Aku langsung menoleh ke sumber suara. Ketika aku melihat ibuk, aku segera mencium tangannya dengan takzim. Aku berusaha untuk tersenyum di depannya. Meskipun saat ini tangisku akan meledak karena sakit yang kurasa tidak bisa tertahankan lagi. Aku menjawab pertanyaannya. "Iya, Bu. Aku baru aja sampai ke sini. Ini teman aku. Kenalin Bu, namanya Birana."Birana langsung mengulurkan jabatan tangannya kepada Ibuk. Lalu, dia memperkenalkan dirinya sendiri. "Perkenalkan, aku Birana. Sahabat dekatnya Ghinda, Bu.""Oh iya salam kenal, Birana," jawab ibuk dengan ramah. "Ayo kita masuk dulu," imbuhnya lagi mempersilahkan kami masuk.Aku dan Bira melangkahkan kaki mengikuti Ibuk dari belakang untuk masuk kedalam rumahnya. Benar yang dikatakan Mbak Ayu, di dalam rumah itu sudah banyak makanan yang tersaji dan juga sanak keluarga jauh yang sempat ku kenal hadir di sini. Ada sebagian dari mereka tampak kebingungan ketika melihatku. Mungkin mereka bertanya-tanya mengapa aku bisa hadir di acara persia
Aku langsung menjawab. "Iya, Mas. Ini aku Ghinda yang masih berstatus menjadi istrimu, perempuan yang kamu selingkuhi."Dengan ketus aku bersuara lagi. "Kenapa, Mas? Kok kaget? Nggak boleh ya aku datang kesini? Kan aku mau ngelihat gimana proses acara pernikahan kalian, meskipun aku nggak dikasih tahu apa-apa."Urat leher mas Adam tampak memerah. Dia menelan air liurnya berulang kali. Sementara perempuan di sebelahnya hanya bisa menunduk. Dari kemarin sejak aku menggerebek mereka di hotel, aku belum pernah mendengar suara Tere berbicara kepadaku..Padahal aku menantangnya. Aku ingin tahu mengapa dia bisa merebut suamiku."Kamu ngapain kesini, hah? Kamu mengundang keributan aja. Tuh lihat orang-orang pada kepo," kata Mas Adam sembari menunjuk ke arah luar, dimana tetangga ibuk semuanya berkumpul mengerubungi rumah yang tidak terlalu besar ini.Memang sudah banyak para tetangga yang melihat kami. Mungkin mereka penasaran kenapa ibuk menangis sejadi-jadinya dan bertanya-tanya kenapa pula
Aku terpaksa turun ke bawah untuk menemui dua laki-laki yang dimaksud Nira itu. Setelah sampai di lantai utama, ku buka pintu luar dan kemudian aku melihat dua laki-laki sedang berdiri di teras rumahk. "Maaf, cari siapa ya?" tanyaku dengan heran.Kemudian dua laki-laki itu secara kompak membalikkan badannya ke arahku. "Apakah benar ini rumah Ibu Ghinda Addri?" Salah satu dari mereka bertanya padaku.Aku mengangguk. "Iya benar. Saya sendiri Ghinda Addri.""Selamat siang, Bu Ghinda Addri. Kami dari debt collector pinjaman online ingin menagih hutang Bapak Adan. Kami sudah menghubungi bapak Adam tetapi tidak ada jawaban. Tidak ada itikad baik beliau untuk membayar semua hutangnya. Maka kami mendatangi alamat ini. Apa benar ini alamat Bapak Adam?"Aku mengangguk sembari tercengang. Lalu pria itu melanjutkan kalimatnya lagi. "Di aplikasi pinjaman tertera bahwa di sini merupakan alamat Bapak Adam dan beliau mencantumkan nama Ibu Ghinda sebagai walinya untuk membayar hutang.""Hah?" kataku s
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi." Aku langsung mematikan sambungan telepon ketika mendengar suara wanita itu."Nomornya mas Adam nggak aktif," batinku kesal.Aku segera naik ke atas kamar untuk beristirahat. Badanku akhir-akhir ini sangat terasa lelah sekali. Mungkin faktor dari kehamilanku yang masih sangat muda ini.Namun, ketika aku hendak merebahkan tubuh di atas kasur, teleponku berdering. Rina yang merupakan manajer ku sedang menghubungiku. Aku segera mengangkatnya. "Iya, Rin. Ada apa?" tanyaku.Di seberang telepon sana Rina menjawab, "Maaf, Bu. Saya ingin memberitahu informasi bahwa hari ini Kev Company ingin meminta untuk meeting dadakan bersama ibu, karena kita akan ada pemilihan bahan tekstil baru, Bu. Jadi perlu adanya persetujuan diantara kedua belah pihak."Aku menghela nafas lelah. "Jam berapa, Rin?"Sejak aku masuk ke rumah sakit, aku memang tidak berangkat ke kantor. Aku minta Rina yang menghandle aktivi
"Wah, selamat ya Ghinda atas kehamilan kamu," ucap Mas Ginan kepadaku. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum. Kemudian dia bertanya lagi, "Jadinya ini anak kamu yang ketiga?" tanyanya.Aku menggangguk. "Iya, Mas. Betul." Mas Ginan tahu bahwa ini anakku yang ketiga karena kemarin waktu pertama kali aku bertemu dengannya di Kev Company, ia sempat menanyakan tentang jumlah anakku. Lalu aku menjawab bahwa aku memiliki 2 anak.Tiba-tiba Mas Ginan mempertanyakan kabar Mas Adam. "Gimana kabar suami kamu? siapa namanya? kalau nggak salah Adam ya?" katanya memastikan.Ekspresi wajahku yang tadi tersenyum, kini berubah menjadi masam. Aku terdiam sejenak, memikirkan bagaimana caranya aku menjawab pertanyaan ini. Namun sepertinya Mas Ginan dapat membaca raut wajahku."Kenapa, Ghinda? Apa pertanyaanku ada yang salah?" tanyanya. Wajah Mas Ginan terlihat sungkan ketika menatapku. Mungkin ia merasa bersalah menanyakan hal tadi.Aku menelan saliva, dan berusaha mengontrol diri agar tidak keceplosan t
Aku tetap diam, membiarkan dia sujud di bawah kakiku. Ku lipatkan kedua tangan di atas dada. Aku memandangnya dengan sinis. "Bisa-bisanya kamu baru minta maaf sekarang, dan mohon-mohon setelah semua aset ku ambil alih.""Dek, mohon kasih Mas kesempatan lagi," pintanya membalas. Air matanya kini turun membasahi pipi. Sedangkan aku tetap tidak peduli.Kemudian aku bersuara lagi. "Kamu nangis? Baru sekarang nangisnya? Lap itu air mata buaya kamu. Aku enggak butuh. Aku nggak percaya lagi, Mas. Sakit banget tau nggak! Kamu nggak kamu nggak hanya selingkuhin, aku tapi keluargamu juga mengkhianati aku dan membohongiku. Ngak tahu terima kasih!""Udah, Mas! Tolong pergi dari rumahku kita! Aku akan mengurus perceraian dengan segera. Besok pagi aku mau ke kantor pengadilan agama untuk urus itu kalau kamu memang nggak sempat."Ku tambahkan lagi. "Urus saja acara persiapan pernikahan mu dengan perempuan jalang itu!" kataku lagi menambahkan."Kamu mau keluar sendiri? Atau aku paksa untuk keluar?" t
“Ghinda, kita mau ketemu sama siapa sih sebenarnya?” tanya Bira. Ia mengerutkan dahinya dari tadi. Pertanyaan itu selalu ia lontarkan padaku. Aku memang sengaja tidak memberitahu Birana bahwa kami akan bertemu dengan siapa. Karena sulit menjelaskan padanya.Setelah aku berpusing ria memikirkan bagaimana caranya untuk bertemu dengan Mas Ginan, maka aku terbersit ide untuk mengajak Bira sebagai orang yang menemaniku. Sebab aku tidak mungkin sendiri bertemu dengannya dan juga tidak mungkin ajakan dari Mas Ginan kutolak. Aku sungkan.“Udah deh jangan banyak tanya. Nanti kamu juga tahu kita ketemuan sama siapa. Aku lagi males banget ngejelasinnya. Nanti aja ya setelah ketemu, aku kasih penjelasan kenapa kita harus ketemu sama dia,” jelasku sembari fokus menyetir mobil.Birana memasang wajah kesalnya. Ia benar-benar sangat penasaran. “Ya udah deh,” katanya pasrah.Butuh waktu 20 menit perjalanan untuk kami sampai ke sebuah restoran ternama di dekat daerah rumahku tinggal. Restoran ini dipil
Aku mendadak terdiam sejenak dan tidak berani sama sekali menatap mata Mas Ginan. Karena aku merasa tersindir ketika dia mengatakan masa lalu. Aku tahu apa yang dia maksud. Dari tatapan matanya Mas Ginan sedang menyindirku. Tatapan mata itu tidak pernah berubah sejak 8 tahun lamanya, ketika pertama kali aku menolaknya untuk menjadi kekasih halalnya."Tapi namanya sudah takdir. Dia juga sudah menjadi milik orang lain. Aku bisa apa? Aku nggak bisa ngelawan takdir. Iya kan?" Lagi-lagi Mas Ginan membuatku merasa tertampar berulang kali.Aku berusaha untuk tersenyum dan menanggapinya hanya dengan menganggukkan kepala.Dan yang membuatku yakin bahwa dia benar-benar menyedihkan adalah ketika Mas Ginan melanjutkan kalimatnya lagi, "Aku udah berusaha buat ngelupain dia bertahun-tahun. Terus udah sedikit bisa mengalihkan pikiranku ke dari dia, eh tiba-tiba Tuhan mempertemukan aku lagi dengannya. Dengan keadaan yang tidak terduga sebelumnya.""Tapi apa daya. Aku enggak bisa berbuat apa-apa. Kare