Sebuah ketukan membuat aktifitas panas di dalam ruangan dengan AC itu harus terhenti. Kedua insan yang tadinya asik bercumbu kini lekas-lekas memperbaiki diri. Gelagapan membersihkan apa yang perlu dibersihkan.
“Ck! Siapa lagi, sih?” kesal Hail dengan wajah suntuk dan napas terburu. Panik? Tentu. Atasan mana yang ingin dilihat bawahannya tengah bercumbu? Apalagi posisi Hail sudah memiliki istri dan orang yang tengah bersemesraan dengannya adalah wanita lain … sekretarisnya sendiri.
Skandal sebesar ini bisa meruntuhkan nama perusahaan sampai ke inti bumi jatuhnya. “Ke belakang saja, biar aku yang buka,” pesan Hail, mengusap singkat pipi hangat Ranesha lalu melangkah ke arah pintu.
Hanya diperlakukan seperti tadi saja wajah Ranesha sudah kembali memanas, semburat merah menghiasi sepasang pipi tirusnya. Andai saja orang di balik pintu tadi tidak mengganggu, maka mungkin saja mereka sekarang su
"Demi apa ...."Lihatlah wajah gadis yang sudah membuang moralnya jauh-jauh ke luat ini. Sekarang keadaan Ranesha sangat mengenaskan. Blouse kerja yang ia kenakan sudah tidak serapi saat baru disetrika. Kemeja putih miliknya juga sangat kusut, bahkan ada beberapa kancing yang sudah sekarat—hampir terlepas.“Kacau sekali.” Ranesha jadi langsung teringat akan bayangan keganasan Hail saat mencumbunya. Hail sangat baik dalam berciuman dan dengan tangan kekar yang terasa dingin itu Hail mengelus—“Heh!” Ranesha memekik, panik sendiri. “Sekarang pikiranku juga ikut kotor! Apa ini yang para lacur dan pelakor di luar sana rasakan saat bercumbu dengan suami orang?” gumamnya berusaha mencari serpihan moralitas yang telah kandas.“Pergilah setan-setan! Jangan goda aku lagi!” usir Ranesha mengibaskan tangan ke udara. “Wahai otakku … berhentilah memutar a
Ranesha tidak pernah tahu kalau Hail memiliki sisi menyeramkan seperti ini. Maksud Ranesha adalah … lihat seringaian yang tidak kunjung hilang dari wajah sang atasan saat ini. Jika menamjamkan telinga, maka Ranesha bisa mendengar senandung kematian dari bibir Hail.“Pak,” panggilnya pelan, sepeninggal dua lelaki di sana tadi.“Hm? Kenapa?” Hail menyahut tanpan menoleh, masih sibuk membenahi barang-barang di atas meja kerjanya.“Saya tidak pernah tahu Anda sangat membenci Zale? Atau … karena dia sudah mencoba meretas dan menghapus data perusahaan waktu itu, ya?” Entah kenapa Ranesha jadi sangat penasaran. Hail yang dia kenal adalah sosok pria berhati malaikat—em, mungkin.“Bukankah sudah jelas?” Meletakkan benda-benda penting ke laci, Hail berjalan mendekati sekretaris cantiknya ini. Menyibak helaian rambut Ranesha ke telinga pe
Katanya kalau badan terlalu leah lalu dipacu juga dengan pikiran yang membuat depresi, maka otak bisa menciptakan sebuah halusinasi. Masalahnya si empu tubuh mungkin saja tidak sadar pada kondisi badan sendiri. Seperti Ranesha yang sekarang, dia tengah melihat sebuah bayangan kematian yang mengerikan.“Jangan!” pekik Ranesha yang melihat Hail dan Arin yang berjalan ke arah jurang. Namun, pada kenyataan yang ada dua orang itu hanya sedang ingin jalan-jalan ke taman.Teriakan Ranehsa berhasil menarik perhatian termasuk Hail dan juga Arin. Keduanya menoleh keheranan pada sosok Ranesha yang menangis dengan tangan seolah ingin menggapai mereka.“Kak Ran kenapa?” Arin menatap Ranesha horor, tangan mungilnya mencengkram kecil ujung lengan jas milik Hail.Tercengang bengang, Hail tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bergeming sambil memandangi sosok mengenaskan Ranesa. Nyatanya mas
“You’re an apple of my eye. Tidak ada orang lain apalagi Juan. Saya sudah bilang hanya akan mencintai satu orang dan setia pada satu orang saja dan itu adalah Anda. Not another man, but you.”Kalimat yang Ranesha lontarkan membuat isi kepala Hail dipenuhi bunga-bunga bermekaran, perut pria ini juga terasa sesak oleh kupu-kupu yang berterbangan. Bagaimana bisa Ranesha mengungkapkan isi hatinya sebegitu mudah? Sedangkan Hail saja sampai sekarang tidak pernah benar-benar menyatakan cintanya secara gamblang.You driving me crazy, Ran.Kepala Hail memiring guna meresapi sentuhan Ranesha di pipinya. Ia sudah seperti kucing jalanan yang haus akan kasih sayang. Hail otomatis mulai berpikir serakah, ia sangat ingin agar raga dan jiwa dari sentuhan ini hanya menjadi miliknya seorang.“Ran.” Hail menggeser telapak tangan Ranesha dari sisi wajah bergerak k
“Y-Ya sudah! Tidak jadi!” Ranesha berontak dan dengan cepat kembali berbaring di tempat tidur. Ranesha menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh terutama wajahnya. Malu.Hail lantas tertawa kecil melihat itu. Ia bersidekap. "Ran," panggilnya pelan."Jangan bicara dengan saya! Saya sedang malu dan marah pada Anda!" jujur Ranesha di balik selimut sana."Ingin tahu alasan kenapa aku sampai bisa menikah dengan Meriel?" pancing Hail. Namun, dia tidak sembarang bicara. Pria ini ingin agar Ranesha tahu semuanya tanpa sisa dan Hail berharap Ranesha juga memberitahu Hail segala kisahnya juga.“Itu tidak ada dalam webtoon. Belum, mungkin belum diceritakan,” gumam Ranesha yang perlahan menarik ke bawah selimutnya. Menampilkan sedikit wajah, menghadap ke arah Hail.“Apanya yang tidak ada?” Samar, tapi Hail masih bisa mendengar sedikit apa yang Ranesha g
Wanita dengan baju terusan berwarna kuning, wajah yang cerah, dan sepasag mata biru bak berlian yang cemerlang itu menunduk sedikit untuk menyamakan tinggi badannya dengan Hail kecil. Ia menatap tanpa rasa jijik pada bocah kotor tadi.“Aku adalah Adora, siapa namamu, Nak?” tanyanya terdengar lembut dan sopan.Hail termenung. Ini adalah yang pertama kali baginya. Pertama kali ia dihampiri oleh seseorang yang berpenampilan bersih dan rapi. Pertama kali ia diperlakukan selayaknya sesama manusia. Pertama kali ada yang bertanya namanya dengan lembut.Mata Hail berkaca-kaca, antara haru dan bahagia membuat hatinya meleleh bagai mentega. “H-Hail,” sahut anak kecil itu sambil menunduk, salah tingkah. Bahkan ia sampai gagap hanya dengan menyebutkan namanya sendiri.“Hail?” ulang Adora, sedikit memiringkan kepala guna melihat wajah bocah kecil di hadapannya. Sungguh, hati Ad
Masa sekarang. Di kamar VIP nomor 13 pada salah satu rumah sakit.Bulir bening segera meluncur indah dari sapasang mata bernetra hazelnut di sana. Perempuan berambut cokelat terang sebahu itu memasang mimik muka seolah dialah yang terluka mendengar cerita Hail barusan.“Jadi … saat berteman dengan saya saat itu, Anda menyembunyikan hal seperti ini,” simpul Ranesha disela isak tangisnya.Hail tidak mengerti. Itu tadi kisah pilunya, semua penderitaan tadi hanya Hail yang mengalaminya, jadi kenapa malah Ranesha yang menangis seperti ini?“Iya, begitulah,” jawab Hail seadanya.Ranesha menunduk dan menghapus air mata. Ia kembali mendongak, kini tanganya terulur untuk menyentuh Hail. Ranesha menangkup wajah pria tampan itu dan tersenyum kecut.“Pasti sulit, ya? Bertahan sendirian seperti itu. Berjuang sendirian seperti itu. Kehi
“Hah ….” Ranesha mengembuskan napasnya berat, menopang dagu di pinggir jendala, melihat pemandangan di luar jalanan yang muram. Langit malam tiba-tiba berubah kelam, tanpa bulan dan tidak ada bintang. Benar-benar mewakili perasaan Ranesha sekarang.“Kita sudah sampai di rumah Dokter Sylvia,” lapor sang supir di depan.“Terima kasih. Tolong tunggu saja di sini, Pak. Mungkin memang akan lama,” ujar perempuan tadi seraya keluar dari mobil.“Baik Nona Muda.”Tungkai kaki Ranesha digerakkan santai menuju ruangan Dokter Sylvia. Sebenarnya dia bisa saja cukup dengan memanggil sang dokter ke rumah, akan tetapi di sana ‘kan terdapat bom waktu bernama Caspian. Bisa-bisa rencana Ranesha dikacaukan. Padahal ia hanya menuntut sebuah kebenaran.“Akhirnya Nona Ran datang,” sambut Sylvia tanpa rasa terkejut barang sedikit p