Aku tinggal di kontrakan Bu Rini satu minggu lebih lama dari Tante Dina. Sebelumnya aku tinggal di rumah mertua. Setelah proses ijin yang alot, kami diijinkan tinggal di kontrakan.
Bersyukur sekali dapat ijin dari mertua untuk tinggal di kontrakan, meski beliau sering datang menengok kami. Pertama kali datang aku sudah suka dengan suasana di sekitar kontrakan. Apalagi setelah tau tetangga kontrakan baik seperti keluarga sendiri.Umur anak pertamaku saat itu baru sembilan bulan, baru belajar jalan. Aku lihat Tante Dina sayang sekali dengan Kiki, anakku. Ia sering mengajak main bahkan digendong untuk dibawa pulang."Gendong terus, Tan, biar ketularan," ucapku waktu itu, sebab tau kalau dia penganten baru. Dia hanya senyum-senyum saja.Aku bahkan sering menitipkan Kiki jika sedang repot. Tante dengan senang hati menyanggupi. Efeknya, Kiki jadi dekat dengan Tante dan Om Deny, suami Tante Dina. Bahkan malam hari pun, jika suamiku belum pulang, Kiki miAku pikir, setelah Teh Dewi kerja, suasana bakalan aman, adem ayem gitu. Rupanya, salah besar. Emang, sih, dia udah jarang muncul di rumah. Kewarasanku sebagai emak dua anak yang lahirnya jarak dekat, lumayan terjaga lagi. Nggak kayak sebelumnya waktu dia sering ke rumah sama anaknya. Hanya saja, masalah baru muncul sama pintu pagar yang baru dibuat. Pintu yang sebenarnya nggak perlu amat, dibuat cuma buat nurutin satu orang yang rusuh dan nggak seneng lihat orang lain seneng. Seperti siang ini. Aku baru masuk sebentar mau nerima telpon yang menjerit-jerit. Aku tinggalin dua anakku di depan. Udah kasih pesen supaya anteng di sana. Pas aku keluar, lah ... itu si Kakak udah nggak ada. Duh, aku kuatir banget. Mana jalanan depan itu lagi rame, banyak motor lewat. Aku periksa pintu pagar depan rumah, nggak kebuka. Lalu anakku ke mana? Pas lihat ke rumah Tante, te
Beberapa saat sebelumnya …Azam sudah siap berangkat kerja. Kali ini ia akan membawa anaknya serta, sebab Dewi akan berangkat agak siang.Melihat rantai sepeda yang tergantung di dekat pintu kamar, pria itu menghela napas panjang.Sudah beberapa kali ia menegur sang istri untuk tidak mengunci pintu pagar dalam kondisi terbuka saat mereka ke luar rumah. Namun, peringatannya tidak diindahkan.Dilihatnya wanita yang sepuluh tahun ini menjadi teman hidupnya, tengah tersenyum-senyum sendiri sambil menatap lurus pada ponsel di tangan.“Ma,” panggil Azam yang jengah melihat kelakuan istrinya.“Hmmm … .”Dewi menjawab tanpa menoleh. Kini bahkan terkikik entah sebab apa. Wanita itu menoleh setelah beberapa saat suaminya masih berdiri tegak.“Apa, Pa? Belum mau berangkat?“Rantainya aku bawa aja, ya,” pinta Azam, seraya mengambil benda tersebut. Kedua mata Dewi melotot seketika. Gegas ia berdiri dan menyambar ben
POV DewiHampir tengah hari, aku memutuskan untuk istirahat. Duh, mana panas banget lagi hari ini. Segelas teh manis dingin cocok, nih buat ngilangin haus.Tringg ...Triiingg …Tiba-tiba saja ponsel yang ada di tasku berbunyi nyaring. Aku harap itu dari pelanggan yang meminta supply susu yogurt yang ku jual beberapa bulan terakhir ini.Aku sungguh terkejut melihat nama yang ada di layar. Bu Rini pemilik kontrakan. Tumben nelpon."Assalamu'alaikum Bu Rini?" ucapku setelah kupencet tombol hijau dan sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam ... Hallo Bu Dewi, maaf kalau mengganggu waktunya. Bu Dewi nanti malam ada di rumah tidak? Saya mau berkunjung." Waduh, ada apa sampai Bu Rini mau berkunjung segala? Malam-malam lagi."Oh iya, ada kok. Ada perlu apa ya, Bu?" tanyaku penasaran. "Nanti malam saja saya jelaskan, ya, Bu Dewi. Assalamu'alaikum." Bu Rini menutup sambungan telepon setelah kujaw
“Nggak pulang, Zam?”Azam menoleh. Dito, teman nongkrongnya kali ini, sudah bersiap meninggalkan lokasi yang menjadi markas tunggu.“Entar dulu. Masih nunggu orderan satu lagi gue,” jawab Azam.Pria itu melirik ponsel yang berkedip-kedip. Gegas meraihnya, lalu tersenyum lebar.“Panjang umur!” serunya dengan suara riang, lantas menunjukkan layar ponsel yang masih menyala pada temannya.“Jalan dulu, gue!”Pamit Azam sambil menepuk pundak Dito.Dito melihat jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pria berjaket kulit warna hitam itu menggelengkan kepala melihat temannya yang masih mengambil orderan di jam selarut ini.“Hati-hati, Zam!” seru Dito ketika suara motor besar Azam bersiap melaju di jalan beraspal.Azam hanya menjawab dengan acungan jempol, lalu segera bergabung dengan para pengendara kendaraan bermotor di jalanan yang ramai.“Kayak udah capek, mata juga udah
“Teh … Teh. Emang semalam Bu Rini ke sini, ya?” Bu Yati menyapa Nia yang sedang duduk santai di teras sambil mengawasi anak-anaknya. Yang ditanya sedikit terkejut. “Masa, sih? Aku nggak tau. Kan semalam ke rumah nenek,” jawab Nia apa adanya. “Sampai jam sebelas baru sampai sini aku, Mbak,” jelas Nia lagi. “Ih … iya, tau. Dia ke rumah situ, tu!” Bu Yati menunjuk rumah Dewi dengan bibirnya. Nia tertawa melihat ekspresi lucu Bu Yati. “Dia negur kali. Lagian itu pintu masih dibuka juga sama si itu,” cetus Bu Yati lagi. “Lagian kenapa nggak disuruh oh dah aja sih, tuh orang?” gerutu Bu Yati dengan wajah kesal. “Kalau gue nih, jadi yang punya, udah gue usir dari dulu dia, Teh.” “Au ah, Bude. Ngantuk aku,” sahut Nia, lalu menutup mulutnya yang tengah menguap lebar. Bu Yati menggelengkan kepala melihat N
“Tinggal seminggu lagi, loh, Pa. Jadi gimana ini kita?”Lagi-lagi Dewi mencecar Azam soal kontrakan. Sudah tiga minggu berlalu. Namun, mereka belum menemukan calon tempat tinggal yang baru.“Ya nggak gimana-gimana. Kemarin udah Papa kasih lihat, Mama nggak mau.”Azam berkata dengan santai. Kulit kuaci memenuhi lantai di sekitar lelaki berkaos merah menyala itu duduk.Dewi mendengkus kesal. Benar memang, Azam telah membawanya ke sebuah rumah tiga petak, yang lebih kurang seperti rumah yang saat ini mereka tempati.Rumah dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tamu, serta dapur. Posisi rumah juga ada di pinggir jalan kampung. Hanya saja, rumah tersebut nyaris tidak memiliki halaman. Jika pindah ke sana, maka mereka tidak memiliki lahan parkir di luar rumah, sebab halaman yang tersisa kurang dari setengah meter, dan langsung bertemu pagar yang menjadi pembatas halaman dengan jalan.“Bisa yang lebih bagusan la
Waktu terus beranjak. Matahari telah bergeser ke arah barat. Suara anak-anak yang bermain di lapangan sudah ramai terdengar.“Ma, masakin telur, dong?!” pinta Sultan, mengejutkan sang ibu yang tengah menonton Drakor.“Masak sendiri sana! Udah gede juga,” sahut Dewi yang enggan beranjak dari tempatnya. “Nggak bisa, Ma! Buruan, dong. Perutku lapar ini!” Lagi-lagi bocah itu merengek setengah memerintah.“Makan yang lain dulu kenapa, sih?” gerutu Dewi sambil turun dari tempat tidur.“Maunya telur!” seru Sultan yang tidak mau ditawar inginnya.Dewi berdecak kesal, lalu melangkah keluar dengan terpaksa, hendak menuju warung di ujung gang. Di pos ronda sudah banyak para ibu dan balita. Wajah Dewi yang kesal oleh anaknya, kini dimanis-maniskan di depan para tetangga. Ya, meski ia merasa canggung, sebab beberapa waktu lamanya ia tidak berinteraksi dengan tetangga kiri kanan seperti sekarang.“Ada itu, tuh,” celetuk Bu
"Mas, coba lihat deh. Kok di luar kayak rame ya, Mas?" ucap dan tanya Dina pada sang suami. Jam menunjuk angka sepuluh malam. Biasanya rumah Dewi sudah sepi. Namun, tidak demikian kali ini."Masa, sih? Coba aku lihat." Deny kemudian beranjak dari duduknya."Oh, iya. Itu si Sultan masih main di jalan, tuh. Pintunya juga masih terbuka. Pintu pagar juga," ucap Deny setelah melihat ke luar rumah.Terdengar suara orang berlari-lari setelahnya. Dina melihat ke luar melalui jendela. Ia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. "Anak itu sudah malam kenapa belum tidur, ya." Dina bergumam sendiri. "Matanya saja sudah separo begitu." Pandangan Dina mengikuti pergerakan Sultan yang melompat-lompat di luar rumah, pun ke luar masuk melewati pagar. Saat malam memang jalan di depan kontrakan sepi."Mas juga nggak tau, Sayang. Lebih baik istirahat saja, yuk. Sudah malam ini."Deny berusaha membujuk istrinya yang terli