"Kalau di situ nggak banjir ya, Bu?" Dina bertanya untuk memastikan.
Deretan rumah bu Maya memang lebih tinggi dari jalan raya, juga dari lapangan. Ada setengah meter selisihnya. Jadi halaman rumah Bu Maya juga agak miring menyesuaikan jalan. Sementara halaman rumah Bu Yana lebih datar."Banjir juga waktu itu yang pas tinggi banget, sampai mata kaki aja, sih Teh," jawab Bu Maya.'Yah, sama aja banjir, dong,' ucap Dina dalam hati."Kalau di situ, tiap tahun naik Teh, ya seratus dua ratus naiknya. Makanya kalau mau, nanti saya antar biar nggak dinaikin kalau ada yang bawa. Soalnya kalau enggak, nanti keduluan orang, kalau di sini kan cepet laku kontrakannya. Kayak yang rumah di situ kan baru berapa hari udah keisi.""Iya juga, sih," jawab Dina melihat ke arah rumah yang dimaksud oleh Bu Maya."Nanti deh, ya, tanya bapak dulu,” sambung Dina, yang tidak mau mengambil keputusan sendiri. Lagi pula, banjir masih jadi pertimbangannya.Deny melihat sedikit senyum di wajah Dina saat menyampaikan perihal pindah rumah. Ya, meski masih mengontrak, setidaknya butuh tempat tinggal yang nyaman, bukan?Sebagai suami, dia mengerti ketidaknyamanan istrinya selama tinggal di rumah yang sekarang mereka tempati. Terlebih mendengar cerita semalam, soal pintu pagar yang sengaja dibuka oleh tetangga sebelah, semakin menambah daftar waspada saat mengasuh anak pertama mereka."Ya, lihat dulu dalamnya. Kalo kamu cocok … ya, ayok pindah nggak apa-apa malah dekat."Deny akhirnya menjawab setelah mengamati wajah sang istri. Wajah yang menggambarkan antara senang ada peluang pindah kontrakan, dan sedikit kerutan di kening, seakan ada hal yang ia khawatirkan."Tapi, dia bilang airnya susah, soalnya buat delapan keluarga."Kali ini Dina menjawab dengan suara melemah. Sementara itu, Deny terkejut mendengarnya."Lah … ya repot dong, kalau air aja susah. Air itu penting. Gimana kalau tiba
Dina membawa Putri ke luar setelah tenang. Ia lihat ke rumah Bu Yati, nenek Ida sudah tidak ada di sana. Tinggal Bu Yati yang sedang asyik melihat anak-anak kecil bermain di lapangan. Dina Pun membawa Putri ke halaman Bu Yati karena melihat Keysha juga sedang bermain."Gimana Mbak, jadi ikut?" tanya Dina pada Bu Yati."Enggak ah, Tante, kayak nggak meyakinkan." Bu Yati berkata sambil menggelengkan kepalanya, lalu berkata, “Tante tertarik? Tapi kayak geleng-geleng tadi?”Dina tersenyum sambil menggelengkan kepala, lalu menjawab, "Kalau aku memang nggak tertarik sama arisan-arisan gitu sih, Mbak. Mending nabung. Sama aja kan, hasilnya." "Iya sih, Tante," ucap Bu Yati. "Eh, Itu ayah pulang tuh, Dek."Tiba-tiba Bu Yati menunjuk ujung jalan, di mana sudah ada Deny di sana. Dina reflek menoleh, kemudian tersenyum saat melihat sang suami sudah pulang kerja. Sementara Deny yang melihat istri dan anaknya malah melambaikan tangan dada-dada.
Sebenarnya Dina enggan melihat ke sana setelah mengetahui bahwa air di sana susah. Namun, demi menghargai suami yang meminta untuk melihat dalamnya, Dina menurut saja. Rumah Hana menghadap ke arah barat, tepat di pertigaan jalan yang menjadi lalu lintas pengendara bermotor maupun para pedagang. Termasuk gerobak sampah juga lewat sana, sebab TPA tepat ada di sebelah Utara perkampungan yang ditinggali Dina.Meski kecil, jalan di sana selalu ramai dilalui kendaraan bermotor. Siang hari sampai sore jika cuaca cerah, maka panas sekali di depan rumah. Itu sebabnya Dina jarang melihat pintu rumah mereka terbuka di saat siang sampai sore.Dina meminta ijin pada Bu Maya untuk melihat ke dalam rumah. Dengan senang hati Bu Maya mengiyakan. Saat baru masuk, Dina melihat tumpukan baju yang terbungkus rapi dalam plastik. Nampaknya pakaian keluarga Bu Maya yang baru diambil dari laundry. Dina juga melihat banyak kardus di sana."Maaf ya, rumahnya berantakan. In
Aku tinggal di kontrakan Bu Rini satu minggu lebih lama dari Tante Dina. Sebelumnya aku tinggal di rumah mertua. Setelah proses ijin yang alot, kami diijinkan tinggal di kontrakan. Bersyukur sekali dapat ijin dari mertua untuk tinggal di kontrakan, meski beliau sering datang menengok kami. Pertama kali datang aku sudah suka dengan suasana di sekitar kontrakan. Apalagi setelah tau tetangga kontrakan baik seperti keluarga sendiri.Umur anak pertamaku saat itu baru sembilan bulan, baru belajar jalan. Aku lihat Tante Dina sayang sekali dengan Kiki, anakku. Ia sering mengajak main bahkan digendong untuk dibawa pulang."Gendong terus, Tan, biar ketularan," ucapku waktu itu, sebab tau kalau dia penganten baru. Dia hanya senyum-senyum saja.Aku bahkan sering menitipkan Kiki jika sedang repot. Tante dengan senang hati menyanggupi. Efeknya, Kiki jadi dekat dengan Tante dan Om Deny, suami Tante Dina. Bahkan malam hari pun, jika suamiku belum pulang, Kiki mi
Aku pikir, setelah Teh Dewi kerja, suasana bakalan aman, adem ayem gitu. Rupanya, salah besar. Emang, sih, dia udah jarang muncul di rumah. Kewarasanku sebagai emak dua anak yang lahirnya jarak dekat, lumayan terjaga lagi. Nggak kayak sebelumnya waktu dia sering ke rumah sama anaknya. Hanya saja, masalah baru muncul sama pintu pagar yang baru dibuat. Pintu yang sebenarnya nggak perlu amat, dibuat cuma buat nurutin satu orang yang rusuh dan nggak seneng lihat orang lain seneng. Seperti siang ini. Aku baru masuk sebentar mau nerima telpon yang menjerit-jerit. Aku tinggalin dua anakku di depan. Udah kasih pesen supaya anteng di sana. Pas aku keluar, lah ... itu si Kakak udah nggak ada. Duh, aku kuatir banget. Mana jalanan depan itu lagi rame, banyak motor lewat. Aku periksa pintu pagar depan rumah, nggak kebuka. Lalu anakku ke mana? Pas lihat ke rumah Tante, te
Beberapa saat sebelumnya …Azam sudah siap berangkat kerja. Kali ini ia akan membawa anaknya serta, sebab Dewi akan berangkat agak siang.Melihat rantai sepeda yang tergantung di dekat pintu kamar, pria itu menghela napas panjang.Sudah beberapa kali ia menegur sang istri untuk tidak mengunci pintu pagar dalam kondisi terbuka saat mereka ke luar rumah. Namun, peringatannya tidak diindahkan.Dilihatnya wanita yang sepuluh tahun ini menjadi teman hidupnya, tengah tersenyum-senyum sendiri sambil menatap lurus pada ponsel di tangan.“Ma,” panggil Azam yang jengah melihat kelakuan istrinya.“Hmmm … .”Dewi menjawab tanpa menoleh. Kini bahkan terkikik entah sebab apa. Wanita itu menoleh setelah beberapa saat suaminya masih berdiri tegak.“Apa, Pa? Belum mau berangkat?“Rantainya aku bawa aja, ya,” pinta Azam, seraya mengambil benda tersebut. Kedua mata Dewi melotot seketika. Gegas ia berdiri dan menyambar ben
POV DewiHampir tengah hari, aku memutuskan untuk istirahat. Duh, mana panas banget lagi hari ini. Segelas teh manis dingin cocok, nih buat ngilangin haus.Tringg ...Triiingg …Tiba-tiba saja ponsel yang ada di tasku berbunyi nyaring. Aku harap itu dari pelanggan yang meminta supply susu yogurt yang ku jual beberapa bulan terakhir ini.Aku sungguh terkejut melihat nama yang ada di layar. Bu Rini pemilik kontrakan. Tumben nelpon."Assalamu'alaikum Bu Rini?" ucapku setelah kupencet tombol hijau dan sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam ... Hallo Bu Dewi, maaf kalau mengganggu waktunya. Bu Dewi nanti malam ada di rumah tidak? Saya mau berkunjung." Waduh, ada apa sampai Bu Rini mau berkunjung segala? Malam-malam lagi."Oh iya, ada kok. Ada perlu apa ya, Bu?" tanyaku penasaran. "Nanti malam saja saya jelaskan, ya, Bu Dewi. Assalamu'alaikum." Bu Rini menutup sambungan telepon setelah kujaw
“Nggak pulang, Zam?”Azam menoleh. Dito, teman nongkrongnya kali ini, sudah bersiap meninggalkan lokasi yang menjadi markas tunggu.“Entar dulu. Masih nunggu orderan satu lagi gue,” jawab Azam.Pria itu melirik ponsel yang berkedip-kedip. Gegas meraihnya, lalu tersenyum lebar.“Panjang umur!” serunya dengan suara riang, lantas menunjukkan layar ponsel yang masih menyala pada temannya.“Jalan dulu, gue!”Pamit Azam sambil menepuk pundak Dito.Dito melihat jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pria berjaket kulit warna hitam itu menggelengkan kepala melihat temannya yang masih mengambil orderan di jam selarut ini.“Hati-hati, Zam!” seru Dito ketika suara motor besar Azam bersiap melaju di jalan beraspal.Azam hanya menjawab dengan acungan jempol, lalu segera bergabung dengan para pengendara kendaraan bermotor di jalanan yang ramai.“Kayak udah capek, mata juga udah