Bagian 29
PoV Risa
Pagi ini terasa sungguh sangat menyenangkan. Tidurku lumayan nyenyak di kamar yang sejuk dan beraroma harum, sungguh sangat berbeda suasana di sini dengan di rumah Mama. Ya, tentu saja. Tidur tinggal tidur, tanpa harus memikirkan besoknya harus mengerjakan seabrek pekerjaan rumah tangga yang tiada usai. Bangun juga tinggal mandi dan siap-siap berangkat. Tak perlu repot masak segala. Betapa indahnya!
Aku bangun lumayan awal, tepatnya pukul 05.00. Kegiatanku tak banyak, hanya salat, beres-beres kamar yang memang sudah rapi, lalu mandi. Usai mandi dan berpakaian, kuputuskan untuk segera keluar kamar sebab sudah berjanji untuk sarapan bersama dr. Vadi. Baru saja membuka pintu, aku begitu kaget luar biasa sebab tepat di depanku telah berdiri sosok dr. Vadi dalam kondisi yang rapi plus wangi semerbak. Lelaki itu terlihat menawan dalam balutan kemeja warna kuning kentang yang se
Bagian 30PoV dr. Vadi Sedetik setelah pintu kamar Risa tutup, ada yang aneh dengan jantung. Detaknya makin cepat. Irama tak beraturan. Aneh. Huhft. Sudah macam ABG saja kelakuanku. Dasar bodoh! Kelamaan jomblo ternyata membuatku jadi tak bisa mengontrol diri begini kala jatuh cinta. Oops! Ya, aku sekarang sudah tidak betah lagi untuk menyembunyikannya, bahkan pada diriku sendiri. Aku jatuh cinta pada Risa. Benar-benar jatuh yang sejatuh-jatuhnya. Cepatlah menjanda, Ris. Biar kau bisa setidaknya mengobati kekakuanku yang kadang aku sendiri pun sangat membencinya. Sembari mengawang-awang, aku berjalan. Saat hendak menaiki anak tangga, Ela memanggilku dari arah ruang tamu. Aku langsung menoleh ke belakang. Melihat anak itu masih duduk di atas sofa sembari melambaikan tangannya. Sedang di sampingnya ada fino. 
Bagian 31Pov Risa Usai menenangkan diri sesaat dari tangis serta amuk badai emosi yang tak stabil, akhirnya perasaanku dapat sedikit diajak kompromi. Semula lemas, sekarang sudah lumayan bersemangat. Terlebih ... kala memandang sekilas ke arah dr. Vadi yang sempat melempar senyumnya. Lelaki itu. Tumben sekali dia rajin menarik garis lengkung di bibir. Syukurlah, moodku soalnya langsung naik hingga hampir menyentuh titik full. Mas Sadikin, petugas rekam medis, datang membawa tumpukkan map berwarna kuning kentang dan meletakkannya ke atas mejaku tanpa senyum atau pun kata-kata. Lelaki ceking dengan seragam batik berwarna hijau lumut dan celana panjang hitam itu kembali keluar serta tak lupa untuk menutup pintu kembali. Heran. Apa susahnya berbasa basi? Sombong boleh, tapi coba lihat-lihat dulu sikonnya. Menyebalkan!&n
Bagian 32PoV Risa “Ayo kita ke atas. Bawa tasmu. Sekalian pulang habis ini.” Dr. Vadi menyambar jasnya dari atas sandaran kursi dan bergerak ke bilik belakang untuk mengambil tas. Aku mengikuti langkahnya dan ternyata dia juga mengambilkan tasku. “Jangan tegang mukamu. Kita bukan mau dihukum pancung,” katanya sambil memasukkan jas ke dalam ransel hitam. “M-mas ... apa berita tentang aku yang tinggal di kostmu ....” “Kenapa? Orang mau marah? Pak Bolon mau pecat kita? Ya, sudah! Pecat saja. Kamu ikut aku ke Kalimantan, kita bikin rumah sakit sendiri. Puas?” Aku terke
Bagian 33PoV Rauf “Mas Rauf! Mas!” Sosok Lestari yang ternyata telah menunggu kedatanganku tepat di depan ruangan penyidik, membuatku setengah muntab melihatnya. Perempuan berkemeja warna merah jambu dan celana panjang hitam dengan jilbab warna senada tersebut langsung menghambur ke arahku. Dia memeluk tubuhku yang kini tengah digiring oleh dua orang polisi dengan kondisi tangan yang terborgol. Sial! Masih bisa dia memelukku sambil menangis begini, sedang dia jugalah yang melaporkanku ke polisi. “Mas, aku minta maaf. Aku nggak tega melihatmu begini.” Lestari semakin histeris. Tangisnya meledak dengan dua tangan yang sibuk meraba wajahku. “Kita selesaikan di dalam!” Bentak seorang polisi yang tubuhnya tinggi dengan suara a
Bagian 34PoV Risa “Ng ....” Aku menggantung kalimat sembari mengerling ke arah lain. Astaga, tolong siapa pun selamatkan aku dari kadal tua bangka ini! “Berarti, Bapak boleh dong WA kamu sering-sering?” Pak Simbolon berkata dengan cukup manis. Mana tanganku tidak dilepaskannya pula. “Ris!” Sebuah suara membuatku menoleh. Betapa leganya hatiku kala menatap dr. Vadi memunculkan kepalanya dari celah pintu yang dia buka sedikit dari luar. Tatapannya tajam bagai seekor elang. Cepat kutarik tanganku dari genggaman Pak Simbolon dan mengangguk kecil padanya. Langkah kakiku langsung berpacu cepat, meninggalkan Pak Simbolon dengan mulutnya yang menganga plus muka syok. Tentu saja. Dia pasti takut dicaci oleh dr. Vadi lagi.&
Bagian 35PoV Risa Tubuhku diukur oleh Tante yang belakangan kutahu namanya sebagai Selviana. Ternyata Sejati itu singkatan dari Selvi-Jati. Kukira apaan. Sedang dr. Vadi diukur oleh Om Jati. Kedua pasangan suami istri ini sangat baik. Mereka juga mengenalkan dua keponakannya yang bekerja sebagai penjahit. Namanya Ana dan Anne. Dua-duanya berusia 20 dan 25, sama-sama masih lajang dan tinggal di sini bersama pasutri yang tak memiliki keturunan ini.Kata Tante Selvi, mereka masih punya lima karyawan lain yang bekerja di tempat terpisah. Sebagian orderan dilempar ke tempat tersebut, sedang sisanya yang penting-penting dan butuh penanganan ekstra seperti gaun dan jas pengantin Om Jati sendiri yang handle. Selain mahir menjahit, beliau juga seorang designer yang hasil karyanya sudah banyak dipakai oleh anak-anak pejabat serta orang penting kala mereka menikah. Aku tahu karena diceritakan oleh Ta
Bagian 36PoV Mama “Kami mencari saudara Rauf. Apakah dia ada di rumah?” “Kami membawa surat penangkapan untuknya. Ada kasus yang dia harus selesaikan di kantor polisi.” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di telinga. Kepala mau pecah. Lebih-lebih jantungku. Kalau bisa melompat, dia pasti sudah melompat. Aku yang sejam lalu tiba-tiba merasa antara hidup dan mati akibat terkejut, kini masih merasa sesak napas yang sama. Aku sudah tua. Beberapa tahun lagi bakal kepala enam. Berita begini tentu membuat hidupku seketika tak tenang. Rauf, anakku yang paling tampan sejagat Jalan Rambutan ini. Rasanya tak mungkin dia sampai berurusan dengan hukum.
Bagian 37PoV Vadi Senyumnya. Beliak matanya. Perempuan bernama Risa Sarasdewi, jelas-jelas sudah berhasil mencuri hatiku. Sempurna tanpa meninggalkan sisa. Aku jadi takut. Bisakah aku hidup dengan hati yang dia bawa pergi, tanpa kutahu apakah perasaan ini akan berbalas atau tidak. “Udah, ah! Aku kenyang.” Risa menutup mulutnya rapat dengan tangan. Menolak suapan berikutnya yang hendak mendarat. Aku kecewa. Padahal masih ingin lebih lama lagi menatapnya saat sendok masuk ke mulutnya. “Oke.” Sendok sudah kuletakkan. Kali pertama aku menyuapi seorang wanita setelah sekian lama tak melakukannya. Terakhir sekitar empat tahun yang lalu saat aku masih merenda angan bersama Nadya.