Tanpa pikir panjang aku berbalik arah dan bergegas pergi dari tempat itu. Tak kupedulikan panggilan Uma Sayidah yang terdengar mengejarku. Perubahan sikapnya yang terlalu mendadak membuatku merasa curiga. Juga dia yang seperti memaksa untuk membawaku ke tempat ini lalu keberadaan Gracia. Semakin membuatku merasa ada yang tak beres dengan semua ini. Sampai di rumah aku langsung masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Aku benar-benar tak perduli lagi dengan wanita paruh baya yang terus memanggil dan mengikutiku masuk ke dalam rumah. Entah apa yang dilakukannya di luar kamar, aku sama sekali tidak peduli. Mengingat kehadiran Gracia membuatku pusing dan mual seketika. Tak tahan aku pun berlari ke kamar mandi, kutumpahkan semua makanan yang baru beberapa jam yang lalu masuk ke dalam lambungku. Ternyata luka masa lalu yang kualami dulu belum sepenuhnya sembuh. Meski sudah bertahun-tahun lamanya namun begitu kembali melihat sosok itu bayangan kejadian itu kembali muncul seperti roll film
Selesai makan malam Nafisah langsung masuk kamar. Tanpa bicara atau sekedar pamit pada Shaka duduk di seberangnya dan Uma Sayidah yang sedang berberes di dapur. Shaka yang bingung juga khawatir hanya bisa menghela nafas panjang. Dia harus mencari tahu apa yang sudah terjadi pagi tadi sehingga istrinya itu jadi berubah dingin. Nafisah yang dia kenal sangat ramah dan hangat namun saat hatinya merasa kecewa, wanita cantik itu bisa berubah sedingin gunung es. Dari dapur Uma Sayidah hanya bisa menatap penuh sesal pada Shaka. Entah apa yang harus dia katakan jika Shaka bertanya tentang penyebab istri jadi menutup mulut. Di kamar Nafisah merebahkan diri di atas tempat tidur dan mulai memainkan ponselnya. Sekedar berselancar di dunia maya sembari menunggu kantuk menjemput. Tak lupa dia juga berkirim pesan pada kakak iparnya untuk menanyakan kabar sang putri di sana. Rasa lega menyelimuti hatinya saat istri Zamar mengabarkan jika kakek dan nenek Qiara sudah datang. Untuk sementara Qiara t
Setelah menghabiskan sebatang rokok di teras, Shaka pun bergegas masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu lalu berjalan menuju kamarnya yang ada di bagian tengah rumah itu. Hal pertama yang dilakukannya adalah masuk kamar mandi untuk gosok gigi dan mengambil wudhu. Sholat Isya belum dikerjakannya. Sekitar lima belas menit dia pun selesai dengan kewajibannya. Sekitar pukul sembilan malam Shaka pun memutuskan masuk ke dalam rumah. Pikirannya sudah lebih tenang setelah bertukar pikiran dengan Zamar. Dia sudah bisa menentukan langkah apa yang harus diambilnya. Begitu masuk tatapannya tertuju pada wanitanya yang berbaring membelakanginya. Nafas kasar diembuskan beberapa kali masih dengan posisi berdiri di depan pintu. Duduk di sofa kamar adalah pilihannya saat ini. Dengan memandangi wanita yang sudah halal untuknya itu tengah menutup matanya. Entah sudah tidur beneran atau sedang berpura-pura. "Dek," panggilnya lembut, sambil menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. "Jika kamu belum ti
Dengan tangan saling bertautan, langkah Shaka dan Nafisah mantab memasuki lobi hotel. Disusul Galih yang berjalan di belakang dua orang itu. Shaka dan Nafisah berheti tepat di depan pintu masuk sebuah restoran yang berada di lantai dua hotel bintang lima itu. Dengan tatapannya Shaka menyapu seluruh ruangan yang dipenuhi orang-orang yang sedang menikmati sarapan pagi. "Di sana, Pak." Galih menunjuk ke meja paling ujung. "Mari," sambungnya lalu berjalan lebih dulu menuju meja dimana ada wanita yang duduk berhadapan dengan seorang pria paruh baya. "Selamat pagi, Bu Gracia." Sapa Galih sopan pada seorang wanita cantik dengan kulit putih bersih dan mata sipit yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu menoleh, "Selamat......." Kalimat di ujung lidahnya seketika ia telan kembali ketika melihat dua sosok yang berada di belakang Galih. "Heh....." Sebuah senyum sinis terukir di wajah wanita keturunan Tionghoa itu. "Wahh....... siapa ini yang datang? Romeo and Juliet versi dunia nyata, atau....
"Maaf, Pak Hartama bisa ikut saya ke meja lain." Pinta Galih namun tak ditanggapi oleh Pria berkaca mata itu. "Maaf, bisa tinggalkan kami?" tegas Shaka mengarahkan pandangannya pada Hartama. "Ada hal yang perlu kami bicarakan dengan Keponakan Anda." Hartama pun akhirnya beranjak setelah Gracia mengangguk samar. Lalu mengikuti Galih untuk duduk di meja lain yang berjarak kurang lebih tiga meter dari tiga orang itu. "Ayo duduk." Dengan penuh perhatian Shaka menarik kursi untuk Nafisah. Hal itu tak luput dari perhatian Gracia seketika membuat wanita itu berdecih karena muak. "Cih....." decihnya kesal. "Katakan mau apa?" Sambungnya sambil menatap sinis. "Berhentilah mengganggu hidup kami! Jalani hidup masing-masing!" Ujar Shaka. Tak menyahut Gracia hanya menatap penuh kebencian pada Nafisah. "Apa salahku padamu? Kenapa kamu begitu membenciku, padahal selama ini akulah yang kamu rugikan," tanya Nafisah sambil menahan rasa mual yang mulai terasa di perut dan tenggorokannya. "Apa? Ap
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel