"Jam berapa kamu akan datang?" Tanya Innara lewat sambungan telepon pada Halil yang sengaja menyalakan telepon dalam mode loudspeaker karena permintaan ibunya.
"Setelah magrib aku jalan, Mbak. Kenapa? Udah kangen?" Tanya Halil seraya mengulum senyum di kejauhan sana sementara di seberang Innara ibunya mengangkay sebelah alis atas panggilan 'Mbak' yang disematkan Halil pada putri sulungnya. "Belum lama pisah udah kangen aja. Segitu cintanya ya sama aku?" Pertanyaan Halil turut mengundang kekehan tersembunyi sang ibu yang masih kepo.
Innara memutar bola mata. Ia juga sebenarnya tidak mau menghubungi Halil. Tapi apa daya, ibunya terus mendesaknya untuk menghubungi Halil karena dia ingin menyajikan makan malam tepat waktu dengan kedatangan pria itu supaya makan malamnya tidak dingin. Innara berusaha menjelaskannya pada Halil tapi sepertinya Halil tidak percaya pada ucapannya.
"Tenang aja, aku pasti datang kok." Halil berkata dengan serius. "Mbak g
"Ada yang salah?" Bisik Halil pada Innara saat Innara mendekat dan merangkul lengan Halil tanpa aba-aba."Tergantung sudut pandangmu. Bisa jadi persepsi kita tentang masalah itu berbeda." Jawab Innara ketus yang membuat Halil terkekeh, mengusap kepala gadis itu dan menariknya supaya ia bisa mengecup sisi kepalanya sebelum merengkuh pinggang langsingnya. Innara yang terkejut dengan sikap Halil menatap pria itu dengan mata terbelalak."Aku lupa memberitahumu kalau aku orang yang suka menyentuh." Bisiknya lirih yang kembali dibalas tatapan horor Innara."Udah mesra-mesraannya?" Teguran bernada geli itu membuat Innara dan Halil menoleh bersamaan. Di hadapan mereka kini berdiri Tuan Parsa dan Nyonya Sita."Malam, Om. Tante." Salam Halil meraih tangan keduanya dan mencium punggung tangan mereka bergiliran. "Maaf terlambat." Ucapnya tulus.Nyonya Sita menggelengkan kepala. Dia masih harus menata hatinya melihat sikap mesra yang Halil lakukan pada putri su
"Kamu serius sama Innara?" Pertanyaan itu diajukan oleh Tuan Parsa saat mereka sedang duduk berdua di halaman belakang dimana kolam renang berada."Serius seperti apa yang Om maksud?""Serius menurut versimu." Tuan Parsa kembali bicara"Jika serius menurut anggapan semua orang adalah tentang pernikahan. Maka ya, saya serius. Kedatangan saya kesini bukan karena saya ingin menunjukkan pada semua orang kalau saya serius. Tapi juga ingin mengatakan pada Om, Tante dan Nin kalau saya akan menjaga Innara dengan baik sehingga Tante, Om dan juga Nin bisa merasa tenang saat berjauhan dengan Innara meskipun ada Rayka disana.""Jadi, kamu tahu semuanya?" Tuan Parsa tampak terkejut. Halil menjawab pertanyaan pria itu dengan senyuman."Tolong jaga dia baik-baik. Selama ini dia sudah berusaha menjaga perasaan kami sementara kami tidak bisa melakukan apa-apa untuknya.""Om tenang saja. Sekalipun saya hanya karyawan rendahan, tapi saya berjanji kalau saya ak
"Apa-apaan kalian ini?!" Tegur Nyonya Sita seraya berjalan mendekati Halil dan Innara. "Bunda tahu kalian ini sudah dewasa. Tapi apa harus seperti ini?" Tanya Nyonya Sita lagi dengan tatapan dingin mengarah pada Innara dan Halil."Dan setelah ini, Bunda masih yakin mau biarin mereka berdua tetep barengan? Kita loh gak tahu mereka bakal ngapain aja selama jauh dari kita. Siapa yang bisa menjamin kalau kak Nara masih menjaga kehormatannya. Lihat aja apa yang dia lakukan, tingkahnya seperti wanita gatal." Ucap Azanie dengan nada nyinyirnya yang membuat Innara menatapnya tajam.Innara tahu apa yang baru saja ia lakukan, setahu ia kalau itu adalah hal yang tidak pantas untuk keluarganya lihat. Tapi perlukah Azanie memperjelas semuanya? Atau Azanie memang sengaja melaporkannya pada orangtua mereka untuk melihat tindakan asusila yang baru saja mereka lihat? Tapi untuk apa?"Nikahkan saja mereka secepatnya. Nikah siri pun lebih baik untuk sementara ini. Daripada menunda
Halil melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang. Dari spion kanannya, ia melihat seseorang mengikutinya dan ia tahu kalau itu adalah Rayka karena tadi saat keluar ia sempat memperhatikan mobil milik pria itu.Dengan sengaja Halil memberi sein kiri dan menepikan mobilnya ditempat yang cukup sepi dan saat itu juga Rayka mengikutinya.Halil masih menunggu di dalam mobilnya. Mencari tahu apa yang ingin Rayka lakukan padanya. Lalu ia mendengar kaca jendelanya diketuk dan Rayka terlihat mencoba melihat ke bagian dalam mobilnya yang memang dipasangi kaca film yang cukup gelap. Dengan sengaja, Halil menurunkan kaca mobil dan memandang Rayka dengan tatapan datarnya.“Apa yang kau inginkan?” Tanyanya tanpa basa-basi.“Keluarlah.” Perintah pria itu kasar.“Aku tidak perlu menurutimu. Disini aku bukan bawahanmu.” Ucap Halil dengan dingin. “Kalau kau ada perlu denganku, mintalah dengan sopan.” Lanjutnya dengan eks
Halil datang ke kediaman Innara pada pagi hari mengikuti permintaan Tuan Parsa. Semalam, setelah mendapatkan pesan dari Innara, Halil ingin berjingkat kegirangan karena jelas jawaban ‘Ya’ yang diberikan Innara adalah apa yang sangat ia inginkan.Bayangan tentang pesta pernikahan yang megah, malam pertama yang indah dan juga masa depan yang cerah sudah menari-nari di pelupuk matanya.“Jadi, apa yang membuat Mbak berubah pikiran sampai mau menikah denganku?” Tanya Halil langsung kepada Innara lewat telepon setelah ia pergi meninggalkan sepupu-sepupunya.“Kau benar tentang Azanie dan juga Rayka.” Jawab Innara dengan lirih.Senyum di wajah Halil mengembang. Ia ingin menyombongkan diri atas ketepatan prediksinya, namun ia menahan diri karena ia tahu hal itu akan menyakiti perasaan Innara.“Aku melihat kebencian di matanya. Aku tidak tahu kenapa dan aku tidak sanggup mengatakannya karena aku takut me
Halil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia mencoba menghubungi ponsel kedua orangtuanya namun tidak satupun dari mereka mengangakatnya.“Ayolah..” Geram Halil seraya kembali mencoba menghubungi nomor ayahnya lagi. Kesal, Halil hampir saja membanting ponselnya.Sial! Kenapa harus sekarang?! Gumamnya pada diri sendiri seraya menghubungi nomor lain yang sebenarnya enggan ia mintai bantuan.“Hmmm?” Jawab seseorang di seberang sana.“Dimana Mama sama Papa?” Tanya Halil tanpa basa-basi.“Kok nanya sama gue? Gue bukan old sitter mereka kali.” Jawab kakaknya ketus.“Gue tahu. Tapi biasanya kan loe kontekan sama nyokap. Masa loe gak tahu dimana mereka?”“Kenapa? Mau gue kasih tahu?” Tanya Innara dengan nada mengejek yang membuat Halil mengepalkan tangan kanannya karena kesal. Kalau saja kakak perempuannya ada disini, dia akan mencubit wanita itu karena gemas.
Halil mencoba membujuk Tuan Parsa untuk bicara empat mata dengan Innara. Awalnya Tuan Parsa tidak menyetujuinya. Pria paruh baya itu takut Halil melakukan tindakan seperti yang semalam ia lakukan. Namun Halil menjanjikan kalau itu tidak akan terjadi. Bahkan kalau perlu, mereka berdua bisa bicara di tempat terbuka dan Tuan Parsa serta Nyonya Sita yang menjadi saksinya.Tuan Parsa awalnya menyarankan keduanya untuk bicara di halaman belakang rumah mereka, namun Halil menolaknya. Dia mengatakan kepada Tuan Parsa kalau di kediaman mereka, ada orang yang selalu melapor gerak-gerik mereka kepada Azanie dan itulah alasan kenapa Azanie bisa muncul tadi malam. Dan mendengar penuturan Halil, Tuan Parsa yang meskipun kecewa dan berusaha menyembunyikan kekecewaannya itu akhirnya setuju dan menjadikan makan siang diluar sebagai alasan mereka bisa pergi keluar rumah.Dan disinilah mereka, duduk di sebuah restoran dengan meja terpisah. Nyonya Sita, Tuan Parsa dan Nin Saidah di
“Muhammad Halil Levent?” Innara mengulangi dan Halil menganggukkan kepala. “Levent? Apakah itu Levent yang sama dengan pemilik Levent House?” Tanyanya lagi dan Halil kembali menganggukkan kepala. “Pemilik Ask Tatil Yeri?” Lagi, Halil menganggukkan kepalanya tanpa melepas pandangannya dari Innara. “Jangan bercanda.” Innara menepis tangan Halil begitu saja setelah ia berhasil mengendalikan kekagetannya. Innara kembali menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap Halil dengan tatapan tajamnya.Halil menggelengkan kepala. “Aku gak bercanda, Mbak. Namaku memang Muhammad Halil Levent. Aku hanya menyembunyikan nama keluargaku selama ini.” Ucap Halil apa adanya. Dia mengeluarkan kartu tanda penduduk elektronik berwarna oranye pucat kepada Innara.“Ka-kamu?” Innara memandang pria itu dengan tatapan tak percaya.“Aku, Muhammad Halil Levent. Kewarganegaraanku Turki, atau Turkiye saat in