“Shirley mana?” tanya Ciko ketika Marcel tiba di rumah.“Memangnya dia tidak bilang sama kamu?” sahut Marcel sambil membuka jaketnya.“Kalau Shirley bilang, ngapain aku tanya sama kamu?” tukas Ciko dengan selang air terulur ke wajah Marcel.“Dia liburan,” jawab Marcel apa adanya. “Tapi aku tidak tahu dia liburan ke mana dan sama siapa.”Ciko mengangguk.“Cuci mobil aku,” perintahnya. “Kemarin aku pakai ke pantai, terus kehujanan. Kamu cuci lagi yang bersih, setelah itu kamu baru boleh makan.”Marcel yang masih lelah karena habis bekerja, memandang kakak iparnya dan bersiap menolak.“Apa?” tantang Ciko yang menyadari tatapan penolakan dari Marcel.“Aku baru pulang kerja, setidaknya biar aku minum dulu.” Marcel mencoba menawar.“Siapa kamu, berani tawar menawar sekarang?” hardik Ciko sambil melecut lengan Marcel dengan selang.“Bukan begitu ...” Marcel pura-pura meringis kesakitan. “Pak Aldi terus menghubungi aku beberapa hari ini aku merasa ada yang mengikuti aku ... Makanya aku harus
7Sejak rumah orang tuanya mendapatkan teror, Ronnie terlihat sibuk sendiri hingga tak sempat lagi mengusik ketenangan Marcel.Hal itu Marcel manfaatkan untuk menggali lebih dalam tentang pengetahuan obat kepada Venya.“Jadi intinya aku harus memahami sifat dasar setiap elemen untuk bisa menghasilkan formula yang diinginkan?” tanya Marcel menyimpulkan. Siang itu dia memang sengaja meminta Venya mengajarinya membuat ramuan sederhana.“Ya, tapi tidak sesederhana itu juga.” Venya mengangguk. “Itu semua harus dilengkapi dengan kesabaran karena biasanya formula yang kita inginkan tidak serta-merta jadi dalam satu kali percobaan saja. Kadang kita harus berkali-kali membuat formula yang berbeda sampai kita tahu formula mana yang paling baik.”“Jadi apa yang harus aku pelajari lagi?” tanya Marcel lebih spesifik. “Aku mau mengubah hidup, dan juga merebut apa yang seharusnya menjadi hak keluarga aku.”Venya tersenyum mendengar penuturan Marcel.Marcel sendiri butuh beberapa hari untuk bersikap m
Marcel tidak segera menjawab, pikirannya terlalu penuh hingga sulit baginya untuk segera memutuskan.“Apa lagi yang mau Anda pertimbangkan lagi, Tuan?” kata Fandi lagi.“Sebetulnya tidak ada yang harus saya pertimbangkan lagi,” ujar Marcel.“Lalu?” tanya Fandi tidak mengerti. “Soal kerja sama dengan Pak Aldi, bukankah Anda sudah menyetujuinya?”Marcel menoleh memandang Fandi.“Saya tidak bisa langsung menyetujui soal kunjungan Pak Aldi ke dalam lab saya,” ujar Marcel. “Saya juga tidak mau orang-orang mengetahui kerja sama ini terlalu cepat, terlebih lagi keluarga istri saya.”Fandi menganggukkan kepalanya, sementara Marcel memilih untuk tidak bicara terlalu jauh.“Saya tidak mengerti apa rencana Anda terkait keluarga istri Anda, tapi yang jelas Anda harus segera menanggapi keinginan Pak Aldi yang ingin datang berkunjung ke lab Anda.”“Tolong bilang Pak Aldi untuk bersabar dulu sebentar,” kata Marcel tenang. “Saya belum bisa memastikan kapan, tapi yang jelas kepentingan saya saat ini
Beberapa jam setelah itu, Marcel datang kembali ke rumah inti mertuanya. Sudah bisa ditebak, Herman teramat murka dengan keputusan yang telah Marcel buat.“Kamu berniat menghancurkan perjanjian kita, ha?” tanya Herman geram.“Perjanjian kita memang sudah hancur, makanya aku sudah tidak tahan lagi untuk tetap bersama Shirley.” Marcel berkomentar tenang.“Terus kenapa kamu meninggalkan rumah ini, kenapa?” sergah Herman.“Shirley selingkuh,” jawab Marcel singkat.Herman mengerutkan keningnya tak percaya.“Kembali sekarang, perjanjian ini masih bisa diperbaiki.” Dia berkata tegas. “Jangan mempersulit hidup kamu lagi.”“Aku ke sini justru mau kasih tahu Ayah kalau aku akan mencarikan dana untuk membayar utang,” sahut Marcel sekenanya. “Jadi Ayah tidak perlu memaksakan pernikahan aku dan Shirley lagi.”Herman mengembuskan napas keras.“Kamu pikir semudah itu?” tukasnya. “Sudahlah, lebih baik kamu temui Shirley dan minta maaf sekarang.”Marcel menggeleng tegas.“Aku akan buktikan sama Ayah,”
Wajah Ronnie merah padam ketika Marcel mengingatkan soal tantangan itu.“Kamu meragukan kemampuan perusahaan ini?” tanya Ciko geram. “Kamu pikir kamu siapa!”Saat mengatakan itu, Ciko mengamati Marcel dan baru tersadar jika penampilan adik iparnya itu sudah jauh berubah.Marcel yang biasa menggunakan kaos berkerah khas seragam toko tempatnya bekerja, kini justru mengenakan jas formal seperti dirinya, dengan arloji perak yang melingkar di pergelangan tangannya.Ciko yang suka mengoleksi arloji, jelas sangat tahu kalau arloji yang dikenakan Marcel bukanlah barang murah.“Sudah naik jabatan rupanya,” komentar Ciko sinis. “Jadi direktur toko?”Ronnie mendengus dengan tawa yang tertahan.“Begitulah,” sahut Marcel tenang. “Jadi bagaimana, kalian berani tidak?”“Aku tidak sudi sujud di kaki kamu, najis.” Ciko mencemooh, dan Ronnie heran sekali karena Marcel masih bisa menghadapi penghinaan itu dengan tenang.“Ya sudah, kamu punya ketakutan kalau perusahaan orang tua kamu gagal kan?” kata Mar
“Kamu harus sembunyi!” seru Venya tertahan sambil berdiri.“Buat apa aku sembunyi?” tanya Marcel heran. “Pintu sudah terkunci sistem kan.”Venya tidak segera menjawab, tapi tatapan matanya begitu waspada dan khawatir.“Ada apa, Ve?” tanya Marcel penasaran.“Aku belum bisa menjelaskannya sekarang, Cel ...” jawab Venya dengan nada meminta maaf. “Sembunyi saja dulu ....”Marcel diam dan tidak lagi mendesak Venya, meskipun ingin tahu apa yang terjadi.Fokus mereka berdua kini teralihkan sepenuhnya oleh percakapan yang terdengar di luar.“Buka pintu!”“Telepon si Marcel!” “Buat apa? Sudah seharusnya kita punya hak masuk ke sini!”“Siapa pun buka pintunya!”Marcel dan Venya saling pandang.“Bagaimana ini?”“Jangan buka pintu.”“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”“Entahlah, mereka tidak akan mundur.” Venya berusaha tenang. “Atau sebaiknya aku temui mereka ....”“Buat apa?”Sejurus kemudian, Marcel mendengar suara benda keras yang dibanting.“Apa kita perlu keluar sekarang?” bisik Marcel, lab
Setibanya di dalam lab, Venya sukses memancing rasa ingin tahu Marcel karena melihat tampang Venya yang sekeruh lumpur.“Ada apa, Ve?”Venya segera menjelaskan kronologi kejadian yang sempat dia alami ketika menghadapi keluarga Delvino yang memaksa ingin masuk lab. Marcel geleng-geleng kepala sebagai tanggapan atas sikap dari keluarga istrinya itu.“Congkak sekali kan mereka,” komentar Marcel.“Aku tidak apa-apa ...” sahut Venya pelan.“Kalau kamu sampai dapat kekerasan verbal atau fisik, bilang aku.” Marcel menatap tegas Venya. “Itu kamu kelihatan shock, apa kita perlu kasih mereka pelajaran?”Venya tidak segera menjawab. Dia tiba-tiba merasakan kepalanya pusing dan tubuhnya lemas, karena itu dia nurut-nurut saja saat Marcel memintanya untuk berbaring di tempat tidur sementara Meru duduk termenung seperti biasanya.“Kamu pasti kelelahan, kamu juga rutin mengonsumsi formula yang kamu buat sendiri kan?” tanya Marcel.“Tidak, aku tidak sempat ....”“... paling tidak sempatkan diri kamu
“Aku tidak bisa janji, maaf.”Marcel memutus pembicaraan mereka tanpa memberi kesempatan kepada Shirley untuk berbicara lebih jauh lagi.“Argh!”Di tempatnya berlibur dengan teman, Shirley melempar ponselnya ke tempat tidur dengan kesal. Dia lantas menghela napas panjang, kemudian ganti menghubungi ibunya.“Bu, aku tidak mau meneruskan pernikahan ini!” Shirley duduk di salah satu kursi dengan wajah cemberut. “Aku sama sekali tidak cinta sama Marcel!”Reina menghela napas dan balas menjawab.“Kita akan rugi besar kalau melepas Marcel,” kata Reina logis. “Kita tidak bisa memeras tenaga dia lagi, dan sumber pendapatan kita akan berkurang. Pikirkan itu, Sayang.”Shirley tidak segera menjawab, dia menuang air teh ke dalam cangkirnya sendiri lalu meneruskan pembicaraan.“Aku tidak yakin kalau Marcel bisa mendapatkan uang itu dengan cuma-cuma,” ujar Shirley sok tahu. “Mungkin saja dia dapat pinjam, utang teman atau malah rentenir ....”“Jangan ngaco kamu,” tegur Reina galak. “Mana ada renten