Gelak tawa meletus di antara mereka. Nadina hanya bisa tersenyum pahit mengiringi tawa mereka. Dalam hatinya ia terus mengumpat dan berharap mereka tak akan menanyakan hal itu lagi. Namun bukan sebuah keluarga jika melewatkan hal sedalam itu untuk dibahas dan dikomentari. “Hei, jangan tertawa saja. Katakan! Bagaimana? Tidak mungkin kalian hanya berdiam diri selama sekian hari kalian telah bersama bukan?” imbuh lainnya. “I– iya, Mas Nadhif melakukannya dengan baik!” sahut Nadian tampak amat canggung. “Ahh, lihatlah! Dia bahkan memuji suaminya!” kekeh lainnya. Wajah Nadina langsung berubah panik. Ia langsung merutuki jawabannya yang terdengar amat aneh dan mengerikan itu. “Bu– bukan seperti itu! Maksud Nadina, Mas Nadhif ya! Ya Mas Nadhif telah memberikan semuanya dan bersikap amat baik. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan apapun!” sela Nadina berusaha memperbaiki ucapannya. Namun seperti daun yang telah tertiup angin, tak akan bisa kembali dengan keadaan yang sama seperti sebelum
Nadina yang sedari tadi masih memandangi pecahan kaca pigora itu, akhirnya ia memindah pandangannya. Namun dirinya tercekat, jantungnya serasa berhenti berdetak, semua gerakannya membeku.“Mm– Mas Nadhif?” lirih Nadina memandang Nadhif yang hanya diam memandangnya getir lalu beralih pada seluruh kaca yang berserakan di lantai.Nadhif tak membalas, pemuda itu segera menutup pintu kamarnya lalu berjalan ke arah pigora pecah yang berada tepat di bawah kaki Nadina.“Apa yang terjadi padamu, Nadina? Mengapa harus menghancurkan foto kita berdua?” tanya Nadhif tanpa menatap Nadina.Perasaan Nadina campur aduk. Awalnya ia merasa puas bisa menghancurkan pigora foto itu, namun saat mendengar pertanyaan Nadhif itu jantungnya serasa hendak terlepas, hatinya serasa teriris-iris. Terlebih mata Nadhif yang tak dapat berbohong, terdapat kekecewaan besar yang tergambar pada mata pemuda itu.“Nadina, apa dengan menghancurkan foto kita pernikahan kita akan berakhir?” imbuh Nadhif kini menatap Nadina dal
“Nadina, saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu sekhawatir ini,” lirih Nadhif saat melihat wajah cemas Nadina menjadi raut utama di wajahnya. “Mas Nadhif seperti ini karena Nadina, Nadina minta maaf. Sebentar Nadina ambilkan obat merah!” pekik Nadina lalu bangkit dan berjalan hati-hati ke arah kotak P3K yang ada di dekat lemari. Nadina dengan segera mengobati luka Nadhif lalu membalutnya dengan penutup luka berwarna cokelat muda itu. “Terima kasih, Nadina! Maaf sudah merepotkanmu,” lirih Nadhif. “Jangan bilang seperti itu,” sahut Nadina. Singkat cerita, akhirnya usai mereka selesai membersihkan seluruh pecahan kaca itu, mereka kembali ke ruangan pertemuan itu bersama-sama. Nadhif masih memegang tangan Nadina sebagai bentuk penjagaannya untuk sang istri yang mungkin merasa kembali cemas. “Jangan berjauhan dengan saya, Nadina. Kita makan bersama, saya akan menjagamu.” Nadhif berbisik tanpa menoleh ke arah Nadina. Seluruh keluarga langsung memandang ke arah datangnya Nadhif dan Na
Sore itu, usai melaksanakan sholat ashar di masjid besar pondok, Nadina dan Nadhif memutuskan untuk berkeliling area pondok bersama. Baru saja kaki mereka menapak keluar area masjid, para anak kecil langsung menghampiri Nadhif dan Nadina juga menyalami keduanya. Ada yang berbeda kali ini, jika pertama kali saat kedatangannya kemari disambut anak kecil ia sedikit kesal, kali ini Nadina lebih mampu menikmati kehangatan yang ada di sana. Ia benar menyapa para anak kecil itu dengan senyuman manis di wajahnya. “Gus sama Mbak Nadina mau ke mana?” tanya salah seorang anak kecil dengan hijab putih menutup kepalanya. “Hmm, ke mana, yah?” goda Nadina mencoel pipi si anak sambil melirik ke arah Nadhif yang tersenyum ke arahnya. “Haha, kakak lucu sekali! Masa tidak tahu hendak ke mana! Main ke rumah Alin aja, Mbak! Ibu Alin membuat es krim, lho! Enak sekali!!” pekik bocah berhijab putih bernama Alin itu. “Kedengarannya menarik,” tutur Nadina lalu menoleh ke arah Nadhif untuk bertanya apakah
Mendengar celetukan yang mengusik pertemuan kedua mata antara Nadhif dan Nadina, sepasang suami istri itu pun segera bangkit dari dekapan. Nadina tampak malu saat sedikit menjauh dari sang suami, sementara Nadhif pun sedikit merasa canggung. “Yahh, adegan romantisnya sudah selesai!” celetuk orang itu lagi lalu berjalan ke arah Nadhif dan Nadina. “Ehm, Abi Ghafi!” pekik Nadhif lalu segera menyalami pria paruh baya yang seusia abinya sendiri itu. Sementara Nadhif segera menyalami pria bernama Ghafi itu, Nadina hanya terdiam dan mengerutkan dahinya. Setelah semua acara yang ia jalani, tak sekalipun ia melihat pria itu. Usai bersalaman, Nadhif menoleh ke arah belakang dan melihat raut kebingungan terpancar di wajah Nadina. Ia sedikit melambai untuk meminta Nadina menyusulnya. Nadina berjalan kecil lalu hanya sedikit membungkuk dan menunduk sebagai ganti salamnya. “Ini istri Nadhif, Abi! Nadina Hafisa Rahmi. Nama panggilannya Nadina!” pekik Nadhif dengan bangga menyebutkan perkenalan
Nadina langsung memundurkan tubuhnya dan menegakkan pandangannya saat melihat lengan kirinya telah bersinggungan dengan lengan tangan orang lain. Matanya terkejut saat melihat seseorang yang berdiri di hadapannya kini. Sontak saja ia menoleh ke arah Nadhif. Dilihatnya sang suami masih sibuk membayar pigora pilihan mereka, Nadina segera menarik tangan orang di hadapannya itu menjauh dari pandangan Nadhif. “Eh, Nadina? Ada apa?” “Mas Dewa kenapa ada di sini?” tanya Nadina sambil terus melirik ke arah Nadhif. Sangat jelas ia amat takut jika sang suami mengetahui ia berada di sana bersama Sadewa. “Aku sedang menemui klienku yang menawarkan jasa suvenir untuk pernikahan, Nadina. Kamu datang kemari dengan Nadhif?” tanya Sadewa. Nadina mengangguk cepat. “Tapi bisa tidak, Mas Dewa jangan berkeliaran dulu di sini sebelum aku dan Mas Nadhif pergi? Sebentar lagi kami akan pulang kok!” pekik Nadina. “Mengapa begitu? Ini pertemuan yang tidak disengaja, Nadina. Mengapa harus bersembunyi dari
“Iya, Sadewa mencarimu kemari. Ada yang perlu ia bicarakan juga katanya. Kamu tentu tidak apa jika menemuinya bukan?” tutur Nadhif. Nadina tak bisa membalas. Ia hanya berdiam diri sampai akhirnya Sadewa menyadari keberadaan keduanya dan langsung berdiri dari sofa. “Nadina, hai!” pekik Sadewa dari tempatnya, Nadina melirik ke arah Nadhif yang memberinya kode untuk menemui Sadewa. “Mas Nadhif tidak ikut ke sana? Bukankah Mas Nadhif bilang tidak baik membiarkan Nadina bicara berdua saja dengannya?” tutur Nadina. “Saya ada di sebelah jika memang kamu membutuhkan saya. Saya sudah bilang kepada umi jika ada seseorang yang hendak menemuimu. Kamu tidak perlu khawatir akan disalahkan karena hanya berbincang berdua dengannya.” Nadhif berucap dengan tatapan datar yang dirasa Nadina sangat berbeda dengan Nadhif yang ia kenal. Akhirnya Nadina berjalan menuju Sadewa lalu duduk di hadapan pria itu setelah melihat Nadhif meninggalkan ruangan itu. “Hai, Nadina! Apa kabar? Apakah aku mengganggu pa
“Mas Nadhif bilang, Mas Dewa hanya menunggu satu jam dengan berbincang bersama dengan mas. Tetapi rupanya lebih dari satu jam? Sebenarnya berapa jam dia sudah menunggu Nadina di sana tadi, Mas?” tanya Nadina vegitu mengunci pintu kamarnya rapat. “Saya tidak pasti melihat jam berapa kedatangannya, Nadina. Saya sedang berbicara kepada seorang santriwan di depan dalem saat dia datang. Jadi saya hanya memperkirakan kapan kedatangannya. Memangnya ada apa? Dia mengeluh tidak suka berbicara dengan saya?’ sahut Nadhif kini membuat Nadina mengalihkan wajahnya. Wanita itu mendesah cukup panjang seolah tak puas dengan jawaban yang diberikan suaminya itu. “Mas Dewa kemari untuk mencari Nadina bukan? Lantas, mengapa Mas Nadhif tidak langsung memanggilnya saja? Kasihan jika dia terlalu lama menunggu,” tutur Nadina kemudian. “Dia datang terlalu pagi untuk bertamu terlebih menemui istri seseorang. Lagi pula saya suamimu ‘kan, Nadina? Sebenarnya ia bisa menitipkan pesan itu kepada saya untukmu. Ta