“Tinggal seminggu lagi, loh, Pa. Jadi gimana ini kita?”
Lagi-lagi Dewi mencecar Azam soal kontrakan. Sudah tiga minggu berlalu. Namun, mereka belum menemukan calon tempat tinggal yang baru.“Ya nggak gimana-gimana. Kemarin udah Papa kasih lihat, Mama nggak mau.”Azam berkata dengan santai. Kulit kuaci memenuhi lantai di sekitar lelaki berkaos merah menyala itu duduk.Dewi mendengkus kesal. Benar memang, Azam telah membawanya ke sebuah rumah tiga petak, yang lebih kurang seperti rumah yang saat ini mereka tempati.Rumah dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tamu, serta dapur. Posisi rumah juga ada di pinggir jalan kampung. Hanya saja, rumah tersebut nyaris tidak memiliki halaman.Jika pindah ke sana, maka mereka tidak memiliki lahan parkir di luar rumah, sebab halaman yang tersisa kurang dari setengah meter, dan langsung bertemu pagar yang menjadi pembatas halaman dengan jalan.“Bisa yang lebih bagusan laWaktu terus beranjak. Matahari telah bergeser ke arah barat. Suara anak-anak yang bermain di lapangan sudah ramai terdengar.“Ma, masakin telur, dong?!” pinta Sultan, mengejutkan sang ibu yang tengah menonton Drakor.“Masak sendiri sana! Udah gede juga,” sahut Dewi yang enggan beranjak dari tempatnya. “Nggak bisa, Ma! Buruan, dong. Perutku lapar ini!” Lagi-lagi bocah itu merengek setengah memerintah.“Makan yang lain dulu kenapa, sih?” gerutu Dewi sambil turun dari tempat tidur.“Maunya telur!” seru Sultan yang tidak mau ditawar inginnya.Dewi berdecak kesal, lalu melangkah keluar dengan terpaksa, hendak menuju warung di ujung gang. Di pos ronda sudah banyak para ibu dan balita. Wajah Dewi yang kesal oleh anaknya, kini dimanis-maniskan di depan para tetangga. Ya, meski ia merasa canggung, sebab beberapa waktu lamanya ia tidak berinteraksi dengan tetangga kiri kanan seperti sekarang.“Ada itu, tuh,” celetuk Bu
"Mas, coba lihat deh. Kok di luar kayak rame ya, Mas?" ucap dan tanya Dina pada sang suami. Jam menunjuk angka sepuluh malam. Biasanya rumah Dewi sudah sepi. Namun, tidak demikian kali ini."Masa, sih? Coba aku lihat." Deny kemudian beranjak dari duduknya."Oh, iya. Itu si Sultan masih main di jalan, tuh. Pintunya juga masih terbuka. Pintu pagar juga," ucap Deny setelah melihat ke luar rumah.Terdengar suara orang berlari-lari setelahnya. Dina melihat ke luar melalui jendela. Ia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. "Anak itu sudah malam kenapa belum tidur, ya." Dina bergumam sendiri. "Matanya saja sudah separo begitu." Pandangan Dina mengikuti pergerakan Sultan yang melompat-lompat di luar rumah, pun ke luar masuk melewati pagar. Saat malam memang jalan di depan kontrakan sepi."Mas juga nggak tau, Sayang. Lebih baik istirahat saja, yuk. Sudah malam ini."Deny berusaha membujuk istrinya yang terli
Pagi hari, saat Dina ke luar rumah, rumah Dewi sudah sepi. Dina menemukan kantong hitam besar di depan kamar Dewi, berisi barang-barang yang ditinggalkan. Sampah plastik juga berserakan di sepanjang teras dan halaman rumah Dewi.Dina merasa lega karena dengan perginya Dewi, maka pintu pagar tak akan terbuka lagi di saat siang. Di sisi lain, ia merasa sedih karena Dewi ternyata meninggalkan kontrakan diam-diam di saat malam, di saat semua orang terlelap tidur. “Ngapain, Mbak?”Bu Yati bertanya sambil menghampiri Dina yang berdiri mematung memandangi halaman rumah Dewi. Belum sempat Dina menjawab, Bu Yati sudah berseru kaget.“Astaghfirullah … . Banyak amat sampahnya!” seru Bu Yati saat melihat kantong plastik hitam di depan pintu.“Kok sepi? Pada ke mana mereka?” tanya Bu Yati kemudian.Dina mengedikkan bahu, lalu menjawab, “Nggak tau, Bude.”"Emang Tante nggak dipamiti?" Bu Yati bertanya dengan penuh rasa heran. Ibunya
"Teh, ini nanti mereka mulai tinggal di sini, ya. Mereka cowok semua. Kerja di situ memperbaiki masjid."Hari kelima sejak kepergian Dewi, si tukang bubur mendatangi Dina setelah mengantar beberapa orang yang akan menempati rumah di sebelahnya.Dina sedikit terkejut mengetahui tetangga barunya adalah beberapa orang pria dewasa."Tadinya mereka tinggal di situ dekat Bude jamu, tapi kebanyakan,” beritahu Gema lagi. “Kamar mandi di sana juga cuma satu. Jadi tak saranin aja pindah ke sini," ucapnya menambahkan."Iya, Om," Dina menjawab singkat. "Nggak lama kok, paling dua bulan. Saya udah bilang supaya jangan berisik karena ada anak kecil di sini. Saya juga bilang kalau yang di sini orang baik, jangan diapa-apain,” ucap Gema panjang pendek."Iya, Om. Makasih, ya,” Dina menjawab dengan mengulas senyum.Gema mengangguk, lantas pamit setelah merasa cukup memberikan informasi kepada Dina.***Malam hariny
Di tempat lain, Dewi masih disibukkan dengan barang-barang setelah pindah kontrakan.“Bisa sebulan baru kelar ini,” keluhnya, sambil memindahkan pakaian ke dalam lemari .“Huh! Mana capek banget nggak ada yang bantuin.”Dewi memilih merebahkan badan, alih-alih menyelesaikan pekerjaan yang ada di depan mata.Selama beberapa hari terakhir, ia yang kelelahan sebab kepindahan mendadak serta menyita jam istirahat, hanya menarik pakaian yang akan dipakai dari dalam koper.Demikian pula dengan anak dan suaminya. “Masukin dulu pakaian ke lemari, Ma. Masa tiap mau salin mesti buka koper,” tegur Azam di hari kedua mereka pindah.Dewi justru mendelik tak suka ditegur demikian.“Papa habisan. Ngajak pindah kok tiba-tiba. Nggak pakai persiapan dulu, pemanasan dulu gitu. Ini, main pergi aja. Malam itu juga lagi,” gerutu Dewi membuat Azam melengak tak suka.“Kenapa jadi nyalahin Papa? Orang kamu juga minta pindah mal
Hari-hari dijalani Dewi dengan penuh kejutan. Sikapnya yang tidak mau kalah dari orang lain, beberapa kali memicu pertengkaran dengan tetangganya. Terlebih lagi, anak-anak kecil di sana sering menyelinap masuk jika ia lengah tidak menutup rapat pintu depan. Bukan sekali ia menemukan barangnya diacak-acak oleh mereka. Tidak bisa berbuat banyak, dia pun hanya bisa menuruti ucapan suaminya untuk selalu mengunci pintu jika sedang ada di rumah. “Kita pindah aja, sih, Pa. Nggak betah Mama. Berisik banget tetangga sebelah. Mana anak nya banyak, kecil-kecil suka nyelonong masuk,” cerocos Dewi saat benar-benar merasa lelah dengan kondisi di kontrakan barunya. “Nggak bisa, Ma. Ini udah yang paling pas sama budget kita. Sabar-sabarin lah,” sahut Azam yang tidak peduli dengan keluhan istrinya. “Papa sih, enak, main bilang sabar. Yang di rumah kan Mama. Capek tau, Pa.” La
Tinggal bersebelahan dengan penjual bubur ayam, membuat hari-hari Dina akrab dengan aroma masakan. Tidak masalah bagi wanita hamil itu, sebab saat masih lajang pun ia pernah bekerja paruh waktu di warung makan. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada menghirup asap rokok seperti tempo hari. Ia yang dulu mengenal Lila sambil lalu, kini terlihat sering mengobrol di teras. Ya, sambil menemani anak-anak bermain. Soal gerobak yang pernah dirisaukan oleh Nia beberapa waktu lalu, tidak menjadi masalah bagi Dina, sebab Gema menempatkan gerobak tersebut di ujung halaman. Pintu pagar baru itu juga seperti memiliki kehidupan semenjak Gema dan keluarga kecilnya tinggal di sana. Mereka, semua penghuni bebas menggunakan dengan leluasa, tidak seperti ketika Dewi yang tinggal di sana, yang justru menjadikan pintu itu sebagai hak miliknya. .
Jarum jam menunjuk angka sembilan malam, saat Deny memberi kabar kalau mereka akan kedatangan tamu agung."Dek, besok Nenek ke sini. Sekarang lagi di jalan. Ini tadi barusan nelpon bapak."Dina menghentikan kegiatannya melipat pakaian. Nenek yang dimaksud adalah orang tua Deny, ibu mertua Dina. Menghela nafas panjang, menghembuskannya kemudian. 'Sepertinya harus begadang buat bereskan semua ini.' Dina berdialog sendiri."Iya, Mas. Semoga perjalanan ibu lancar, selamat sampai di sini," sahut Dina yang kemudian menyapu pandang ke seluruh ruangan.Mainan berserakan dari ujung pintu masuk hingga pintu dapur. Keranjang baju kotor penuh. Cucian piring menumpuk. Sisa jajanan tadi sore berserakan di dapur. Sungguh, ini seperti kapal pecah. Belum lagi kompor yang entah kapan terakhir dilap. Dina memandangi anaknya yang sudah terlelap. Sang suami juga beranjak tidur, pasti lelah sudah bekerja seharian. Ia juga mengantuk karena hari