Sajian makan malam kini berderet di meja makan yang telah dikelilingi seluruh anggota keluarga juga tamu mereka malam itu. Makanan yang tampak lezat pun dengan lahap masuk ke dalam setiap mulut. Beberapa pujian kerap Rayyan berikan setiap menu masakan baru memasuki mulutnya. “Masakannya sangat lezat, Umi! Umi sangat pandai memasaknya!” pekik Rayyan. “Pak Rayyan salah! Semua ini Ibu yang masak! Adnan juga ikut bantu! Bantu mencicipi!” pekik Adnan menyela seketika membuat Nadina menoleh ke arahnya dan sedikit mengode agar tak lagi melanjutkan perkataannya. “Ah, begitu? Wah, maaf sudah salah sangka. Tapi siapa pun yang memasaknya, ini sangat enak! Saya serius! Terima kasih untuk makanannya, Ibu Nadina!” pekik Rayyan. Nadina tak begitu membalas selain hanya anggukan kecil dan senyum tipis sembari kembali menyuapi Nadhin untuk menghalau tatapan dengan Rayyan. Beberapa perbincangan kecil dilakukan oleh Ali dan Aminah bersama Rayyan, sementara Nadina memilih merapikan meja makan. Namu
“Umi, Nadina mohon jangan kembali membahas ini, Umi,” pinta Nadina dengan wajah yang menunduk. Jarinya saling bertaut dan dimainkan sementara matanya tampak mulai berair. Aminah berjalan mendekati Nadina lalu duduk di sebelah sang menantu dan sebentar menarik napas sabar. “Mengapa tidak, Nadina? Putra umi, Nadhif benar! Kamu masihlah Nadina, seorang wanita yang cantik, muda, dan baik hati. Kamu berhak mendapatkan kehidupan baru. Umi rasa kehadiran Rayyan adalah sebuah simbol atau pertanda untuk lembaranmu yang baru,” “Umi sangat senang saat melihat Adnan menggandeng tangan kalian berdua tadi. Kamu pasti juga melihat sendiri bagaimana putramu yang amat pengertian itu bahagia berada di sekitar guru matematika itu, bukan?” lanjut Aminah. “Bagaimana bisa Umi mengatakan semua ini meskipun baru sekali bertemu dengannya, Umi?” ujar Nadina. “Lalu bagaimana denganmu dan Nadhif dulu? Abimu yang mengenalmu dan keluargamu. Bukan umi. Keyakinan itu datang tanpa basa-basi Nadina. Tidakkah kau
Berlatar sekolah Adnan, Rayyan tampak semakin memperhatikan Adnan dan memberikan perhatian lebih terhadap bocah lelaki itu baik saat proses mengajar maupun di luar kelas. Seperti yang diduga, Adnan pun senang dengan perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh guru berwajah mirip ayahnya itu. Menurutnya, setidaknya ia bisa membayangkan kenangan masa lalu bersama sang ayah dengan wajah Rayyan yang terkesan lebih nyata dibandingkan foto yang sering ibunya tunjukkan. Menyedihkan. “Adnan bawa makan siang? Mau makan di kantin, Nak?” tanya Rayyan yang menghentikan Adnan bersama kawannya keluar dari kelas saat jam istirahat itu telah berdenting. “Eh, ada Pak Rayyan! Iya, Pak! Adnan sama Ciko mau makan di kantin sama temen-temen juga! Bapak mau ikut? Hari ini Adnan bawa ikan bakar buatan ibu, lho!” pekik Adnan bangga. “Adnan makan saja dulu bersama teman-teman, ya! Setelah makan, boleh bapak bertemu Adnan? Bapak ada sedikit pertanyaan untuk Adnan!” tanya Rayyan dengan wajah harap-harap
“Adnan anak yang pinter! Harus baik-baik jaga ibu dan adik Nadhin, ya! Harus patuh dan nurut sama ibu, jangan bikin ibu sedih, okei?” tutur Rayyan. “Siap, Pak!” Adnan pun lanjut melahap makanannya. Usai kotak makanan itu kosong tak bersisa, Adnan tampak meneguk minumannya seolah rasa haus telah minggat dari tenggorokannya. Kini kedua terlibat sunyi kembali. Beberapa siswa dan siswi tampak berlarian ke sana kemari, beberapa memainkan bola sepak, bola basket, dan memakan jajan kantin meskipun dengan berjalan. Adnan meluruskan kakinya sembari menggerak-gerakkannya pelan. “Pak Rayyan kalau kangen sama ayah dan ibunya Pak Rayyan, bapak ngapain?” tanya Adnan tiba-tiba tanpa menatap ataupun menoleh ke arah Rayyan. Pemuda itu pun ikut menyelonjorkan kakinya sebelum akhirnya mendongakkan kepala dengan mata tertutup. “Waktu kecil, bapak cuma bisa nangis dan marah sama Allah, Adnan. Kalau tidak begitu datang ke makam beliau dan memainkan tanah kuburannya sambil sesenggukan. Pak Rayyan kec
Rayyan berjalan guna kembali mencapai kantornya. Beberapa menit lagi ia mesti masuk ke dalam kelas untuk mulai kembali mengajar. Namun, dalam perjalanan menuju kantor itu, ponselnya terus saja bergetar. Bukan lagi pesan masuk melainkan panggilan telepon dari orang yang sama. “Baiklah, ini terakhir kalinya, Regina!” pekiknya lirih lalu menekan tombol terima untuk panggilan teleponnya itu. [“Halo, Sayang? Kenapa kamu jadi susah sekali aku hubungi? Kamu masih marah sama aku, Yang? Maafin aku ya, Sayang! Kamu masih sayang ‘kan sama aku, Yang?”] cerocos wanita bernama Regina dari seberang. Wajah Rayyan mengeras, ia mendengus keras berharap wanita yang meneleponnya itu menyadari suasana hatinya yang enggan diganggu itu. “Hubungan kita sudah berakhir sejak malam itu, Regina. Berhenti menghubungiku apalagi memanggilku dengan sapaan paling menjijikkan itu. Aku menyesal pernah mengenal wanita sepertimu!” sergah Rayyan. [“Rayyan! Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Malam itu hanya insiden,
Beralih dari Rayyan yang akhirnya meninggalkan Regina di tempat parkir itu, kini Adnan asik menata meja ruang tamu dengan beberapa buku matematika yang akan ia gunakan untuk bertemu Rayyan nanti malam. “Pak Guru jadi datang, Nak?” tanya Nadina sembari menurunkan beberapa map cokelat ke meja yang sama dengan meja Adnan. Adnan mengangguk semangat. Meskipun hari masih sore dan ia harus segera bersiap untuk kelas pondoknya, ia telah mempersiapkan semua peralatan untuk jam malamnya bersama Rayyan nanti. “Pak Rayyan datang jam berapa, Sayang? Adnan tetap ikut kelas? Hafalannya bagaimana?” tanya Nadina berusaha selembut mungkin berharap sang anak tak merasa terintimidasi. “Adnan tetap masuk kelas kok, Bu! Ini Adnan sudah siap mau berangkat! Nanti Adnan juga akan setoran ke Ustadz Abdul! Baru deh malamnya Pak Rayyan ke sini!” terang Adnan masih dengan semangat yang sama. Nadina mendekati putranya lalu memangkunya dan menyentuh ujung hidung anaknya serta sedikit tersenyum. “Adnan tidak c
Nadina menghentikan kakinya yang telah bersiap melangkah untuk memasuki dalem. Dengan perasaan sedikit canggung dan kebingungan, Nadina sebentar melihat ke arah Rayyan sembari bertanya. “Apa, Pak?” Rayyan sebentar meneguk ludahnya lalu mengikat kedua tangannya di belakang punggung dan mencoba berdiri dengan terlihat tegap. “Jika saya dan almarhum Nadhif seumuran, itu artinya saya dan Ibu Nadina kurang lebih berusia sama. Bisakah jangan memanggil saya dengan sebutan ‘pak’? Saya juga tidak akan memanggil Ibu Nadina dengan sebutan ‘ibu’ lagi.” Nadina tampak sedikit mengerutkan dahinya, ia ragu dengan maksud tujuan Rayyan meminta hal itu padanya. Nadina mulai berpikir jika Rayyan mengira Nadina merasa Rayyan tua hingga mesti disebut sebagai ‘pak’ padahal kenyataannya, Nadina memanggil Rayyan dengan sebutan itu untuk menghormati posisi Rayyan sebagai guru dan wali kelas putranya, Adnan. “Maaf, Pak Rayyan jika sebutan saya ini sedikit kurang nyaman untuk anda. Tetapi hanya itu yang bis
Beberapa hari setelahnya, Rayyan masih sesekali datang untuk mengajari Adnan. Kedekatan Adnan dan Nadina pun berangsur kian akrab meskipun Nadina masih saja dingin. Namun sikapnya sudah lebih melembut daripada pertama kali bertemu dengan pemuda itu. Suatu hari, Nadina berencana untuk pergi ke salah satu swalayan untuk membeli beberapa keperluan tambahan dan belanja bulanan untuk dapur dalem. Berbeda dengan bukan lalu, kali ini Nadina memilih untuk pergi sendiri. Aminah menjaga Nadhin bersama Adnan di dalem. Menurutnya itu akan lebih aman untuk kedua anaknya daripada mengajak mereka ke swalayan yang ramai, bising, dan penuh risiko jika terpisah dari salah satunya. “Kilas berita! Jalan utama Merdeka mengalami macet total dikarenakan sebuah kampanye oleh salah satu komunitas pencinta lingkungan hidup. Oleh karenanya aparat kepolisian membuka jalur baru untuk menghindari semakin membengkaknya kemacetan!” Suara radio mobil itu membuat Nadina seketika mendengus. “Astaga, kenapa harus ha