“Ibu! Kenapa ibu seperti seolah hendak mengatakan Nadina tidak memiliki teman? Tentu teman Nadina, Bu! Tak akan lama kok! Mas Nadhif juga bisa menemani ibu di sini untuk beberapa saat. Ya ‘kan, Mas?” sela Nadina mencari pembelaan. “Iya, Bu! Tidak apa-apa, mungkin Nadina sangat merindukan kawan-kawannya itu.” Nadhif tersenyum memandang Khoiri. Sementara itu, Khoiri balas tersenyum getir kepada sang menantu. Beberapa saat setelahnya, Nadina yang tengah mengatur hijabnya di depan kaca kamar dikejutkan dengan kedatangan Khoiri yang langsung menutup pintunya. “Nadina, kawan mana yang kamu maksud, Sayang? Kemarin sebelum pernikahan kamu bilang mereka semua sedang bekerja di luar kota?” terang Khoiri. “Ibu, teman Nadina itu banyak sekali! Bukan hanya yang itu saja. Ibu tidak perlu khawatir seperti itu, ah! Dia orang yang baik kok! Sangat baik, malah!” pekik Nadina sambil tersenyum. Wanita itu tampak terus memoles bibirnya dengan pewarna merah redam. Dan tersenyum di depan kaca seolah me
Di dalam kafe sana, Nadina langsung bernapas lega saat melihat mobil Nadhif telah keluar dari pelataran parkir kafe tersebut. Berulang kali ia mengucapkan terima kasih kepada keempat wanita itu karena telah membantunya, juga memesankan makanan untuk mereka semua. Saat sedang menunggu makanan tiba, Sadewa datang menghampiri Nadina ke meja tersebut. Seluruh wanita asing itu sedikit melirik siapakah pemuda yang kali ini mendekati Nadina lagi. Namun dengan lantang Nadina malah memperkenalkan Sadewa pada mereka. “Ehm, sekali lagi terima kasih, ya! Kalian bisa menikmati makanannya. Tenang saja aku yang akan membayarnya. Aku permisi dulu, ya!!” pekik Nadina lalu menggandeng Sadewa pergi dari sana tanpa keraguan. “Mereka siapa, Nadina?” tanya Sadewa sambil menoleh ke arah empat wanita itu bahkan saat Nadina telah menariknya pergi. “Ceritanya panjang, Mas! Kita cari tempat duduk saja dulu, ya!” pekik Nadina. “Bagaimana jika di dalam saja? Akan lebih tertutup dari depan. Aku takut jika Mas
Jantung Nadina berdegup semakin cepat. Bagaimana bisa foto antara dirinya dan Sadewa akan dipasang di mading sebuah kafe umum yang didatangi banyak orang? Bagaimana jika Nadhif atau keluarga pondok lain mengetahui tentang pertemuan rahasia antara dirinya dan Sadewa itu? Terlebih gaya berfoto Sadewa yang merangkul Nadina membuatnya kian ketakutan. “Nadina, apa kamu mau aku meminta mereka membatalkannya? Mungkin mereka bisa mengambil foto pemuda dan pemudi lain? Mungkin dengan begitu kamu tidak akan merasa cemas,” ujar Sadewa yang tampak memahami kebisuan Nadina semenjak ia menyadari apa yang akan terjadi. Nadina sebentar terbata sambil kembali menghadapkan duduknya ke arah Sadewa. Wanita itu sebentar memejamkan matanya sambil menekan jarinya berusaha memikirkan keputusan yang tepat untuk masalah ini. “Aku akan pergi ke kasir sekarang!” putus Sadewa lalu dengan cepat bangkit dari kursinya. Namun, entah apa yang Nadina pikirkan, wanita itu malah menarik tangan Sadewa dan membuat pemu
“Apa, Mas?! Mas mau aku mengakui itu!? Kita tidak pernah melakukannya! Mas memintaku berbohong?! Bagaimana jika mereka mulai membicarakan dan menghitung kapan anak itu akan hadir?!” sergah Nadina. “Bukan tidak, Nadina. Tapi belum. Kita sepasang suami istri dan lambat laun itu akan terjadi entah bagaimana caranya. Dan meskipun telah melakukannya pun belum tentu Allah akan langsung memberikannya. Mereka akan memahami itu, Nadina.” “Sementara jika kamu menjawab kita belum melakukannya, apakah mereka tidak akan mulai berpikiran buruk tentang pernikahan kita? Lebih dari tiga malam kita telah menjadi suami istri dan kita tidak melakukan apa-apa? Yang benar saja Nadina. Mereka akan mengira kita sedang berada dalam masalah meskipun baru saja menikah.” “Biarkan! Biarkan mereka tahu! Biar mereka tahu jika tidak ada yang bahagia dalam pernikahan ini! Pernikahan ini palsu!” pekik Nadina. Nadhif perlahan menghentikan mobilnya di tepi jalan. “Istigfar, Nadina. Tidak ada akad yang bisa dibatalk
Gelak tawa meletus di antara mereka. Nadina hanya bisa tersenyum pahit mengiringi tawa mereka. Dalam hatinya ia terus mengumpat dan berharap mereka tak akan menanyakan hal itu lagi. Namun bukan sebuah keluarga jika melewatkan hal sedalam itu untuk dibahas dan dikomentari. “Hei, jangan tertawa saja. Katakan! Bagaimana? Tidak mungkin kalian hanya berdiam diri selama sekian hari kalian telah bersama bukan?” imbuh lainnya. “I– iya, Mas Nadhif melakukannya dengan baik!” sahut Nadian tampak amat canggung. “Ahh, lihatlah! Dia bahkan memuji suaminya!” kekeh lainnya. Wajah Nadina langsung berubah panik. Ia langsung merutuki jawabannya yang terdengar amat aneh dan mengerikan itu. “Bu– bukan seperti itu! Maksud Nadina, Mas Nadhif ya! Ya Mas Nadhif telah memberikan semuanya dan bersikap amat baik. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan apapun!” sela Nadina berusaha memperbaiki ucapannya. Namun seperti daun yang telah tertiup angin, tak akan bisa kembali dengan keadaan yang sama seperti sebelum
Nadina yang sedari tadi masih memandangi pecahan kaca pigora itu, akhirnya ia memindah pandangannya. Namun dirinya tercekat, jantungnya serasa berhenti berdetak, semua gerakannya membeku.“Mm– Mas Nadhif?” lirih Nadina memandang Nadhif yang hanya diam memandangnya getir lalu beralih pada seluruh kaca yang berserakan di lantai.Nadhif tak membalas, pemuda itu segera menutup pintu kamarnya lalu berjalan ke arah pigora pecah yang berada tepat di bawah kaki Nadina.“Apa yang terjadi padamu, Nadina? Mengapa harus menghancurkan foto kita berdua?” tanya Nadhif tanpa menatap Nadina.Perasaan Nadina campur aduk. Awalnya ia merasa puas bisa menghancurkan pigora foto itu, namun saat mendengar pertanyaan Nadhif itu jantungnya serasa hendak terlepas, hatinya serasa teriris-iris. Terlebih mata Nadhif yang tak dapat berbohong, terdapat kekecewaan besar yang tergambar pada mata pemuda itu.“Nadina, apa dengan menghancurkan foto kita pernikahan kita akan berakhir?” imbuh Nadhif kini menatap Nadina dal
“Nadina, saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu sekhawatir ini,” lirih Nadhif saat melihat wajah cemas Nadina menjadi raut utama di wajahnya. “Mas Nadhif seperti ini karena Nadina, Nadina minta maaf. Sebentar Nadina ambilkan obat merah!” pekik Nadina lalu bangkit dan berjalan hati-hati ke arah kotak P3K yang ada di dekat lemari. Nadina dengan segera mengobati luka Nadhif lalu membalutnya dengan penutup luka berwarna cokelat muda itu. “Terima kasih, Nadina! Maaf sudah merepotkanmu,” lirih Nadhif. “Jangan bilang seperti itu,” sahut Nadina. Singkat cerita, akhirnya usai mereka selesai membersihkan seluruh pecahan kaca itu, mereka kembali ke ruangan pertemuan itu bersama-sama. Nadhif masih memegang tangan Nadina sebagai bentuk penjagaannya untuk sang istri yang mungkin merasa kembali cemas. “Jangan berjauhan dengan saya, Nadina. Kita makan bersama, saya akan menjagamu.” Nadhif berbisik tanpa menoleh ke arah Nadina. Seluruh keluarga langsung memandang ke arah datangnya Nadhif dan Na
Sore itu, usai melaksanakan sholat ashar di masjid besar pondok, Nadina dan Nadhif memutuskan untuk berkeliling area pondok bersama. Baru saja kaki mereka menapak keluar area masjid, para anak kecil langsung menghampiri Nadhif dan Nadina juga menyalami keduanya. Ada yang berbeda kali ini, jika pertama kali saat kedatangannya kemari disambut anak kecil ia sedikit kesal, kali ini Nadina lebih mampu menikmati kehangatan yang ada di sana. Ia benar menyapa para anak kecil itu dengan senyuman manis di wajahnya. “Gus sama Mbak Nadina mau ke mana?” tanya salah seorang anak kecil dengan hijab putih menutup kepalanya. “Hmm, ke mana, yah?” goda Nadina mencoel pipi si anak sambil melirik ke arah Nadhif yang tersenyum ke arahnya. “Haha, kakak lucu sekali! Masa tidak tahu hendak ke mana! Main ke rumah Alin aja, Mbak! Ibu Alin membuat es krim, lho! Enak sekali!!” pekik bocah berhijab putih bernama Alin itu. “Kedengarannya menarik,” tutur Nadina lalu menoleh ke arah Nadhif untuk bertanya apakah