Mobil Nadina berhenti di sebuah pemakaman umum pinggir kota. Keduanya segera turun dari mobil dan sejenak menarik napas sebelum melangkahkan kakinya untuk memasuki kawasan penuh nisan bernama itu. “Mbak Nadina masih hafal posisinya? Apalagi ini sudah tujuh tahun sejak kematiannya. Pasti sudah banyak makam-makam baru, ‘kan?” tanya Melati saat keduanya mulai mengawasi tanah yang akan mereka pijak. “Aku dan Mas Nadhif masih sering kemari setidaknya dua bulan sekali. Tetapi setelah kematiannya, aku tak terlalu sering datang kemari. Terakhir kali aku kemari satu tahun yang lalu. Jadi kuharap perubahannya tak akan begitu kentara,” ujar Nadina. “Ahh, iya ‘kah? Wah, tetapi kenapa Mbak Nadina dan almarhum Gus Nadhif masih sering datang kemari? Maksud Melati, ya Melati tahu kalian orang baik, tetapi lokasi ini juga cukup jauh dari pondok ‘kan? Perlu kurang lebih empat puluh menit untuk kemari. Kenapa repot-repot?” tanya Melati panjang. Nadina diam sebentar, langkahnya pun berhenti. Ia meman
“Mungkin karena aku sudah lama tidak mengunjunginya, Mel!” sahut Nadina sekenanya. “Masyaallah, Mbak Nadina!” pekik wanita paruh baya itu. Sebut saja Rukmi namanya. “Assalamualaikum, Bu Rukmi!” pekik Nadina segera berjalan menuju wanita yang tampak terkejut dan antusias itu. Melati pun segera mengeluarkan kotak roti yabg memang mereka beli untuk Ibu Rukmi dari dalam mobil lalu menyerahkannya kepada sang penerima. “Ya Allah, Mbak! Kenapa repot-repot! Jenengan—kamu, datang kemari saja sudah membuat saya senang! Tidak perlu repot-repot membawa buah tangan!” pekik Rukmi tak langsung menerima sodoran kotak roti dari Melati. “Mboten—tidak, repot kok, Bu! Saya senang bisa bertemu ibu lagi. Lagi pula ini hanya sedikit, diterima nggih, Bu!” ujar Nadina mengambil alik kotak roti itu dari tangan Melati lalu menyerahkannya ke tangan Rukmi. “Alhamdulillah, terima kasih, Nak!” pekik Rukmi. “Ayo, ayo masuk dulu! Tapi maaf, seperti biasa rumah ibu ya begini kecil dan kumuh!” pekik Rukmi sembari
Mobil Nadina kini berhenti di pelataran pondok. Namun mata Nadina langsung menangkap sebuah mobil yang sedari tadi pagi memang ada di sana. “Pak Rayyan belum pulang juga, Mbak! Sepertinya memang menunggu Mbak Nadina, deh!” pekik Melati. “Bantu aku membuat alasan, Mel! Jujur saja aku tidak ingin bertemu dengannya saat ini. Aku tak siap mesti bersikap seperti apa padanya,” ujar Nadina terdiam dengan sabuk pengaman yang masih menempel. “Kenapa terus dihindari, Mbak? Kalau bukan hari ini, besok mungkin dia akan datang lagi. Semua akan seperti itu, kembali terulang. Kalau saran Melati, jangan dihindari lagi, Mbak. Temui saja beliau,” ujar Melati. “Begitu, Mel? Tetapi harus seperti apa aku nanti?” tanya Nadina kini menundukkan kepalanya. “Ehm, biasa saja. Jangan memberikan perlakuan spesial. Namun juga jangan memberikan perlakuan tak baik. Bersikap saja dia tamu yang patut dihormati.” Nadina menarik napas panjang lalu mengangguk ke arah Melati. “Baiklah. Oiya, jangan lupa rotinya, Mel
Nadina mencoba tenang menghadapi apa yang akan Rayyan sampaikan setelah ini. Entah secara terang-terangan ataupun secara implisit, Nadina terus memaksa diri untuk menegaskan keputusannya tentang kesendiriannya itu. “Jujur aku bingung harus mengatakannya dari mana dan seperti apa, Nadina. Tetapi aku harap kamu akan bisa dengan mudah memahami maksudku ini,” ujar Rayyan. “Tidak apa, Rayyan. Sampaikan saja dulu,” ujar Nadina mempersilakan sembari mengangguk kecil. Rayyan menarik napas panjang, ia bahkan sedikit mengatur posisi duduknya dan cara pandangnya kepada Nadina saat itu. “Aku tahu jika ini akan sangat sulit, entah untukmu atau untukku Nadina. Tetapi ada hal yang berada di luar kendaliku. Aku tak bisa mengaturnya sedemikian rupa hingga sesuai mauku atau sesuai situasi yang ada saat ini.” Rayyan menyatukan kedua tangannya yang bersangga pada kursi yang ia duduki itu. “Maaf jika aku lancang untuk mengatakan ini, Nadina. Tetapi aku rasa aku telah menaruh hati padamu, ada rasa lai
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “