada mereka.Tapi mereka hanya diam, tak ada yang menjawab satu pun."Ma–Maaf Pak. Kami hanya di suruh Pak," ucapnya lirih salah seorang dari mereka."Siapa yang menyuruh Kalian?!" tanyaku lagi dengan menambah satu oktaf tinggi suaraku mereka masih juga tak mau menjawab pertanyaan itu.Braakk!Dimas bangkit dan menggebrak meja membuat mereka terkejut, aku sendiri juga sebenarnya kaget, tapi aku berusaha biasa saja. Dimas mungkin gemas dengan dua orang ini."Kalian dengar tidak?! Siapa yang menyuruh Kalian?! Jawab? Atau aku telpon polisi sekarang juga!" ancam Dimas sambil satu tangannya mengeluarkan ponsel miliknya. Dua lelaki itu tampak panik, dan saling pandang satu sama lain. Sepertinya mereka cuma preman kampung, terlihat takut saat
Aku pun melenggang keluar ruangan itu dan memanggil dua orang sekuriti yang berdiri tak jauh dari ruangan ini, dan meminta tolong padanya untuk menjaga sebentar kedua preman itu. kemudian aku dan Dimas keluar ruangan itu, untuk bicara, kami menyusun rencana selanjutnya. Setelah semua sudah matang kami rencanakan, kami kembali masuk ke ruangan."Oke. Kali ini kalian tidak akan aku jebloskan ke polisi, karena saya masih punya hati, mengingat anakmu di rumah sedang sakit. Tapi kalian tidak bisa lepas dari pengawasanku!" ucap Dimas serius pada kedua preman kampung ini.Terlihat binar pada kedua mata lelaki itu."Eits jangan senang dulu, ada hal lain yang harus kalian lakukan jika kalian tak ingin mendekam di penjara, semua percakapan kita sudah saya rekam di dalam sini, ini bisa menjadi bukti kuat untuk kalian mendekam di penjara, tapi saya masih punya belas kasihan pada kelurga kalian, selama kalian ikuti perintahku, kalian akan aman!" Aku menunjuk ponsel yang ada dalam genggamanku, dan
"Mas tak cemburu? Istrimu di cintai oleh laki-laki lain?" tanyanya seolah mengejek."Jika yang ia cintai adalah kamu, tentu aku akan sangat cemburu, tapi Jika Ia mencintai Wina, aku justru akan senang, karena Dimas lelaki yang baik, Wina akan aman jika bersamanya." Sebuah lengkungan manis terbit si bibirnya."Sekarang kamu sudah benar-benar percaya kan, hanya kamu yang Mas cinta, saat ini nanti, dan selamanya," bisikku lembut sibuk menatap kedua matanya.Terlihat pipinya merona, menambah cantik wajahnya.Selesai sarapan, aku pun langsung berangkat ke Bogor, sekalian aku tengok kafe di sana, Yunita juga izin untuk ke rumah makan, untuk menggantikan posisiku, aku tak keberatan, dan sekalian berangkat ke Bogor aku, lebih dulu mengantarkan istriku ke rumah makan."Hati-hati ya, Sayang. Pokoknya apapun itu, kamu harus sering kabarin aku," ucap istriku saat kami telah sampai di depan rumah makan, dan aku hendak langsung jalan ke kampungnya Wina."Iya Sayang, aku janji akan kabarin kamu, k
Seketika Bu Warsih mengangkat wajahnya, terlihat pias, sangat pias. Aku berdiri bersilang dada melihat orang-orang ini bergemelut dengan masalah mereka."Ta–Tapi Juragan, dengan apa saya mengembalikan semuanya?" tanya Bu Warsih masih dengan wajah pias. "Saya nggak mau tahu!" bentak Juragan."Ini semua gara-gara kamu!" Bu Warsih menatap nyalang ke arahku, sambil menunjuk wajahku."Ini semua karena ulah Ibu sendiri! Bukan salahku apalagi salah Wina! Sudah sepantasnya Ibu bayar semuanya itu sendiri!" desisku tajam."Saya tak ada waktu, Pak! Bagaimana dengan tawaran Saya tadi? Iya atau tidak?!" Aku kembali melempar pertanyaan pada lelaki itu sembari aku melirik arloji di pergelangan tanganku.Kembali kulihat rahangnya mengeras, Ia tampak begitu gusar, akan keputusan apa yang akan diambilnya."Oke. Kalau anda memilih tidak menerima tawaran saya, Saya permisi! Dan bersiap lah untuk menyusul kedua anak buahmu di dalam penjara," ucapku serius. Aku mulai melangkah meninggalkan teras rumah in
Dimas pun terdiam dan menatapku lamat-lamat. Apa yang sebenarnya Ia ingin katakan.Aku balas tersenyum menatapnya, sampai di sini, aku sudah mendapatkan jawaban itu, diam artinya Iya. "Nggak usah tegang gitu, Bro. Santai aja lah." Dimas terlihat gugup dan salah tingkah, beberapa kali ia menggaruk kepalanya, yang aku yakin bukan karena gatal."Gue nggak enak aja sama Lo Bro. Maaf ya Bro." Ia terlihat tak enak hati padaku, mungkin benar kata Yunita, Dimas memendam rasa itu karena memang status Wina masih istriku.Aku menatap dalam ke arah sahabatku, sebenarnya terbersit rasa senang di hatiku, sudah sekian lama Dimas begitu sulit move on dari Mita, mantan pacarnya dulu, dan sekarang ada perempuan yang berhasil membuatnya jatuh cinta, meskipun perempuan itu adalah istriku.Aku mengangguk pelan, seraya tersenyum ke arah sahabatku ini.Ia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan."Awalnya aku nggak tahu, jika perasaan ini semakin kuat, sejak pertama kamu memintaku untuk mem
Malam bertabur bintang, langit yang gelap dan tenang, rembulan berpijar terang, seolah menyambut bahagia di dada.Aku melihat senyum terukir di bibir manis istriku. Aku pun bahagia, semoga setelah ini tak ada lagi ujian berat yang menempa rumah tangga kami. "Mas, kamu yakin dengan keputusan yang kamu ambil ini?" tanya Yunita, saat kami sudah masuk mobil."Tentu. Kau meragukan keputusanku?""Bu–Bukan gitu, bagaimanapun pernikahan adalah suatu hal yang sakral, karena itu sebuah janji di terhadap Allah.""Justru karena itu, aku mengambil keputusan ini, jika pernikahan ini terus dilanjutkan, dan hanya akan menyakiti, Wina, menyakiti hatiku sendiri, bahkan menyakiti kamu, buat apa? Wina juga berhak bahagia. Yang terpenting sekarang posisinya sudah aman, aku sudah menjalankan amanah yang Pak Wiryo pinta." Aku menjawab pertanyaan istriku dengan tenang, tak ada keraguan sedikitpun. Yunita mengangguk, tersenyum."Oke kita jalan sekarang?""He'em."Aku mulai melajukan mobil keluar rumah, meni