"Tolong jangan bawa aku pergi ...."
Nathalie sudah hampir menangis sekarang. Ia sangat berharap seseorang akan menolongnya saat ini.
Sementara seseorang yang ada di sebelahnya itu mendengkus. Memelankan laju kecepatan mobil sehingga membuat Nathalie termenung.
"Apa kau terbiasa berbicara tanpa memandang lawan bicaramu?"
Nathalie yang mendengar suara tidak asing di sebelahnya lantas menoleh. Memperhatikan wajah di sampingnya sebelum kemudian melebarkan kedua mata.
"Dalton! Kenapa ... kau?"
Pria itu melirik Nathalie sebentar sebelum kembali menatap jalan.
"Kau berharap siapa yang akan ada di sampingmu sekarang? Kai?" Pria itu mendesah kasar. "Hampir saja kau diculik tadi."
"Kenapa mereka ..." Nathalie tidak melanjutkan ucapannya lagi setelah ia tersadar akan satu hal.
Eden. Seseorang yang pernah Kai katakan akan segera muncul mengincar kekasihnya itu. Namun, tetap saja ia j
Pandangannya tajam menatap lurus pada sebuah batu nisan di hadapannya yang terbentuk dengan indah. Sedangkan pada batu tersebut terukir nama seseorang yang sudah tidak mungkin ada lagi di dunia ini. Nama yang membuat ia merasa harus lebih kuat menjalankan hidup dan berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Menapak kerasnya dunia yang terdapat bermacam-macam hal mengerikan yang tak terlihat.Perlahan, wanita bersurai pirang itu menurunkan kacamata hitam yang sejak tadi menyembunyikan manik mata sebiru langit saat ini. Dan detik berikutnya, ia meletakkan bunga anyelir berwarna merah pucat tersebut pada makam di hadapannya. Tidak ada ekspresi lain di wajahnya selain datar."Aku pasti akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku ... Ayah," ucap wanita itu sembari menciptakan seringai tipis di wajah cantiknya.Ia mengalihkan pandangannya pada satu keluarga yang sedang menitikkan air mata di hadapan makam seseorang. Tampaknya mereka baru saja kehil
"Harimu menyenangkan, Kai?"Mark memberikan segelas whisky pada pria berpakaian putih di hadapannya. Kai tidak membalas dan hanya mengangkat bahu, membuat Mark menggelengkan kepala pelan.Khas seorang Kai."Berikan aku jus," ujar pria itu yang membuat kerutan di dahi Mark terlihat.Ada apa dengan pria ini?Dan tanpa banyak kata, Mark segera menyiapkan minuman yang Kai minta. Sembari membatin apa yang telah terjadi pada pria itu. Tidak biasanya Kai akan meminta minuman selain alkohol saat datang ke sini. Wajah Kai saat ini juga terlihat senang. Entah apa yang membuat pria sedingin es tersebut terlihat berbeda sekarang."Apa Dalton akan kemari?" Mark kembali bertanya selesai menuangkan minuman pada pembeli yang lain.Kai mengangguk."Dia akan segera datang," balasnya.Menghela napas pelan. Kai kembali melirik ponselnya yang tidak ada tanda-tanda seseorang menghubungi dirinya.Mungkinkah kekasihnya
"Aku ingin kau segera menikah, A Kai."Suara ayahnya terdengar. Dan Kai hanya mendengkus."Aku belum merencanakannya untuk saat ini." Ia menghentikan mobilnya di lampu merah. Menyadarkan kepala dan suara ayahnya kembali terdengar."Sampai kapan kau akan mengatakan hal itu? Umurmu sudah cukup untuk menikah. Kau juga harus memikirkan ku yang sudah tua ini. Aku tidak ingin mati sebelum melihatmu menikah.""Apa yang ayah bicarakan?"Lagi-lagi ayahnya itu berbicara dengan nada menyedihkan."Aku hanya ingin mengingatkan agar kau tidak menghabiskan waktumu untuk terus bekerja. Kau harus mencari seorang wanita yang bisa kau ajak bertemu denganku.""Aku sudah memiliki kekasih. Jadi, jangan terus memaksaku untuk mencari wanita lagi, oke?"Helaan napas terdengar dari seberang telepon. Bersamaan dengan Kai yang kembali menginjak pedal gas."Apa kau benar-benar kembali bersama dengan ma
"Minggu depan adalah acara pertemuan keluarga, kau ingin datang?" Kai bertanya pada Nathalie yang sedang mengunyah sup jagung yang baru saja wanita itu suapkan ke dalam mulut.Saat ini, mereka berdua tengah sarapan bersama. Dengan beberapa pembicaraan kecil yang menjadi pemanis pagi ini."Kenapa kau malah bertanya padaku?" Wanita itu tidak mengerti. Apakah pria itu sedang bertanya tentang pendapatnya?"Kau bisa menemaniku pergi?" Pria itu kembali berkata.Sedangkan Nathalie tampak sedikit merasa tidak enak. Ia tidak bisa menebak bagaimana tanggapan orang-orang di sekitar Kai ketika mengetahui mereka yang kembali bersama setelah membatalkan pertunangan dulu. Kejadian itu bukanlah hal kecil, melainkan menggegerkan seluruh orang-orang yang tidak menyangka jika mereka berdua akhirnya berpisah."Sepertinya aku tidak akan bisa. Akhir-akhir ini press menjadi semakin sibuk."Sebenarnya, Nathalie tidak peduli dengan penilaian orang lain m
Sudah tiga hari sejak Rena pindah pada tim yang sama dengan Nathalie. Namun, wanita itu masih juga belum terbiasa dengan pekerjaannya. Bahkan beberapa kali Nathalie melihat temannya- Ariska, kesal karena wanita itu.Meski begitu, kadang kala saat mereka bertengkar, masih dapat dikatakan aman. Nathalie tidak yakin jika keduanya benar-benar saling membenci."Rena, kau ingin ikut aku pergi meliput?" tanya Nathalie yang seketika membuat kedua bola mata Ariska mendelik."Kenapa kau mengajaknya pergi? Dia bahkan belum menyelesaikan pekerjaannya di sini." Ariska mendengkus sembari meletakkan beberapa kertas yang ada di tangannya itu ke atas meja dengan sedikit keras."Ide bagus! Karena selama ini aku hanya memandang cara kalian bekerja saja." Ia berucap dengan penuh semangat."Ini adalah daftar pertanyaan kita nanti. Kau bisa mempelajarinya lebih dulu." Nathalie menyerahkan selembar kertas yang berisi daftar pertanyaan wawancara mereka.
Nathalie menatap langit biru dengan hamparan awan yang menghiasinya. Seperti permen kapas yang beterbangan dan bergerak pelan kala angin menyapa mereka dengan ramah.Kedua sudut bibirnya sedikit tertarik. Melemaskan bahu untuk bersandar pada kursi penumpang kelas suite yang membawanya terbang melewati berbagai negara di bawahnya. Sudah hampir lima jam perjalanan dan dirinya masih belum mengatakan apapun pada Kai. Pria itu duduk di sebelahnya dengan tatapan yang jatuh pada tablet di pangkuan. Tampak tak peduli apapun yang terjadi. Dengan ketinggian ribuan kaki dari daratan, Kai masih saja bekerja. Pria itu mengatakan jika waktunya akan terbuang sia-sia jika dirinya hanya duduk manis dan bersantai melihat pemandangan membosankan yang sudah sering kali ia lihat."Tidurlah dulu, penerbangannya masih lama." Kai meletakkan tabletnya setelah beberapa saat. Menoleh kepada kekasih tercinta yang masih membuka lebar matanya.Namun, Nathalie balas menggeleng."
"Ayah ...."Kai menyapa seseorang di hadapannya. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Yang pasti, Kai rasa itu bisa dihitung beberapa tahun lalu."Kau ini! Apakah jika ayahmu meninggal, kau baru akan menemui ku?!" Suaranya berubah. Dan tatapannya ikut menjadi garang.Wajar saja. Siapa yang akan rela jika ditinggalkan anaknya bertahun-tahun dan hanya berkomunikasi lewat telepon? Terlebih Kai juga belum menikah, tidak memiliki hal khusus yang perlu diperhatikan selain bekerja dan bekerja."Aku sudah berada di sini." Kai mendesah pendek. Mengalihkan pandangan pada wanita yang berdiri di sebelahnya. "Bersama wanitaku."Nathalie tersenyum. Membungkukkan badannya sebentar pada ayah Kai."Paman, bagaimana kabarmu?"Mata Yuan Nuan beralih pada Nathalie."Lama tak bertemu ... Nathalie," balas pria tua itu dengan nada rendah. "Aku baik. Tampaknya kau juga begitu."Pria berdarah China itu ters
"Maaf, karena kau mendapat perlakuan tidak menyenangkan di kediamanku.""Aku baik-baik saja," balas Nathalie. Apa yang dilakukan Lilia dan Mega masih tergolong ringan untuknya.Jordi mengajak wanita itu untuk duduk pada salah satu kursi di sana. Mengambil minum dan beberapa kue kecil untuk dimakan. Ia meletakkannya di hadapan Nathalie yang membuat wanita itu tersenyum tipis."Aku tidak tahu apa yang kau sukai. Jadi ku ambilkan yang terlihat menarik saja. Semoga kau tidak menyuruhku untuk kembali mengambilnya.""Mereka tampak cantik." Kedua manik cokelat teduh itu turun memandang kue-kue tersebut.Pria itu terdiam. "Aku harap kau menikmati acara ini.""Sepertinya kau terlalu keras pada dua wanita itu. Mereka terlihat gemetar saat kau datang." Helaan napas itu terdengar dari Nathalie. Menggelengkan kepala pelan."Mereka pantas mendapatkannya." Jordi masih berpikir jika yang ia lakukan adalah benar. "Wanita