Dari arah dalam muncul Dea yang mengenakan dress bercorak kembang-kembang warna soft pink. Rambutnya dibiarkan terurai. Mereka saling pandang dan membuat dada Gama kembali bergetar. Andai malam ini ia ditolak, akan kembali merasakan patah hati yang teramat hebat. Waktu bercerai dulu, masih bercampur dengan rasa marah dan kecewa. Namun kali ini, yang ada hanya rasa nestapa."Masuk, Mas!" Dea mempersilakan."Sayang, kado dari siapa ini?" tanya Gama ketika melihat kado yang ada di meja ruang tamu. Berbungkus kertas kado warna merah muda juga. Namun ada hiasan pita yang mempermanisnya."Dari Om Dokter, Pa," jawab Antika.Seketika Gama memandang ke arah Dea. Yang dipandang terlihat tidak berdosa. Lelaki itu menghampiri dan berdiri tepat di sebelah Deandra."Dari mana dia tahu Antik berulang tahun?" tanya Gama lirih. Dia tidak ingin menunggu nanti untuk bertanya. "Aku yang ngasih tahu," jawab Dea. Rona wajah Gama seketika berubah. Ia lupa pesan mamanya tadi. Ah, mamanya tadi hanya berpesa
MASIH TENTANGMU- Sebuah Janji"Halo, Pa." Gama menjawab telepon dari papanya. Dadanya selalu saja berdebar setiap kali ia mendapatkan telepon dari keluarga. Cemas jika yang diterimanya adalah kabar buruk tentang Mbah Kakungnya yang sekarang masih terbaring di rumah sakit.Dokter Angkasa belum mengizinkan untuk pulang. Sebab kondisinya belum stabil. Namun selama Gama beberapa kali ke rumah sakit, dia belum pernah bertemu lagi dengan dokter itu."Kamu sudah pulang?" "Belum, Pa.""Ada masalah?""Nggak ada.""Bagaimana Dea?""Alhamdulillah, dia mau ngasih kesempatan kedua," jawab Gama seraya memandang pada Deandra."Syukurlah. Tapi hati-hati dengan Alita. Mereka masih kerja satu kantor, kan? Apa Dea resign saja.""Nanti akan kami bicarakan, Pa.""Perempuan itu berbahaya, Ga. Rumahmu sedang diawasi. Ada lelaki yang sering mondar-mandir di jalan depan rumah. Tadi Gandi yang cerita. Anak buahnya beberapa kali lihat lelaki yang sama di sana.""Aku tahu. Aku sudah lihat rekaman CCTV-nya. Pa
Dulu sampai empat bulan lamanya, dia dan Alita bisa menutupi hubungan dari Dea. Gama yakin, sekarang ini dia juga bisa menyembunyikan hubungannya dengan Dea dari Alita.Hanya saja dulu Dea memang tidak mencari tahu tentangnya. Berbeda dengan Alita yang sengaja memata-matai dirinya."Kata istriku, Alita kemarin malam makan di kafe bersama sepupunya.""Masih sering ke sini?""Mungkin tujuannya bukan hanya makan. Pasti ada hal lain yang ingin ia ketahui. Tapi aku sudah pesan ke Melati, kalau tidak perlu mendekati bahkan sampai bicara panjang lebar dengan Alita.""Papa dan mamanya Lita masih di sini?""Mamanya saja yang masih tinggal. Papanya sudah kembali ke Surabaya.""Sebenarnya rumit juga kalau kita melaporkan ancamannya Lita. Sebab dia sekarang diam tanpa tindakan. Yang bekerja hanya orang-orang suruhannya saja.""Gampang, kalau dia mulai bertindak macem-macem. Ancam balik saja. Bilang kita bisa melaporkannya ke pihak berwajib. Kayaknya dia akan mengamuk setelah tahu kamu rujuk denga
MASIH TENTANGMU- RujukLangit cerah sore itu. Awan putih bak gumpalan kapas berarak di langit yang biru bersih. Pemandangan yang langka disaat musim penghujan begini. Hampir sebulan tiap sore pasti hujan, meski hanya sebentar."Han, aku temui dokter Angkasa sebentar." Dea menepuk bahu sahabatnya saat mereka sampai parkiran mobil."Dea, kamu harus ingat kamu siapa sekarang ini. Jangan sampai Gama tahu terus ngamuk sama kamu." Dengan suara lirih, Hani mengingatkan sahabatnya."Aku nggak enak saja sama dokter Angkasa. Dia udah nungguin sejak tadi.""Tapi nggak usah lama-lama. Kasihan kalau dia masih berharap padamu, sedangkan kamu sudah memutuskan untuk kembali pada Gama.""Aku ngerti." Dea mengangguk. Hubungan yang terancam itu memang tidak bisa diceritakan pada siapapun. Untuk memberitahu dokter Angkasa juga tidak mungkin. Khawatir kalau bocor ke orang lain. Akhirnya sampai juga ke Alita. Sebab gadis itu tengah gencar-gencarnya sibuk mencari tahu.Tadi siang Gama mengirimkan pesan. Le
[Maaf, Dok. Terima kasih untuk buket bunga dan bingkisannya. Tapi sebagai seorang teman, ini terlalu istimewa untuk saya.]Dipandangnya deretan kata-kata yang dikirim Deandra. [Nggak apa-apa. Antik bilang suka cokelat. Jadi aku belikan cokelat untuk kalian berdua.] Terkirim. Tidak lama sebuah balasan singkat terbaca olehnya.[Terima kasih, Dok.][Sama-sama, Dea.]Setelah membalas pesan, Dokter Angkasa menyimpan kembali ponselnya, kemudian menyalakan mesin mobil dan meninggalkan halaman klinik. Sementara Dea yang duduk di ranjangnya masih termenung menatap layar ponsel. Dia tidak boleh memberikan harapan. Tapi bagaimana ia akan menjelaskan. Menjabarkan semuanya juga jelas tidak mungkin. Jika diberitahu sekilas kalau dia rujuk dengan Gama, khawatir juga jika sampai pada Alita. Bukankah gadis itu juga sering mengantarkan neneknya ke rumah sakit untuk check up kesehatan.Suara ketukan di pintu kamar membuat Dea beranjak untuk membukanya. Mbak Sri sudah berdiri di sana. "Mbak Dea, disuru
MASIH TENTANGMU- NervousKeluarga Pak Dedy bernapas lega setelah melihat kendaraan siapa yang memasuki halaman rumahnya. Mempelai lelaki yang tengah ditunggu dan membuat mereka khawatir telah sampai meski terlambat. Bukan takut Gama akan melarikan diri, jelas itu tidak mungkin. Sekalipun dulu Gama seperti apa, tapi laki-laki itu tidak mungkin bertindak sepengecut itu.Mereka hanya cemas jika diam-diam Alita telah tahu semuanya dan menggagalkan acara.Tangan Dea berkeringat meski AC di ruang tamu menyala. Nervous. Padahal ini bukan pernikahan yang pertama kalinya. Menikah pun masih dengan pria yang sama. Bahkan mereka juga sering bertemu dan mengajak anak jalan bersama. Namun pagi ini tidak bisa dipungkiri, degup jantungnya tak berpacu seperti biasa.Gemuruh makin menderu saat ia bersitatap dengan pria tegap yang memakai jas warna hitam dan kemeja warna biru muda sebagai dalamannya, muncul di pintu. Gama juga terkesima menatap Dea yang sangat cantik pagi itu. Di mata Gama, Dea tidak b
"Aku sudah memikirkan tentang hal itu. Tapi sekolahannya Antik sangat ketat. Kalau bukan family yang menjemput, nggak akan diizinkan masuk. Setiap jam pulang sekolah, papa mertua sudah standby di sana. Kalau pulang awal selalu ada pemberitahuan lewat WAG.""O, syukurlah. Tapi mesti hati-hati.""Jujur saja, aku lebih khawatir pada Dea. Tapi kalau Dea tiba-tiba berhenti kerja malah membuatnya curiga.""Terus mau sampai kapan kamu sembunyikan? Apa kalian tetap tinggal berasingan? Padahal kamu dan Dea udah jadi suami istri.""Dua atau tiga minggu lagi kami baru bisa isbat nikah di KUA. Semua surat-surat dan pendaftaran baru bisa diajukan hari Selasa nanti. Senin ini masih cuti bersama. Untuk sementara kami tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Yang penting aku udah nikahin Dea.""Takut diserobot sama dokter itu?"Gama tersenyum. Jelas saja iya. Dokter itu merupakan rival yang tidak boleh dianggap enteng. Namun Gama meminta kakak iparnya, Astrid, agar menyimpan rahasia ini dulu. Jangan
MASIH TENTANGMU- Malam di Malang Dea membalas senyum suaminya saat keduanya saling pandang. Gama mengangkat tubuh istrinya dan di dudukkan di atas meja rias. Baru sebentar juga mengecup bibir, suara Antika yang memanggil dari luar mengalihkan perhatian pengantin baru."Mama!""Ada Antik, Mas." Dea mendorong pelan tubuh suaminya. Ia turun dan membenahi bajunya.Gama melangkah untuk membuka pintu. Di depannya berdiri bidadari kecil yang tersenyum penuh cinta. "Papa, kok di sini?" tanyanya polos."Iya, Sayang. Memangnya kenapa?" Gama berjongkok di depan putrinya sambil memegang kedua lengan Antika."Biasanya Papa kan langsung pulang?""Mulai sekarang, sesekali papa akan tidur di sini. Bersama mama dan Antik. Boleh?"Mata bening gadis kecil itu tampak membulat dan berbinar-binar. Senyum menghiasi bibir mungilnya. "Boleh. Antik bisa seperti teman-teman Antik yang tinggal bersama papa dan mamanya, 'kan?"Gama mengangguk. Kemudian menggendong sang anak dan membawanya masuk ke dalam setelah