Intan mengambil alat tes kehamilan yang sudah dia celupkan ke cairan urine."Apa hasilnya, Sayang?" aku bertanya, tidak sabar. Karena melihat Intan diam saja, tidak bergeming."Sayang?" aku kembali mendesak Intan yang masih saja diam sambil menatap alat itu."Mas, Intan hamil," jawab Intan. Dia terlihat syok dengan fakta itu. Dia menyerahkan alat tes kehamilan itu kepadaku. Garis dua, walau samar.Aku mengacak-acak rambut frustrasi."Tidak apa-apa kamu hamil, kita menikah secara sah, namun apa nanti kata Naura kalau tahu kamu hamil?""Terpaksa kamu harus pindah dari rumah ini," aku memberikan solusi yang masuk akal. Dengan Intan pindah rumah, akan lebih mempermudah bukan? Dia bisa dengan leluasa merawat dan membesarkan kandungannya tanpa harus sembunyi-sembunyi."Intan tidak mau pisah rumah sama Mas!" jawab Intan bersikukuh. Kepalaku pusing. Intan sangat keras kepala, ide-idenya sangat membahayakan dan terkesan egois kedengarannya."Akan susah, Sayang," jawabku lembut, sebisa mungkin
Aku diam saja, kembali duduk disofa. Persetan dengan Intan, aku harus memikirkan banyak hal sekarang."Mas, kenapa dia?" aku kaget, Naura berdiri didepan pintu, sejak kapan dia disana? Apa dia mendengar percakapanku barusan?“Sayang, kamu sudah pulang? Dimana Layla.” aku menjawab cepat, mengalihkan pembicaraan.“Layla ditempat temanya, aku titipkan tadi, dia tidak mau pulang. Intan kenapa?” tanya Naura bingung. Naura menatap koper yang tergeletak dilantai.“dia mau pulang, karena merasa tidak enak merepotkan tinggal disini,” aku bingung menjawab apa, habis sudah alasan yang ada dikepalaku ini. Naura diam saja, terlihat tidak mau tahu lebih lanjut. “Yasudah, Naura mau ganti baju dulu.” jawab Naura.Dia berlalu saja, tidak penasaran tentang apapun. Syukurlah. Aku mengambil koper Intan, meletakanya didepan pintu. Aku sedang tidak ingin membujuknya. Karena aku merasa tidak salah, harusnya suami dihormati bukan?Aku segera masuk kekamar. Suara air keran terdengar, Naura sedang mandi. Aku
[kalau mas memang gak mau janin ini, intan akan gugurkan]Aku menghela nafas kasar, apa lagi sih? Hidupku seolah tidak bisa tenang dibuatnya.Belum sempat aku membalas pesan itu, masukLagi pesan baru dari Intan juga.[mas kira aku gak sakit hati dengar desahan Naura? waktu aku lagi nangis, mas gak ada nenangin aku sama sekali, malah sibuk sama jalang itu]Aku menghela nafas kasar, memilih untuk tidak membalasnya. Aku memijat pelipisku. Pusing rasanya, "ada apa mas?" tanya Naura bingung melihat tingkahku yang seketika berubah. Aku menggeleng sambil tersenyum paksa. "Gak ada apa-apa, yuk kita jemput Layla, nanti keseorean," Naura mengangguk setuju, sekilas Naura tampak melihat jam yang ada ditanganya.Setelah membayar, aku segera melajukan mobilku, membelah jalanan kota yang sedikit basah karena hujan. Jarang tempuh antara restoran dengan rumah Ratu tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit.Setelah sampai dirumah Ratu, memastikan semua barang-barang Layla tidak ada yang tertinggal, da
Aku menatap Naura sebentar, kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang itu."Hamil?" tanyaku."Iya, kaya Intan." jawab Naura singkat, padat, mengagetkan."Eh, kok Intan sih. Maksudnya kaya Maura," Naura meralat, menyebutkan nama salah satu teman kami. "Maura hamil?" tanyaku, sedikit lega."Iya, sudah empat bulan.""Gapapa sih kalau kamu hamil, Layla punya adek deh.""Mas, mas gak selingkuh kan?" tanya Naura serius.Aku terkekeh, "emang mas bisa selingkuh dari istri yang bentukanya secantik ini?" tanyaku sambil menggoda.Naura tersenyum kecut, "jadi mas gak selingkuh?" Aku menggeleng yakin. "Tentu saja tidak." aku menjawab mantap. Naura mengangguk-anggukan kepalanya.Setelah itu Naura keluar kamar, dia ingin mengangkat jemuran. Hari sudah sore. Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk dari Dimas, sahabat dekatku. Kami juga dulu selalu satu sekolah dari sekolah dasar sampai kuliah.[bro, malam ini sibuk gak? kumpul lah, dirumah Reza]Aku membalas pesan itu dengan cepat.[boleh, ngopi kita] ak
[besok Intan gugurin kandungan]Aku mengusap wajah gusar, apa lagi yang akan terjadi setelah ini?"Bro, intan mau gugurin kandungan," ucapanku membuat dua sahabatku itu menghentikan aktivitas mereka."Kenapa?" tanya Reza bingung."Ya, sebenarnya kami ada masalah lah." "Menurut kalian gimana? Biarin aja?" tanyaku bingung."Jangan bego." jawab Dimas cepat."Lo sudah nikah kan? Sah di mata agama kan? Dosa jatohnya kalau lo gak mencegah Intan gugurin kandunga," jelas Dimas."Lagian, kenapa juga segala digugurin. Kaya pacaran aja," Reza terlihat bingung."Intan itu maunya tetap tinggal dirumah gue, terus mau gue akuin hubungan kami ke Naura, gue tentang lah, yakali. Makanya dia mau gugurin kandungan karena gue menolak itu." "Siapa suruh lo nikahin ani-ani," sanggah Dimas cepat.Aku sebenarnya ingin marah dengan perkataan Dimas barusan. Tapi benar juga. Aku bahkan bertemu Intan ditempat yang hina."Cewek begitu, kalau dicintai tulus ya banyak tingkah," sanggah Reza."Lagian ya, lo itu buk
“Itu apa? Hasil usg?” tanya Naura tiba-tiba. Dia tidak sengaja melihat hasil usg yang terletak di atas meja tidak jauh dari kasur.Intan panik bukan kepalang, buntu sebuntu-buntunya ingin menjawab apa.“Sayang!” aku memanggil Naura berulang-ulang namun juga tidak mendapatkan jawaban. Lalu tidak sengaja aku melihat separuh tubuhnya berada dikamar Intan. Sedang apa dia?“Kamu sudah pulang?” tanya Naura. Seketika dia melupakan tentang hasil usg itu. Z“Sudah, kamu masak apa?” tanyaku.“Naura gak masak, kita pesan online aja.”Aku mengangguk, lagipun aku bukan tipe suami yang patriaki, jika istri tidak mau masak yasudah, selama masih ada uang, semua lancar.“Mau kemana tan?” tanyaku kepada Intan, berlagak seolah tidak tahu menahu tentang apapun.“Besok kayanya aku pulang mas,” Jawab Intan cepat, dia sudah paham alur skenario rupanyaz“Loh, kenapa?” tanyaku lagi, sudah seperti tetangga kepo.“Iya, karena susah juga cari kerja disini,” Naura diam saja mendengarkan percakapan kami, sepertiny
Setelah tiba di apartemen, aku segera menuju kamar Intan, berkali-kali memencet bel namun tidak juga ada yang membukakan pintu.Hingga terdengar suara serak laki-laki dari dalam sana. Tidak lama kemudian, laki-laki itu keluar dan membukakan pintu."Cari siapa, Mas?" dia bertanya. Aku sudah emosi, siapa dia?"Lo siapa?" aku berteriak marah, karena tidak mengenal laki-laki di depanku ini.Laki-laki itu terlihat bingung, tetapi tetap tenang. "Maaf, Mas. Saya tukang servis AC. Mbak Intan yang memanggil saya untuk memperbaiki AC-nya yang rusak."Aku tertegun sejenak, merasa malu dengan kemarahanku yang tidak pada tempatnya. "Oh, maaf. Saya tidak tahu," kataku, merasa bersalah."Tak apa, Mas. Silakan masuk. Mbak Intan ada di dalam," katanya sambil memberi jalan.Aku masuk ke dalam dan melihat Intan yang sedang berdiri di ruang tamu, tersenyum melihat kebingunganku."Sudah bertemu dengan Pak Anton, tukang servis AC?" tanya Intan dengan senyum menggoda.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
Intan terbangun pada pagi yang cerah dengan perasaan mual yang mengganggu. Dia berusaha duduk tegak di atas tempat tidur, mencoba meredakan rasa mualnya.Aku yang sedang tertidur di sampingnya terbangun oleh gerakannya. "Ada apa, sayang?" tanyaku, khawatir melihat ekspresi wajahnya yang tidak enak.Intan menatapku dengan ekspresi campuran antara bahagia dan khawatir. "Aku rasa... Aku rasa mual pagi ini," ucapnya perlahan."Pakaiannya aku beli kemarin, coba lihat apakah ukurannya pas," ujarku sambil memberikan paket kecil yang berisi pakaian yang kupilih untuknya kemarin.Intan membuka paket itu dan melihat dengan penuh harap. "Oh, terima kasih, Mas. Aku akan mencobanya."Dia bangkit perlahan dan pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Aku bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya saat dia kembali ke kamar dengan pakaian baru yang pas dan nyaman."Mungkin kita harus pergi ke dokter hari ini, untuk memastikan semuanya baik-baik saja," kataku, mencoba menenangkan hatinya