Maria melihat arloji di tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 6:31. Dia kini berdiri di depan pintu rumah besar bergaya Eropa. Setelah mengucapkan Basmalah terlebih dahulu, dia menekan bel yang terletak di sisi kiri pintu itu sekali. Setelah menunggu beberapa saat, pintu rumah terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya yang pernah di tolongnya beberapa hari kebelakang.
Maria cukup terkejut dengan kebetulan ini. Ibu-ibu yang di tolongnya waktu itu ternyata tinggal di rumahnya Gudy yang telah menjadi Bosnya saat ini. Maria hanya bisa tersenyum kecil ketika mendapati wajah terkejut Arum. "Assalamualaiku ibu." Sapanya mendahului, karena tidak ada tanda-tanda wanita paruh baya di depannya akan menyapa dalam waktu dekat.
Arum mengembangkan senyumnya dengan lebar. Dia tidak menyangka akan di pertemukan kembali dengan perempuan yang menolongnya tempo hari itu. "Wa'alaikum salam. Kamu yang nolongin saya waktu itu, ya?"
Maria mengangguk sambil tersenyum kec
Maria masuk ke dalam Minimarket mengikuti Gudy. Dia melihat-lihat sekelilingnya berharap menemukan Sinta. Karena tidak terlalu pokus dengan yang di depannya, dia sampai tidak menyadari Gudy berhenti di tempat membuat hidung dan dahi Maria menabrak punggung lebar Gudy. "Apa yang kamu pikirkan?" Rudy bertanya heran. Dia melihat Maria yang tingginya hanya sebahu itu tengah menggosok hidung dan dahinya, lalu mengernyit. Apa sebegitu kerasnya tadi Maria menabraknya? hidung dan dahinya sampai terlihat memerah. "Saya hanya sedang mencari teman." Maria menjawab sambil menahan ngilu. Dia merutuki punggung Gudy yang keras seperti tembok. Dia bertanya dalam hati, di kasih makan apa Gudy oleh Bu Arum sehingga dapat tumbuh tinggi besar seperti sekarang. "Siapa?" Mendadak Gudy kepo. Teman yang di cari Maria laki- laki atau perempuan. Tanpa dicegah, kepalanya celingukan kesana sini mencari seseorang yang kira-kira Maria cari. Maria agak memicingkam mata. Namun
Sedari pagi Gudy tidak bisa diam, 5 menit sekali matanya melirik Maria yang duduk tenang menekuri pekerjaannya. Berkali-kali Gudy menarik napas dan mengeluarkannya dengan kasar. Penampilan Gudy yang sehari-hari terlihat rapi, bersih, dan tampan kini terlihat sedikit kusut dan nampak lingkaran hitam di bawah matanya. Semalam Gudy tidak dapat untuk tidur karena kebanyakan berpikir, apa yang saat itu Maria pikirkan tentang dirinya yang setuju-setuju saja di suruh melamarnya? Apakah Maria tidak akan berpikir dia ini laki-laki gampangan? Uh, Bundanya memamg keterlaluan.Karena tidak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaannya, Gudy memutuskan untuk keluar mencari udara segar. "Saya keluar dulu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menelpon saya. Dan jangan biarkan siapapun masuk kedalam ruangan ini. Mengerti?""Mengerti, Pak."Maria memandang punggung Gudy sampai menghilang di balik pintu. Dia mendesah pelan karena bingung dengan perubahan
Karena kejadian tadi siang, suasana di dalam mobil terasa begitu sunyi. Maria dan Gudy sama-sama tidak ada yang mau memulai siapa yang terlebih dahulu ingin membuka percakapan, keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing.Maria denga pemikirannya yang merasa bodoh karena telah meneriaki Bosnya, padahal Gudy hanya refleks memegangnya karena ingin menolong Maria agar kepalanya tidak terantuk aspal jalanan. Sedangkan Gudy tengah sibuk menenangkan jantungnya yang berdetak tidak seperti biasanya bila berdekatan dengan Maria. Gudy malu, dia takut suara jantungnya terdengar oleh Maria.Setelah mengucapkan terima kasih dan salam, dengan terburu-buru Maria keluar dari dalam mobil. Maria bahkan tidak mendengar Gudy yang memanggil sebab handpohon-nya tertinggal. Maria hanya pokus dengan dirinya agar segera lepas dari pandangan Gudy. Maria malu bukan main, bahkan rasanya bernapas saja susah bila berada di sekitar Gudy.Sesampainya di dalam rumah, barulah Maria dapat
Hari ini Maria tidak jadi sarapan berdua bersama Gudy, karena Gudy ada pekerjaan mendadak bersama ayahnya keluar negri. Dia mendapat cuti dan memutuskan untuk berbelanja kebutuhan dapur.Maria sengaja berangkat pagi sekali untuk pergi kepasar. Sayur segar dan bagus tentu akan lebih mudah di dapatkan pada pagi sekali. Karena itu, sehabis shalat Subuh tadi Maria sudah berangkat.Maria pergi ke pasar dengan berjalan kaki. Angin pagi memang terasa menusuk kulit. Namun, jelas sejuknya tidak akan di dapatkan di waktu hari lainnya.Maria menoleh kebelakang begitu merasakan pundaknya baru saja ada yang menepuk. Di belakang Arum tengah memberikannya senyum lebar, Maria balik membalas tersenyum tak kalah lebar. "Ibu mau belanja juga?" Tanya Maria saat melihat keranjang di tangan Arum. Sebenarnya pertanyaan Maria sangat tidak bermutu. Orang pergi ke pasar apa lagi tujuannya kalau bukan untuk belanja.Arum tertawa renyah. Kebetulan yang menyenangkan bisa
Arum dan Bok Narsih juga ikut melihat orang yang memanggil nama Maria barusan. Satu meter di belakang punggung mereka berdiri seorang laki-laki dan perempuan cantik. Untuk ukuran orang yang ingin berbelanja ke pasar, tentu pakaian laki-laki dan perempuan itu terlalu tidak pantas. Bagaimana seseorang akan berangkat ke pasar menggunakan setelan batik yang lebih cocok di pakai untuk kondangan?Maria mencoba menyadarkan hatinya. Berkali-kali dia membisikan kata mereka bukan lagi siap-siapamu di dalam hatinya. Tak di pungkiri kalau Maria masih merasa cemburu dengan kehadiran Mantan suami dan madunya itu. Bagaimana tidak? Sela menyelipkan tangannya di pinggang Fiko. Sedangkan Fiko balik merangkul bahu Sela dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya di pergunakan untuk mengelus-ngelus pelan perut rata Sela."Kebetulan sekali kita berjumpa di sini, Maria." Sela berbicara seolah dia dan Maria adalah teman akrab. Sela bahkan sengaja m
Maria mengernyit saat mendengar ibu dari bosnya ini mengatakan kalau wajah dia dan Arkan mirip. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya Maria juga sepemikiran dengan Arum. Namun, dia cukup tau diri, saat tahu membandingkan orang itu bukan perilaku yang baik. "Iya, wajah den ganteng ini memang mirip sama Maria." Bok Narsih juga ikut-ikutan mengeluarkan pendapatnya. Maria tidak mengatakan apa-apa. Namun, sebagai gantinya dia menatap Arkan penasaran. Apa benar Arkan ini kakak laki-lakinya, dia juga selalu ada setiap saat Maria mengalami bahaya. Maria merasa kalau Arkan ini memang sengaja selalu ada disekitarnya untuk memastikan dia dalam bahaya atau enggak. Arkan sendiri yang malah balik ditatap pemasaran oleh Maria hanya mengedikan bahu acuh. Dia melengos menghindari tatapan Maria yang menuntut. "Kenapa kita mirip?" Maria akhirnya membuka suara karena tidak tahan dengan kebisuan Arkan. "Apa karena memang benar kita sepasang kakak dan adik?"
Arkan hanya diam mematung menatap Maria yang terpasang infus dari kaca di balik pintu. Maria sudah sadar satu jam yang lalu. Namun, dia sama sekali tidak ada keberanian menemuinya. Selain takut masa lalaunya terbongkar, dia juga sangat merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Maria."Pak Arkan."Arkan membalikan badan pada perawat yang memanggilnya. Itu perawat Mia, perawat yang selalu merawat ibunya di rumah sakit jiwa ini. "Ada apa?""Ada yang mau saya sampaikan mengenai ibu Kinanti.""Nanti saja, sekarang saya harus memantau keadaan adik saya dulu." Arkan mengusir halus perawat yang sudah berjasa mengurus ibunya ini selama belasan tahun."Tapi ini ada kaitannya dengan adik Pak Arkan yang di dalam."Arkan langsung menegakan kepalanya. Dia menoleh ke arah Maria yang tengah memandang langit-langit kamar, lalu menatap kembali perawat Mia dengan sorot mata rumit. "Ayo, bicara di ruangan saya!""Katakan!" Tanpa basa-basi Arkan memerint
Arkan berdiri, dia menatap sang papa dengan wajah sembabnya. "Dia Uri, putri kecil Papa yang sudah meninggal." Bagai disambar petir, Bagus melotot terkejut pada anak sulungnya ini. "Apa kamu bilang?" Arkan mengusap jejak air mata di pipinya. Dengan menyematkan senyuman kecil, Arkan menepuk pelan bahu Bagus. "Kita bicara di ruangan Arkan." Sekali lagi Bagus melihat istrinya yang masih berpelukan dengan perempuan muda yang dikatakan putrinya itu sebelum mengikuti Arkan menuju ruangannya. Dia begitu penasaran dengan apa yang diucapkan Arkan, bukankah putrinya sudah meninggal belasan tahun lalu? Arkan sendiri yang mengatakan kalau Uri putrinya ikut terbakar dalam mobil itu. "Jelaskan ucapanmu tadi!" Bagus segera menodong Arkan saat pintu sudah tertutup rapat. Arkan mendudukan tubuhnya di sopa yang terdapat di ruangannya. "Dia Maria Nurindah, adik Arkan yang kecelakaan belasan tahun lalu. Uri tidak ikut terbakar dalam mobil. Orang yang terbakar dal