Share

Bab 2

Keesokan paginya, Marissa sedang bersiap-siap berangkat sekolah. Ia mematut dirinya di depan cermin. Setelah selesai berdandan, Marissa segera menyambar tas ranselnya dan keluar kamar.

Ia berhenti di ruang makan dan langsung meneguk susu hangat yang telah dibuatkan ibunya. Setelah itu ia mengambil roti selai dan langsung melahapnya hingga habis.

"Aku berangkat dulu, ya, Ma," ujar Marissa.

Aurin geleng-geleng kepala, ia berucap, "Pelan-pelan makannya, Nak."

"Roy sudah nunggu. Bye, Ma, Pa."

Marissa berlari keluar rumah dan langsung memeluk Roy yang sudah menunggu dengan anteng di atas motor ninjanya.

"Maaf lama," ucap Marissa.

"Santai aja, sayang. Aku juga baru aja nyampe, kok. Buruan naik!" sahut Roy.

Marissa pun segera menaiki motor dan melingkarkan tangannya ke perut Roy. Roy pun melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Marissa.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sekolah. Setelah memarkirkan motornya, Roy merangkul Marissa dan melangkah bersama-sama menuju kelas mereka. Kebetulan mereka satu kelas.

"Sayang, aku punya dua tiket ke bioskop besok minggu depan. Nanti kita nonton sama-sama, ya?" ujar Roy.

"Oke," sahut Marissa seraya menyatukan ujung jari telunjuknya dengan ujung ibu jarinya membentuk huruf o.

Sesampainya di kelas, Marissa langsung dihampiri oleh Nia, sahabatnya.

"Akhirnya kamu datang juga. Contekin pr, ya? Please." Nia memohon dengan wajah melas.

Marissa memutar bola matanya malas. "Pasti kamu lupa ngerjain pr karena sibuk pacaran terus."

"Hehe, itu kamu tahu." Nia menyengir. "Nanti aku traktir."

"Nah, mantap! Senang berbisnis dengan anda." Marissa bersalaman tangan dengan Nia sambil tertawa bersama.

•••

Sepulang dari sekolah, Marissa langsung merebahkan dirinya di kasur. Dirinya sangat pusing karena tugas sekolahnya menumpuk.

Akhirnya ia memutuskan untuk berjogging di sekitar perumahannya. Setelah mandi dan bersiap-siap, Marissa memasang earphone di telinganya lalu mulai berjogging.

Berjogging adalah rutinitasnya sejak dulu ketika dia sedang stress. Dulu, dia sering berjogging bersama teman-teman sekitar rumahnya. Namun karena sekarang ia pindah ke perumahan, jadi dia belum punya teman dekat yang berasal dari perumahan tempat ia tinggal.

Setelah beberapa menit berjogging, Marissa berhenti sejenak di depan sebuah rumah besar berwarna putih dan bertingkat dua. Ia berjongkok sambil meminum air dari botol yang ia bawa.

Matanya menatap sekeliling hingga pandangannya berhenti pada rumah mewah di depan ia berdiri. Dirinya menatap kagum rumah tersebut. Rumah tersebut bergaya klasik dan antik yang sangat mengagumkan.

Tapi beberapa menit kemudian muncul sesuatu hal yang tidak ia duga-duga sebelumnya. Ia melihat Farissa berlari keluar rumah tersebut dengan derai air mata membasahi wajahnya.

Marissa memutuskan untuk bersembunyi di balik tembok pagar seraya mengamati apa yang terjadi

Marissa terpaku ketika melihat ada seorang pria mengejar Farissa lalu menarik tangan Farissa dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Pria tersebut sangat tampan yang membuat Marissa terpesona sesaat.

Pria tersebut lalu menutup pintu rumahnya setelah menyeret Farissa. Marissa pun meninggalkan rumah tersebut dengan perasaan campur aduk.

•••

Malam harinya, Marissa membantu orangtuanya berkemas-kemas. Abraham dan Aurin akan pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan.

Abraham adalah seorang sutradara sementara Aurin adalah seorang penyanyi. Kebetulan Abraham ada jadwal syuting di kota yang sama dengan kota tempat Aurin akan melaksanakan konser.

"Mama dan Papa pergi dulu, ya, sayang. Jaga diri baik-baik," tutur Aurin.

"Pasti, Ma. Mama jangan telat makan, ya. Biasanya kalau tidak aku ingatkan pasti lupa makan," sahut Marissa.

"Iya, Nak. Nanti Mama beliin brownies kesukaan kamu di sana."

"Yey, terima kasih, Mama."

Marissa pun bersalaman dan berpelukan dengan kedua orangtuanya. Marissa lalu memandangi mobil orang tuanya yang melaju meninggalkan pekarangan rumahnya.

Saat hendak berbalik badan, ekor mata Marissa tak sengaja melihat siluet seseorang yang dikenalinya sedang berjalan pelan di pinggir jalan. Marissa pun mengurungkan niatnya untuk memasuki rumah. 

Marissa menajamkan penglihatannya. Dan seketika matanya terbelalak ketika mengetahui bahwa orang itu adalah Farissa. Marissa pun berlari kecil menghampiri Farissa.

"Farissa," seru Marissa.

Farissa yang sebelumnya menunduk pun mendongak. Ia merekahkan senyumnya ketika melihat Marissa.

"Marissa!" Farissa berseru senang.

"Kenapa kamu jalan malam-malam? Ayo ke rumahku!"

"Gak apa-apa aku ke rumahmu?" tanya Farissa ragu.

"Ya gak apa-apalah."

Senyum Farissa pun semakin lebar. Ia berjalan mengikuti Marissa.

"Kita masuk lewat pintu belakang aja, ya," ucap Marissa, menarik tangan Farissa menuju 0pintu belakang.

Mereka memasuki rumah dengan mengendap-endap. Lalu mereka cepat-cepat menaiki tangga menuju kamar Marissa. Marissa segera menutup dan mengunci pintu setelah mereka memasuki kamar.

Farissa menatap kagum isi kamar Marissa. Kamarnya sangat aesthetic dan girly. Mulut Farissa sampai terbuka kecil saking terpesonanya. Marissa mendudukkan diri di sofa sambil terkekeh melihat wajah polos Farissa.

"Sini duduk," titah Marissa, menepuk space kosong di sebelahnya.

Farissa pun duduk di sebelah Marissa. Tatapan Farissa masih berfokus kepada desain kamar Marissa.

Tiba-tiba, Farissa menunjuk televisi yang tertempel di dinding dengan raut wajah antusias. "Itu… itu dulu aku pernah punya. Tapi sekarang…." Farissa menurunkan telunjuknya, raut wajahnya sangat sedih.

Marissa mengernyitkan dahi. "Sekarang apa?"

"Sekarang… aku… aku tidak sebebas dulu lagi," lirih Farissa.

"Kenapa?"

"Aku dikurung ayahku." Belum sempat Marissa menyahut, Farissa langsung menyela. "Ini pertama kalinya aku cerita ke orang lain. Kamu adalah orang pertama yang mendengar kisahku."

"Dikurung?" Marissa menerawang ke kejadian yang ia lihat tadi sore. Dimana dia melihat ada seorang pria menyeret Farissa masuk ke dalam sebuah rumah besar.

"Bisa kamu menceritakan lebih detail tentang apa yang kamu alami?"

Farissa menangis, bahunya begetar hebat. "Aku dari dulu gak punya kebebasan. Dulu aku selalu dimarahi hanya karena aku punya teman. Dan karena itulah aku sekarang dikurung dan tidak boleh kemana-mana kecuali jam enam sampai jam sepuluh malam."

"Hah?" Marissa sungguh tak mengerti.

"Tolong jangan bahas itu lagi. Aku pasti akan mengeluarkan lebih banyak air mata untuk menceritakannya sekarang. Jika suatu saat aku siap, aku pasti akan menceritakannya kepadamu," tutur Farissa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status