“Saya hanya ingin kamu yakin kepada saya, Nadina. Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Tidak seharusnya kita berprasangka buruk atas kedatangannya. Tetapi saya ingin kamu yakin jika saya akan selalu memilih kamu.” Nadina menarik napasnya panjang sebelum akhirnya mengangguk sembari menghapus air matanya. “Apakah saya bisa menandatanganinya sekarang?” tanya Nadhif. “Mas Nadhif belum menandatanganinya? Nadina pikir sore tadi mas sudah tanda tangani semua berkasnya,” ujar Nadina. “Belum, Nadina. Saya tidak bisa tenang menandatanganinya jika belum berbicara denganmu, Nadina.” Nadhif kembali menatap sang istri. “Sekarang Mas Nadhif bisa menandatanganinya, Nadina baik-baik saja,” ujar Nadina lalu menggeser bolpoin dan berkas itu ke dekat Nadhif. Pemuda itu tampak sebentar mengamati wajah Nadina yang sedikit memandangnya getir sebelum akhirnya mengisi kolom kosong di sana dengan tanda tangan miliknya. “Kenapa rasanya perih? Apa yang terjadi padamu, Nadina? Bukankah
Nadhif yang mendengar semua pengakuan santriwati itu seketika terkejut. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain diam di balik dinding dan mendengarnya. “Sudah ambil vlberkasnya? Ayo, Umi menunggu kita!” pekik suara santriwati itu lagi lalu langkah kaki meninggalkan ruangan kantor terdengar. Nadhif pun berjalan ke arah depan dengan perasaan yang bercampur aduk, langkahnya terasa gontai. Baru saja ia selesai menandatangani izinnya untuk membawa Putri Azalea kembali ke pondok, namun kenyataan yang ia dengar itu seakan memorak-porandakan perasaannya sendiri. “Tidak mungkin yang mereka katakan itu benar, bukan? Tidak mungkin Putri Azalea seperti yang mereka bicarakan. Saya yakin dia kembali ke sini untuk mengabdi kepada pondok, bukan hal lain terlebih apa yang dikatakan santriwati itu!” lirih Nadhif. Baru saja pemuda itu menenangkan dirinya dengan duduk di bangku kerjanya sambil meneguk minuman, Nadina muncul dari ambang pintu sembari mengucapkan salam. “Waalaikumsalam, Nadina. K
Nadina telah mengganti pakaiannya dengan model gamis sederhana berwarna pine yang tampak amat cocok dengan tubuh dan warna kulit wajahnya. Saat ia baru saja memasuki ruangan pemotretan, hanya ada Sadewa di sana yang tampak bersiap dengan kamera di tangannya. Salam wanita itu ucap sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Sadewa berbalik sambil menjawab salam yang Nadina berikan, seketika pemuda itu membeku, dilihatnya Nadina dari atas hingga bawah. Tak ada tatapan lain selain kekaguman. “Mengapa aku baru menyadari kecantikan Nadina? Oh sial, sadarlah dia sudah menikah, Sadewa!” batin pemuda itu. “Apa kita hanya akan berdua di sini, Mas?” tanya Nadina sembari memutar pandangannya ke sekitar. “Oh tentu tidak, Nadina! Timku yang memotretmu sedang mencari tambahan properti. Kita tunggu sebentar lagi, ya!” ujar Sadewa. “Ehm, maksud Mas Dewa? Bukankah yang memotret Nadina adalah Mas Dewa?” tanya Nadina sedikit kebingungan. “Awalnya begitu, Nadina. Tetapi Ibu Meydina meminta fotogr
Pemotretan akhirnya usai berbarengan dengan Nadhif yang tiba kembali ke butik untuk menjemput Nadina. Keduanya langsung berpamitan untuk pulang. “Bagaimana hari pertamamu, Nadina? Apa semuanya sesuai harapan?” tanya Nadhif. “Iya! Semua sesuai harapan dan bahkan lebih baik dibanding yang Nadina pikirkan. Intinya semuanya sempurna!” pekik Nadina bahagia. Nadhif sejenak tersenyum sembari melirik Nadina yang juga tampak amat bahagia itu. “Bagaimana dengan Mas Nadhif? Apakah ada kejadian di pondok? Atau sesuatu lainnya?” “Ada. Baru saja saya mengantarmu dan turun dari mobil, saya datang ke kamar dan mencarimu seperti orang bodoh. Itu terjadi terus menerus hingga Umi menemui saya dan bilanh jika kamu sedang berada di butik.” Tawa Nadina memenuhi mobil. Nadina bahkan sempat beberapa kali memukul pundak Nadhif menyadari betapa lucu suaminya itu. Mendengar tawa yang tulus keluar dari mulut sang istri, Nadhif pun balik tertawa. “Nadina bisa membayangkan bagaimana suara Mas Nadhif yang te
“Nadina, bangun, Nadina!” bisik Nadhif sembari sedikit mengelus rambut yang menutup wajah istrinya itu.“Nadina, sebentar lagi subuh, ayo bangun!” imbuhnya lagi saat tak melihat istrinya berusaha bangun dari rasa kantuknya itu.“Kenapa dia susah bangun kali ini? Biasanya alarm saja sudah bisa membangunkannya?” gumam Nadhif lalu meraih gelas minuman yang ada di nakas sebelah ranjangnya.Sambil menuangkan sedikit air itu ke telapak tangannya, Nadhif mengucapkan basmalah. Kini ia memercikkan air itu berulang kali ke wajah Nadina.“Mas, jangan!” teriak Nadina lalu langsung membuka matanya lebar-lebar. Nadhif yang terkejut atas apa yang terjadi pada Nadina segera mengembalikan gelas ke atas nakas dan memegang kedua bahu Nadina sambil memandangnya cemas.“Nadina, ada apa?” tanya Nadhif.Tak ada balasan yang keluar dari mulut Nadina, namun sejak mata mereka saling bertemu pandang, Nadina langsung memeluk Nadhif erat.“Nadina mimpi buruk. Tolong peluk Nadina sebentar saja,” ujar Nadina masih
Nadhif menghentikan langkahnya kembali meskipun tampak membalik tubuhnya lagi. Sementara itu, Putri Azalea tampak menyusulnya dan mendekatinya. Nadhif segera memundurkan dirinya dan membuat Putri Azalea merasa sedikit asing. “Apakah Abi dan Umi ada di dalem? Bolehkah Aza menemui mereka?” “Silakan saja, Aza! Sepertinya mereka ada di dalem saat ini.” Nadhif benar-benar mencoba menjaga jaraknya. Setiap kali pemuda itu melihat atau mendengar Azalea berbicara, ingatannya selalu memutar apa yang dua santriwati itu katakan mengenai Putri Azalea dan perasaan wanita itu kepadanya. “Bolehkah mengantar Aza ke sana, Gus? Aza sedikit canggung karena lama tak datang kemari! Gus tenang saja, ini tidak akan menimbulkan fitnah!” pekik Aza. “Lebih baik urus kedatanganmu dulu, Aza. Baru setelahnya kamu bisa datang menemui Abi dan Umi di dalem. Lagi pula barang-barangmu itu belum menemukan tempat yang pas bukan? Datanglah saja nanti, kamu tidak perlu terlalu asing.” “Maafkan saya, Aza! Ada keperluan
“Waalaikumsalam,” jawab Azalea sedikit lirih. Wajahnya benar-benar tak bisa bohong. Ia benar-benar terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat itu.“Wanita itu? Bukankah ia yang kutemui di kantor umum tadi? Mengapa Gus Nadhif berani menyentuh tangannya? Apakah ia saudara Gus?” tanya Azalea dalam hatinya.Nadhif dan Nadina tampak semakin dekat hingga keduanya berhenti di tengah ruangan itu bersama Ali, Aminah, juga Azalea.“Putri Azalea, ada yang ingin saya kenalkan kepadamu,” ujar Nadhif lalu tangannya tampak merangkul mesra Nadina dan sedikit mengelusnya.Tampang Azalea semakin kebingungan, kerutan pada dahi, mata yang menyipit jelas menunjukkan kebingungannya saat itu.“Nadina Hafisa Rahmi, istri saya, Aza!” pekik Nadhif.Bagaikan tersabar petir di siang bolong, Putri Azalea membulatkan matanya. Ia benar-benar tak menyangka pengakuan itu keluar dari mulut pemuda yang selama ini menjadi pemilik hatinya itu.“I–istri?” lirih Azalea tampak kaku.“Ayo duduk dulu, lebih baik berbinc
Nadina menurunkan teh itu di meja tepat di hadapan Ali, Aminah, Azalea, juga suaminya, Nadhif. “Mengapa hanya empat cangkir, Nadina? Ke mana milikmu?” tanya Aminah mendongakkan wajahnya memandang sang menantu. “Ehm, Nadina hendak pamit umi. Ada sesuatu yang harus Nadina kerjakan di kantor umum. Kalian lanjutkan saja bersama, Mas Nadhif juga akan tetap di sini kok! Iya ‘kan, Mas?” Nadina menoleh ke arah Nadhif. Dengan jelas Nadhif mengerutkan keningnya, pemuda itu mulai menelisik tatapan sang istri padanya. “Apa?” lirih Nadhif tanpa bersuara. “Mas di sini saja dulu menemani Abi dan Umi, Nadina pamit ke kantor umum dulu, ada pekerjaan yang belum Nadina selesaikan semalam,” tutur Nadina sambil sebentar memundurkan dirinya. “Assalamualaikum!” pekik Nadina lalu berbalik meninggalkan sang suami juga dengan keluarganya dan Azalea yang masih berada di sana. “Apa-apaan ini Nadina? Kenapa tiba-tiba kamu pergi seperti ini?” batin Nadhif sembari memandang ke arah kepergian Nadina. Pembicar