Ali menoleh kepada putranya sebentar tanpa menghentikan langkah. “Abi paham. Abi pun paham apa yang umimu itu khawatirkan. Umi juga seorang menantu di sini. Umimu juga mendapatkan banyak tekanan dari keluarga pondok. Mungkin itulah yang menyebabkan umimu secara tidak langsung hendak menjodohkanmu kembali.” “Sebaik apapun wanita pilihan umi nanti, Nadhif tidak mau, Abi. Nadhif hanya mau bersama Nadina,” lanjut Nadhif. “Keputusanmu baik, Nadhif. Tetapi jangan sampai membuatmu durhaka kepada umimu. Bicarakan semuanya baik-baik. Cari jalan tengah terbaik. Untukmu, untuk Nadina, untuk Umi, Abi, pondok, dan segalanya.” Ali menepuk pundak tegap sang putra. “Kemarin Nadhif melihat umi berbicara dengan Azalea di kantin. Nadhif takut jika tanpa sepengetahuan Nadhif umi telah membuat ikatan untuk Nadhif, Abi.” “Pada awalnya, pernikahan antara Nadhif dan Nadina juga karena bentuk bakti Nadhif pada Abi dan Umi bukan? Saat Nadhif telah berikrar dan benar jatuh cinta padanya, saat semua ini ter
Nadina menundukkan pandangannya, baru saja pertanyaan itu keluar dari mulut Aminah, mata Nadina telah berair dan membuatnya gemetar hanya untuk menjawab iya atau tidak. “Jangan menangis, Nadina. Kenyataan ini tidak hanya pahit untukmu. Ini bahkan lebih pahit untuk umi yang telah banyak bermimpi tentang putra putri kalian!” imbuh Aminah semakin membuat Nadina merasa sesak. “Maafkan Nadina, Umi. Nadina telah gagal menjadi menantu dan istri yabg baik untuk keluarga ini dan Mas Nadhif. Nadina terlalu lama membiarkan semua ini mengambang,” ujar Nadina sambil sedikit sesenggukan. “Kamu benar Nadina. Kamu terlalu lama. Terlalu lama membiarkan suamimu itu menunggu hingga Allah melaknatmu dengan apa yang menimpamu sekarang. Awalnya umi pikir kalian memang membutuhkan waktu, tapi ternyata ini sudah berbulan-bulan lamanya Nadina!” “Kamu terlalu lama menunggu! Hingga akhirnya kamu tak bisa lagi memberikan kami cucu. Apa kau tahu betapa besarnya masalah ini, Nadina?!” sergah Aminah kini menole
Nadhif langsung masuk ke dalam kamar dan meninggalkan Aminah yang sedikit melirik ke belakang. Pemuda itu tampak bersimpuh di sebelah Nadina dam memangku kepala Nadina yang mata sembabnya telah terpejam. “Umi! Apa yang terjadi pada Nadina?! Kenapa Nadina pingsan, Umi?” teriak Nadhif kembali menoleh ke arah Aminah. “Bukannya istrimu saat ini memang lemah, Nadhif? Jangan banyak bertanya dan cepat bawa saja dia ke rumah sakit.” Aminah langsung berjalan meninggalkan kamar itu. Nadhif merasa tersayat tatkala melihat dan mendengar apa yang dikatakan Aminah kepadanya merujuk pada sang istri. Sebegitukah bencinya sang umi karena musibah yang menimpa istrinya itu? Tetapi pemuda itu tak memiliki banyak waktu. Dengan tenaganya yang baru saja terkuras pada kegiatan pondok, ia berusaha mengangkat tubuh sang istri. Ia tampak segera keluar dari dalem dengan Nadina yang berada di gendongannya. Hampir mencapai mobilnya, Melati melintas dan ikut panik melihat Nadina yang tak sadarkan diri itu. “M
“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Melati? Apa saya tampak akan mengacuhkan istri saya?” tanya Nadhif. “Maaf, bukan begitu, Gus! Tetapi dari pertanyaan Mbak Nadina kemarin, saya merasa Mbak Nadina seperti sedang mencari alasan yang tepat untuk menguatkan fakta bahwa Gus akan menikah lagi. Beliau bertanya, jika dengan sang istri pertama keduanya tidak bisa bahagia, bukankah lebih baik mengizinkan sang suami menikah lagi,” tutur Melati. Nadhif menundukkan pandangannya sementara tangannya mengelus tangan Nadina perlahan. “Saya tidak pernah bermimpi untuk menikahi dua wanita atau bahkan lebih dalam hidup saya, Melati. Saya selalu ingin hanya mencintai Nadina apapun yang terjadi. Tekanan dan apa yang terjadi saat ini, itulah yang pasti membuatnya meminta saya untuk menikah kembali.” “Saya paham, Gus! Ini pasti keputusan yang sangat sulit untuk Gus Nadhif ataupun Mbak Nadina. Tetapi jika boleh, jangan tinggalkan Mbak Nadina, Gus! Saya tahu setiap orang menginginkan kehadiran putra putri
Nadhif menghentikan tangan Nadina yang saat itu terus mengelus pundaknya berdalih merapikan pakaian baru yang dikenakan Nadhif. Pemuda itu mencekal tangan Nadina lalu menatapnya dalam. Mata Nadina semakin berair saat kedua matanya bertemu pandang dengan mata Nadhif. Nadhif yang tak paham dengan situasi di sana pun semakin kelu melihat sang istri. Tak membalas pertanyaan sang suami, Nadina kini malah tampak menjatuhkan tubuhnya kepada Nadhif dan memeluknya erat. Dengan cepat pula ia mengusap matanya dan menarik napas dalam agar tak jadi menangis. “Apa Nadina salah jika hanya ingin memuji suami, Nadina? Nadina tidak berbohong! Mas tampak sangat sempurna dengan pakaian ini!” pekik Nadina. “Kamu sangat aneh, Nadina! Saya tidak paham. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari saya?” tanya Nadhif sembari melepaskan pelukan Nadina dari dirinya. Nadina menggeleng pelan sambil berusaha tersenyum. “Tidak, tidak ada. Nadina hanya ingin memuji ketampanan Mas Nadhif saja!” pekik Nadina. “Kemar
Nadhif langsung menoleh ke arah kerabat yang baru saja memekikkan kalimat penuh kebahagiaan itu. Wajah pemuda itu tak dilakukan lagi jika sedang dalam kebingungan yang amat dalam. “Maksud bude apa?” tanya Nadhif seketika membuat sang kerabat itu menoleh dam terkekeh. “Kamu ini bagaimana sih, Nadhif! Acara ini dibuat untukmu! Ya meskipun kami sedikit terkejut karena kamu setuju untuk menikah lagi, tapi apapun untuk kamu, Nadhif! Hari ini adalah pengajuan lamarannya!” Mata Nadhif seketika melotot. Pandangannya langsung mengarah ke sekitar, mencari keberadaan sang umi tentunya. Dan seperti yang terjadi di sana, Aminah dan Ali tengah mempersilakan keluarga Putri Azalea yang tak terlalu banyak itu ke bangku yang berada di hadapan Nadhif. Sempat sekali Azalea menatap Nadhif dengan senyumnya yang tampak manis itu, namun dengan cepat pula Nadhif mengalihkannya. Ingatannya kembali mengulang izin Nadina untuk pergi ke toilet, tanpa mengatakan hal lain, Nadhif segera beranjak dari kursi itu
Usai acara pembukaan kala itu, Nadhif dan Azalea akhirnya dipersilakan untuk saling mengenal lebih dalam lagi dengan seseorang masing-masing bersamanya yang merupakan kawan mereka. “Saya tidak menyangka ini benar-benar terjadi, Gus! Kemarin umi datang dan mengatakan semuanya, Mbak Nadina telah mengizinkan saya untuk menjadi istri kedua Gus bukan?” tutur Azalea sambil tersenyum ke arah Nadhif. “Jika Nadina benar mengizinkannya, saya yang tidak mengizinkannya, Azalea. Tidak usah berlama-lama, segera selesaikan saja semua sesi ini. Saya telah menemukan jawaban yang tepat.” Azalea tampak membenahi posisi duduknya lalu semakin memandang Nadhif. Senyuman sejenak tampil di wajahnya yang tampak naif. “Aza tahu kok apa jawaban yang akan mas berikan nanti. Tapi mas juga perlu tahu, meskipun mas menolak perjodohan ini nantinya, Aza tidak akan menyerah begitu saja!” ujar Azalea bangga. “Saya tahu itu. Saya tahu wanita seperti apa kamu bagi rumah tangga saya dengan Nadina.” “Yaps! Mas Nadhif
Nadhif duduk kembali di bangkunya, ia sedikit melirik ke arah Ali yang mengangguk ke arahnya seolah mempercayai apa keputusan yang akan putranya itu ambil. Kini saatnya kedua calon untuk menyampaikan apa yang mereka putuskan usai sesi perkenalan itu di antara keluarga kecil mereka. Azalea memilih untuk menyampaikannya terlebih dahulu. “Sebelumnya saya sangat bersyukur memiliki kesempatan untuk lebih dekat mengenak Gus Nadhif sebagai calon suami saya jika Allah meridhoi nantinya. Tetapi mengingat lagi bagaimana Gus Nadhif yang telah menikah sebelumnya, membuat saya merasa ragu. Saya takut kehadiran saya benar mengganggu dan membuat hati wanita lain tersakati. Gus Nadhif memanglah pemuda yang sangat baik dan sempurna dimata saya. Tetapi untuk saat ini, setelah saling mengenal, saya sadar saya masih kurang untuk bersanding dengan Gus Nadhif. Terlebih pernikahan gus dengan istri pertamanya masih sangat dekat, cintanya masih terlalu besar dan tidak mengizinkan saya untuk semakin masuk k