“Aku tidak bisa janji, maaf.”Marcel memutus pembicaraan mereka tanpa memberi kesempatan kepada Shirley untuk berbicara lebih jauh lagi.“Argh!”Di tempatnya berlibur dengan teman, Shirley melempar ponselnya ke tempat tidur dengan kesal. Dia lantas menghela napas panjang, kemudian ganti menghubungi ibunya.“Bu, aku tidak mau meneruskan pernikahan ini!” Shirley duduk di salah satu kursi dengan wajah cemberut. “Aku sama sekali tidak cinta sama Marcel!”Reina menghela napas dan balas menjawab.“Kita akan rugi besar kalau melepas Marcel,” kata Reina logis. “Kita tidak bisa memeras tenaga dia lagi, dan sumber pendapatan kita akan berkurang. Pikirkan itu, Sayang.”Shirley tidak segera menjawab, dia menuang air teh ke dalam cangkirnya sendiri lalu meneruskan pembicaraan.“Aku tidak yakin kalau Marcel bisa mendapatkan uang itu dengan cuma-cuma,” ujar Shirley sok tahu. “Mungkin saja dia dapat pinjam, utang teman atau malah rentenir ....”“Jangan ngaco kamu,” tegur Reina galak. “Mana ada renten
Marcel lantas diminta untuk menunjukkan kartu identitasnya oleh beberapa orang.“Marcelino? Kamu asli orang sini?”“Begitulah,” angguk Marcel.“Ikut kami sekarang,” kata salah seorang yang tadi menjebloskan Marcel ke dalam ruangan.Dengan tenang Marcel membiarkan dirinya digelandang ke sebuah rumah berlantai dua yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor.Di sana sudah ada Aldi yang menunggunya dengan tampang gembira. Tanpa banyak basa-basi di awal, satu di antara mereka langsung mengajak Marcel bicara.“Ada yang bisa saya bantu, Pak Marcel? Katakan saja.”Marcel mendongak dari posisinya yang tengah duduk diapit dua anggota keamanan Aldi yang bertubuh kekar.“Sepertinya saya ingin memindahkan lab secara bertahap,” sahut Marcel datar, dengan kedua mata menatap lurus ke arah pria matang berompi yang duduk menghadapnya dengan aura berkharisma. “Saya rasa rumah keluarga Delvino tidak lagi aman.”Pria jangkung dengan mata bijak itu menatap Marcel dengan pandangan menyipit hingga tinggal
Ketika makan malam berlangsung, sesekali Herman melayangkan pertanyaan kepada Marcel.“Kerja di mana sekarang, Cel?”“Masih di toko kecil-kecilan, Yah.” Marcel menjawab asal. “Kalau hanya di rumah ini saja, aku tidak akan dapat uang.”Di seberang meja, Ronnie saling pandang dengan Shirley. Kali itu adalah untuk pertama kalinya Marcel diizinkan makan satu meja bersama keluarga mereka.“Oh ya?” tanggap Herman tidak percaya. “Kamu bukannya memutuskan untuk meneruskan kembali lab itu? Saya kira kamu sibuk di sana, tapi mungkin kamu jadi lupa kewajiban kamu untuk membantu pekerjaan asisten rumah tangga di sini ....”Herman menghentikan ucapannya ketika Shirley memandangnya dengan tatapan merajuk.“Marcel tetap mau bercerai.” Shirley memberi tahu.Marcel hanya tersenyum singkat. Dari sudut matanya, dia melihat bagaimana Shirley mencibir ke arah piringnya sendiri.Malamnya, seperti biasa Marcel mengambil bantal dan selimutnya karena berniat untuk tidur di kamar pembantu.“Tidur saja di kamar
Setibanya di kantor mertua, Marcel turun bersama Aldi untuk bersama-sama menemui Herman.Marcel yang mengenakan kemeja biru biasa dan celana hitam licin berjalan di samping Aldi yang disuruhnya bergaya seperti pengusaha konglomerat.Marcel yang tidak tahu apa-apa hanya menurut saja apa yang Aldi sarankan kepadanya.“Saya mau bertemu Pak Herman,” kata Marcel kepada pegawai yang bertugas di meja. “Saya menantunya, yang sebentar lagi akan jadi mantan.”Pegawai perempuan itu bereaksi cukup sulit saat mencoba mencerna ucapan Marcel, tapi dia tetap pergi ke dalam ruangan Herman untuk memberi tahu kedatangan menantunya.“Masa dia sampai tidak tahu kalau Anda ini menantu atasannya?” bisik Aldi terheran-heran.“Anda tidak perlu heran,” sahut Marcel dalam bisikan rendah. “Padahal orang tua saya berharap saya akan mendapatkan jenjang karir yang bagus.”Aldi mengedarkan pandangannya ke sekeliling.“Tidak masalah perusahaan sekecil ini, Anda kan punya belasan perusahaan ....”“Kita tidak membicara
Sejak Marcel hanya memberikan nafkah bulanan sebanyak tiga juta kepadanya, Shirley kembali ke sikap pongahnya semula.Terlebih setelah Ronnie memberi tahu kalau Marcel hanya menumpang gaya saja dengan temannya yang memiliki mobil mewah.“Serius? Jadi selama ini ...?” Shirley membelalakkan mata setelah mengetahui fakta itu.Ronnie mengangguk.“Tapi biar saja, setidaknya kita masih bisa memanfaatkan utang mertua kamu tetap mendapatkan uang.” Dia menatap Shirley. “Kamu tidak perlu cerai, toh kamu tidak usah bercinta sama Marcel kalau memang tidak mau.”“Apa sih, Kak? Najis, tahu!” sergah Shirley dengan mimik jijik.Meskipun dalam hati dia mengatakan yang sebaliknya.Pernah di waktu-waktu tertentu, Shirley tanpa sengaja melihat Marcel yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang melilit bagian pinggangnya ke bawah.Ketika itulah Shirley melihat ada perubahan fisik yang tampak dari dua lengan Marcel yang tampak kencang dan berisi, juga dada lebar hingga perut
“Aku tetap mau bercerai,” bisik Shirley kepada ibunya.“Bukan ide bagus,” geleng Reina. “Lab suami kamu bisa menghasilkan uang untuk kita, Marcel juga bisa kamu manfaatkan ....”“Dia suami kere, aku tidak mau!” tolak Shirley sambil mengernyit.“Tapi dia bisa menghasilkan berjuta-juta dari pekerjaannya itu,” sindir Ronnie. “Bikin malu nama keluarga kita saja, Bu.”Herman menghela napas.“Kalau pernikahan ini diakhiri, kita semua rugi.” Dia menegaskan. “Belum balik modal, memangnya siapa yang akan mengganti uang ayah?”Shirley memutar matanya.“Kalau kamu tetap menjadi istri Marcel, setidaknya kamu dapat uang bulanan. Dia juga bisa bantu-bantu pekerjaan rumah,” usul Ronnie sambil menghitung-hitung. “Kapan lagi punya babu gratisan?”Shirley memegang keningnya, dia tidak yakin kalau Marcel memiliki harta yang bisa dia kuras habis.“Aku juga yang jadi tumbal,” keluh Shirley ketika orang tuanya sedang berunding lagi dengan Marcel.“Nanti aku bantu,” sahut Ronnie. “Wajar sih kalau ayah dan i
Dua minggu berlalu dengan damai. Marcel dan penghuni perumahan lain berhasil melakoni kehidupan baru mereka dengan jadwal yang sudah ditentukan pusat.Para tetangga menerima kehadiran mereka tanpa pertanyaan sama sekali, sehingga satu sama lain tidak saling mengusik atau terusik jika Marcel selalu pergi dengan sopir Aldi dan dua orang lainnya setiap hari.“Aku heran anggota keluarga Delvino belum ada yang menyadari apa yang kita lakukan,” komentar Marcel ketika mobil yang dikemudikan sopir Aldi melaju ke arah kantor Herman. “Menurut saya ini terlalu mencurigakan.”Sopir Aldi yang bernama Diko masih fokus mengemudi dan tidak segera menjawab.“Justru bagus kalau seperti ini, Pak.” Diko menyahut setelah terdiam beberapa saat. “Proses perpindahan lab Anda ke tempat Pak Aldi jadi lebih mudah.”Marcel terdiam sebentar sambil berpikir.“Tapi bisa juga ini jebakan tidak langsung,” komentarnya mawas diri. “Saya harus tetap hati-hati, termasuk dengan orang asing yang kita temui.”“Saya sependapa
Beberapa hari menempati lab baru ....“Tidak bisa begitu, Pak.” Diko membantah. “Bos saya sudah mengambil alih kepemilikan lahan ini ....”“Mana surat-suratnya kalau begitu?” tanya Ronnie dengan nada seperti penagih utang.“Soal surat, itu urusan bos saya.” Diko tetap pada pendiriannya.“Kalau kamu tidak bisa menunjukkan suratnya, kami akan ambil alih lahan ini!” ancam Ronnie sambil menarik kerah kemeja Diko. “Kamu tahu siapa aku? Aku anak Herman Delvino, seharusnya kamu kenal nama itu!”Diko terhuyung ke belakang ketika Ronnie mendorongnya keras.“Kalau begitu bisa Anda tunjukkan surat kepemilikan dari keluarga Delvino, Pak?” kata diko sambil merapikan bagian depan kemejanya.“Apa?”“Bukankan tadi Anda bilang kalau tidak ada surat, itu berarti kepemilikan bisa atas nama siapa saja?” balas Diko cerdik.Tampang Ronnie sontak berubah merah padam ketika mendengar ucapan Diko. Dia lantas menoleh ke arah anak-anak buahnya yang masih berdiri siaga dan berteriak, “Ratakan tempat ini dengan t