Share

Bab 3

Sudah satu jam lebih Farissa berada di rumah Marissa. Saat ini Marissa sedang buang air besar di kamar mandi dalam kamarnya. Walaupun sedang di kamar mandi, Marissa mengobrol banyak hal dengan Farissa.

Tok tok tok

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Marissa.

"Nona!" Ternyata itu adalah suara Bibi Ambar, pembantu di rumah Marissa.

"Nona ngobrol sama siapa? Bibi buka, ya?"

Ceklek

Ruangan seketika hening. Farissa dan Bibi Ambar saling tatap.

"Nona tadi ngobrol sama siapa?" Bibi Ambar bertanya.

"Aku… aku…." Farissa memilin tangannya, tidak tahu harus menjawab apa.

Bibi Ambar menaikkan sebelah alisnya, menunggu jawaban dari Farissa.

"Aku menonton itu." Farissa mengarahkan telunjuknya ke televisi yang tertempel di dinding.

Bibi Ambar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia sungguh merasa aneh dengan tingkah Farissa. Tapi ia tak ambil pusing. Ia hanya menganggukkan kepalanya lalu mengucap permisi dan keluar dari kamar.

Farissa mengusap dadanya, merasa lega. Marissa pun keluar dari kamar mandi dengan pelan agar tak menimbulkan suara. Ia memberikan kedua jempolnya kepada Farissa sebagai tanda ia berterima kasih atas bantuan Farissa.

"Boleh aku tanya?" ucap Farissa sambil memainkan jari tangannya.

"Apa?"

"Itu namanya apa?" Farissa menunjuk televisi.

"Oh, itu namanya televisi," jawab Marissa.

"Oh, televisi." Farissa menganggukkan kepalanya. "Aku dulu menyebutnya benda hidup."

Marissa tertawa, merasa lucu dengan tingkah Farissa.

"Kenapa kamu tertawa?"

"Kamu lucu." Marissa mencubit kedua pipi Farissa lalu menariknya hingga melebar.

"Jangan cubit cubit! Nanti pipiku sakit." Mata Farissa berkaca-kaca.

"Kamu polos banget," ceplos Marissa.

"Apanya yang polos?"

"Kelakuanmu."

"Entahlah, aku pusing," keluh Farissa.

"Mau nonton film?" tawar Marissa.

"Film? Apa itu?"

"Susah jelasinnya, mending kita langsung nonton aja."

Marissa pun membuka laptopnya lalu memutar sebuah film komedi. Ia sesekali tertawa bersama Farissa. Farissa tampak menyukai film yang mereka tonton.

Beberapa jam berlalu, mereka telah selesai menonton film dan melihat-lihat foto masa kecil Marissa yang tersimpan di laptop.

Tiba-tiba, wajah Farissa menjadi sendu. Ia tampak seperti ingin menangis.

"Kenapa?" Marissa bertanya.

"Aku ingin punya foto keluarga seperti kamu," celetuk Farissa.

Hati Marissa teriris, ia ikut merasa sedih dengan keadaan Farissa.

"Memangnya orang tuamu kemana?"

Farissa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."

"Terus kamu selama ini tinggal dengan siapa?"

"Aku tinggal dengan Paman."

"Paman?"

"Iya, dia yang merawatku sejak kecil. Tapi ia sangat galak dan menyeramkan."

Marissa terdiam, mencerna perkataan Farissa. Lagi dan lagi ia teringat tentang kejadian di rumah mewah tadi sore. Apakah paman yang Farissa maksud adalah pria itu?

Farissa melirik jam dinding dan seketika matanya melotot. "Aku harus segera pulang," cetus Farissa.

"Sudah hampir jam sepuluh malam. Nanti paman aku marah," lanjutnya.

Farissa bangkit dari duduknya diikuti Marissa.

"Hati-hati," ucap Marissa.

"Iya, terima kasih banyak, ya. Em… kamu mau jadi temanku?"

Marissa tersenyum dan mengangguk.

"Yey, terima kasih. Aku pulang dulu, ya."

Farissa pun keluar dari kamar Marissa dengan langkah pelan. Marissa sengaja tidak mengantar Farissa karena takut ketahuan Bibi Ambar.

Farissa berjalan mengendap-endap di dapur. Farissa terlonjak kaget ketika ada yang menepuk bahunya. Farissa pun refleks menoleh dan ia melihat ada Bibi Ambar di belakangnya.

"Nona sedang apa?"

"Aku… aku mau ke belakang rumah," ucap Farissa pelan.

"Ngapain?"

"Cari udara segar."

Lagi, Bibi Ambar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia mengangguk-angguk meski sebenarnya ia merasa aneh dengan Farissa.

"Ya sudah, Bibi tinggal tidur, ya. Bibi sudah mengantuk."

Bibi Ambar pun berbalik dan melangkah menuju kamarnya. Farissa memperhatikan sampai Bibi Ambar tidak terlihat lagi. Ia pun melangkah keluar rumah.

Sementara di kamar, Marissa merenung di kursi belajarnya sambil melihat jendela kamarnya. Ia tersenyum melihat Farissa berjalan di jalan.

Beberapa detik kemudian senyum itu sirna. Ia benar-benar bingung dengan semua yang temui. Tentang Farissa, siapa dia, kenapa bisa sangat mirip dengannya, dan kenapa Farissa diseret oleh seorang laki-laki di rumah yang ia temui tadi sore.

Marissa merasa haus, ia pun melangkahkan kaki keluar kamar untuk membuat susu hangat. Di dapur, Marissa dikejutkan dengan kehadiran Bibi Ambar.

"Lho, Nona kok ada di sini? Dan kenapa pakaian Nona berbeda. Nona ganti baju? Tapi kok cepat sekali. 'kan kata Nona, Nona dari angin segar."

Marissa membeku, tak mampu berkata-kata. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iya, tadi gak jadi karena udara dingin banget terus aku ganti baju biar lebih hangat," kilah Marissa.

"Oh begitu. Nona sudah buat susu? Biar Bibi bikinin aja."

"Gak usah, Bi. Ini udah selesai, kok. Bibi istirahat aja."

Bibi Ambar mengangguk lalu melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Marissa mengelus dadanya, merasa lega. 

•••

Beberapa hari berlalu, setiap malam selalu terulang kegiatan yang sama. Setiap malam, Farissa akan datang dan masuk ke rumah Marissa. Seperti saat ini.

Farissa datang dari pintu belakang agar tidak ketahuan. Kebetulan hari ini Abraham dan Aurin sudah pulang ke rumah.

Di dalam kamar, Marissa dan Farissa menonton film sambil memakan mie. Mereka sesekali bercanda dan tertawa dengan suara keras

Tok tok tok

"Marissa!"

Marissa dan Farissa menghentikan tawanya. Mereka saling pandang dan Marissa memberi kode lewat lirikan mata yang mengarah ke bawah. Farissa paham. Maka ia pun beringsut dari kasur lalu sembunyi di bawah kasur.

Bertepatan dengan itu, knop pintu terputar dan pintu kamar terbuka. Rupanya yang membuka pintu adalah Aurin.

"Tadi kok Mama dengar ada suara cewek selain kamu," tutur Aurin.

"Hah, gak ada kok, Ma.*

"Jangan bohong, Mama tadi jelas-jelas dengar. Suaranya jelas dari sini."

"Gak ada, Ma. Aku gak bohong."

"Terus tadi suara siapa, dong?"

"Gak tahu. Mama halusinasi mungkin."

"Sembarangan, gak mungkin mama halusinasi."

"Ya, siapa tahu Mama kecapekan syuting jadi halusinasi. Lebih baik Mama istirahat aja."

"Benar juga, ya. Maaf, ya, Mama ganggu kamu."

"Iya, gak apa-apa, Ma. Santai aja."

Marissa menarik nafas lega.

"Farissa!" Marissa memanggil dengan suara pelan, nyaris berbisik.

Farissa pun keluar dari kolong kasur lalu mendudukkan dirinya di atas kasur.

"Itu tadi ibu kamu?" Farissa bertanya.

"Iya."

"Bagaimana rasanya punya ibu?"

"Kita pelan-pelan aja ya ngobrolnya. Rasanya punya ibu jelas nyaman dan enak. Ada tempat curhat, mengadu, dan menumpahkan keluh kesah," tutur Marissa.

Tatapan Farissa berubah jadi kosong. Raganya memang di tempat, tapi pikirannya berkelana jauh. Beberapa menit kemudian, Farissa terisak.

"Eh, eh. Kamu kenapa menangis?" Marissa panik.

"Aku iri sama kamu. Aku juga ingin punya seorang ibu. Tapi… aku gak pernah merasakan rasanya punya ibu sejak aku lahir ke dunia ini," ucap Farissa, terdengar pilu.

Wajah Marissa berubah sendu. Ia ikut merasa sedih mendengar curhatan Farissa. Tangannya terulur mengelus punggung Farissa untuk menenangkannya.

"Ceritakan semua biar kamu lega," ujar Marissa.

"Boleh aku ceritakan tentang paman?"

"Boleh, sangat boleh."

"Aku setiap hari harus melayani paman."

"Melayani?"

"Iya, setiap hari paman memasuki kamar tempat aku dikurung lalu aku dan paman melakukan 'itu'. Itu terjadi dari aku SMP sampai sekarang."

Deg

Tubuh Marissa membeku

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status