##Author; maaf kalau agak mellow, siapin tissue ya...
Setelah itu jangan lupa Vote biar nggak terlalu sedih...he he.##*"Ibu..., aku Indra Bu...," lirihnya lagi. Wanita itu menatap Indra dengan tatapan penuh harap. Bagaimanapun ia memang sedang menunggu sosok yang sangat ia rindukan, apakah bayi merah itu telah sebesar ini? Matanya tak berkedip mengamati pemuda tampan di hadapannya."Indra? Mungkinkah kau adalah Indra putraku?" Anita mencoba memercayai penglihatannya. "Apakah ini mimpi, ataukah aku dalam keadaan tak sadarkan diri?" Anita menoleh kesana kemari, ia benar-benar dalam kamar yang sama, menunjukkan ini bukanlah mimpi.
Tangan Anita bergetar, meraih wajah Indra perlahan. "Kau bukan mimpi? Kau Indra?"
Indra mengangguk, air matanya pun meleleh tak henti melihat bagaimana ibunya menatapnya tak percaya.Jemari Anita terus menyusuri pola wajah Indra yang membeku. "Ini nyata?" Anita terus meracau, lalu ia memeluk Indra dengan erat. "Indra
Indra menggenggam tangan yang kemarin ia gunakan untuk menggenggam tangan ibunya dan iapun tersenyum bahagia mengingat momen mengharukan tersebut. Ia melangkah dengan hati riang dan seolah tubuhnya menjadi ringan. Ia bertekad untuk menang dalam turnamen basket di Thailand demi ibunya tersenyum bahagia.Iapun sedang berjalan hendak menemui temannya di klub bola basket. Ternyata mereka memang berada di tepi lapangan sembari minum dan mengobrol."Ayo semangat, sebentar lagi turnamen berlangsung, kita tak boleh membuat malu nama negri kita," celotehnya di hadapan teman-temannya.Akan tetapi semua teman Indra malah menatapnya heran. Mereka berkumpul mengerumuni Indra dengan tatapan menusuk."Kenapa kalian menatapku begitu? Aku serius sekarang ini, atau kalian mau berangkat tanpa aku ya? Ayolah jangan begitu dong, aku juga mau terkenal seperti kalian," Indra terus mengoceh."Jadi, apa maumu sekarang? Ha?" tantang seorang temannya dengan emosi. Selama ini
Mereka merasa cemas menunggu di depan pintu sebuah ruangan operasi di rumah sakit. Terutama Abraham dan Indra. Mereka terlihat sangat gelisah. Hal itu dikarenakan Anita menjalani operasi di dalam ruangan tersebut. Mereka sangat bersyukur, pertemuan Anita dengan putranya membuat fisik Anita jauh lebih baik.Saat ini Intan merasa aneh dengan gelagat ayahnya yang sebentar-sebentar menyeka keringat di dahinya. Padahal selama ini ayahnya terlihat sangat tenang dan tegar.Di sudut lain Indra tak hentinya merapalkan do'a, seakan ia seorang pertapa di sebuah gunung."Ck, kukira lelaki itu nggak bakal ketakutan kalau keluarganya lagi di operasi," gerutunya yang sempat didengar Baskoro."Ayahmu pasti pernah mengalami trauma. Lihat saja, dia seperti orang mabuk kendaraan," Baskoro berkomentar. "Dan apa yang kamu pikirkan soal lelaki memang tak sepenuhnya benar, meskipun tubuhnya kuat, hatinya juga lembut.""Lembut? Kau tak selembut itu rasanya."
Anita mulai siuman pasca operasi. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menguatkan dirinya untuk meredam rasa sakit yang membuatnya sedikit putus asa."Intan...kaukah di sana...," Anita menyebut Intan, ia ingin Intan berada di sampingnya untuk mendampingi dirinya.Intan segera bangkit menghampiri, menggenggam tangan Anita yang mencengkeram tepian tempat tidur mengurangi rasa sakitnya."Bibi, aku di sini. Aku ada di sampingmu," lirih Intan.Anita mulai merasakan lebih ringan dan berkurang rasa sakitnya, sehingga ia membuka matanya dan melihat kesekelilingnya."Apakah operasi berjalan lancar?" tanya Anita pada Intan."Benar bibi, semua berjalan lancar. Bibi Anita pasti akan sehat seperti sediakala."Indra mendekati Anita dan Intan. Ia yang paling cemas semenjak operasi berlangsung."Ibu, aku Indra, apa ibu baik-baik saja sekarang?" Indra sedikit sedih karena justru Intan yang ibunya ingat pertama kali."Indra, kau putrak
Melissa memeriksa jahitan di perut Anita dengan telaten. Bahkan Indra tak berkedip melihat bagaimana Mellisa membersihkan bekas jahitan tersebut, lalu Mellisa mengganti pakaian Anita dan juga merapikan tempat tidurnya.Sebenarnya,"Kau sangat terampil melakukan perawatan buat pasien," Indra berkomentar."Ini sudah tugasku hampir setiap hari, membersihkan luka dan juga pasien, aku sudah terbiasa," jawab Mellisa."By the way, terima kasih ya sudah banyak membantu ibuku menjalani perawatan ini," ujarnya.Mellisa menautkan alisnya. "Ibumu? Tapi, bukankah ibumu adalah bu Darmawan?" Melissa terkejut, karena ia tak menyangka kalau pasien tersebut adalah ibunya.Anita yang mendengar itu menjadi terharu dan berbunga -bunga. Ia sangat senang bahwa kenyataannya sekarang dirinya adalah seorang ibu."Ehmm, maaf saya nggak tahu, Bu." Mellisa meminta maaf pada Anita."Tak mengapa, itu cuma kesalahan fahaman kecil. Aku malah senang karena te
"Baiklah, ayah akan menemui Anita dan mengucapkan selamat karena sudah melewati masa kritis ini."Pria itu menghela napas berat, ia sedikit trauma kalau-kalau Anita tidak menerima kembali dirinya. Ia akan menemui untuk melamarnya, demi Indra.Selain itu ia akan menebus kesalahannya yang lalu. Ia tak yakin apakah dalam hal ini Anita akan menerimanya.Setidaknya setiap masalah seperti benang kusut, kini mulai terurai satu persatu. Masalah Anita, masalah putrinya, masalah Indra putranya mulai terselesaikan dengan baik. Abraham merasa lega karenanya.*Melissa termenung di sebuah kafe di dekat rumah sakit. Ia sedang memikirkan perjodohan yang ayahnya dan teman ayahnya lakukan untuknya. Perjodohan itu sangat membuatnya kesal bukan main.Bagaimanapun ia tak bisa menerima pria itu menjadi suaminya. Ia baru menyadari keberadaan dirinya di rumah sakit besar ini adalah bantuan dari teman ayahnya itu. Dokter Andi adalah dokter tampan dan ba
"Menikah?" Anita terkejut, ia tak menyangka Abraham berniat menikahinya. Bahkan mereka sudah sama-sama tua dan memiliki hidup yang berbeda.Yang sebenarnya lagi sudah ada perasaan tidak menyukai pria tersebut, mengingat bagaimana masa lalu itu membuat hatinya semakin terluka."Ya, aku berharap kita bisa menikah setelah kondisimu membaik, sebab sepertinya aku harus menebus kesalahanku di masa lalu," katanya dengan rasa yang campur aduk. Y, dirinya memang sudah tak seperti dulu yang sangat percaya diri terhadap wanita."Apakah kau harus menebus kesalahan? Masalah itu sudah berlalu dan aku tidak ingin memikirkannya lagi," wajah Anita menunjukkan rasa marah yang belum hilang. Salah satu sifat wanita ini terkadang membuat pria bertanya-tanya apakah ucapannya itu benar-benar kejujuran?Abraham menatapnya lama dan memicingkan matanya."Kau...masih marah kepadaku?""Sudahlah, jangan bahas ini lagi. Setelah aku sehat mungkin aku akan kembali ke Surabaya
Memikirkan Abraham, hati Anita mencelos. Ada rasa marah yang belum tuntas di hatinya. Pria itu memang pria yang sangat membuatnya tergila-gila. Bahkan bisa dibilang Anita sangat terobsesi dengannya.Akan tetapi, penyesalan itu mulai datang saat Abraham mengecewakannya dengan menceraikannya secara sepihak. Ia mulai berubah haluan dari sangat mencintai menjadi sangat membenci. Pada fase ini, Anita belum bisa menerima Abraham.Sesuatu yang membuatnya terjebak dalam kebimbangan selanjutnya adalah bahwa kini usianya sudah kian menua, dan ia tak memiliki apapun untuk bertahan hidup kecuali meminta pada Abraham atau kembali kepada keluarganya dalam keadaan terhina.Sedang asyik Anita berpikir, Intan menghampirinya."Bibi, aku sangat senang bibi segera kembali pulang. Setidaknya Bastian tak kesepian lagi karena ada bibi di rumah ini," katanya sambil memberikan Anita ramuan herbal untuk memulihkan kesehatan Anita.Anita melihat putri Abraham yang selalu mengh
"Lupakan bocah ingusan itu. Kau tahu ayah sudah tak mampu lagi untuk bekerja, bagaimana mungkin membiayaimu kuliah?" Ayah Mellisa melihat Melissa ketika turun dari motor Indra. "Kau harus segera menikah dengan pria yang matang dan mapan dalam pekerjaan," ujarnya lagi.Mellisa menitikkan air matanya, ia tak tahu apa yang harus ia katakan kalau ayahnya sedang marah seperti ini."Ayah, ayah tahu kalau aku tidak butuh biaya kuliah dari ayah. Jadi ayah, itu bukan alasan," Isak Mellisa dan segera berlari menuju kamarnya."Melissa, kau harus hidup baik dan tidak seperti ayah yang tak bisa membiayai anaknya untuk sekolah, padahal ayah cuma memiliki satu orang anak saja," gumam ayahnya.Sementara Melissa sangat terpukul dengan keputusan ayahnya. Untuk itu ia ingin menangis sekuatnya, tapi bukankah itu tak menyelesaikan masalah? Ia mulai merenungi ucapan ayahnya.Setelah makan malam, Melissa menemui ayahnya."Ayah, aku sudah berbicara dengan Yusac, bahw