Citra
Aku terkesiap bangun saat merasakan hawa dingin di sekujur tubuh, dan saat membuka mata kulihat jendela masih terbuka padahal di luar sudah gelap. Karena merasa tak nyaman, aku segera menutup jendela dan meraih ponsel untuk melihat jam berapa sekarang.
“Oh, udah jam delapan malam…” gumamku sambil meletakkan ponsel kembali di dekat bantal.
Aku harus mandi, tubuhku terasa sangat lengket dan tak nyaman walaupun tidur dengan AC, tak berkeringat. Mungkin karena badanku yang mulai terasa berat, mudah gerah dan lipatan-lipatan tubuhku pun sering lecet.
Aku sempat khawatir, tetapi saat kubaca di internet katanya hal itu sangat wajar bagi ibu-ibu yang menginjak trimester dua.
Tak apa, aku menjalaninya dengan bahagia. Yang terpenting anakku bisa tumbuh dengan baik dan sehat.
Kamar mandi ada di dalam kamar, aku tak perlu keluar untuk mandi atau sekadar buang air kecil. Tetapi pakaianku bagaimana ya? Tadi Martha bi
RakaPerjalanan sehari semalam menuju ke kota asal membuatku setengah gila, kelelahan yang ditambah dengan ketegangan yang kurasakan, membuat aku nyaris tumbang di tengah jalan. Reza berulang kali bertanya kondisiku, bertanya ini itu yang sebenarnya tak perlu ditanyakan.Aku tak keberatan walaupun agak kesal, setidaknya dia peduli dengan kondisi yang kurasakan saat ini.“Langsung ke rumah sakit, pak?”“Iya.” Sahutku pendek, sambil menatap layar ponsel yang menyala.Lockscreennya kosong, hanya gambar bawaan dari pabrik karena aku menghapus wallpaper yang tadinya kupakai terus menerus. Foto Maureen bersamaku, satu-satunya foto kami berdua yang aku miliki.Aku sangat menyukai foto itu, sampai-sampai kupakai terus menerus sepanjang tahun. Tak pernah merasa bosan, tak pernah merasa harus menggantinya sama sekali apapun yang terjadi. Karena aku benar-benar menyukai gadis itu.Rambut pirangnya yang berki
RakaSetelah penolakan yang kudengar dari papanya Maureen—yang ternyata bukan ayah kandungnya, aku hanya bisa terdiam sambil memandangi gadis itu dari balik kaca. Ia mengenakan baju pasien berwarna biru, kepalanya dibebat dengan perban, ada memar dan lecet di wajahnya yang cantik. Perutnya sekarang rata, seperti sebelumnya.Bayi yang selama ini ia kandung dikeluarkan paksa, karena sudah meninggal dalam kandungan akibat kecelakaan itu.Aku masih bertanya-tanya, seperti apa kecelakaan yang terjadi. Di mana? Sedang apa? Mau ke mana? Semua pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku. Tak ada cemburu, walaupun kecelakaan itu terjadi ketika Maureen tengah bersama dengan Jonas. Lelaki berengsek yang membuatku benci setengah mati dengan hidupku sendiri.Iya, aku benci hidupku sendiri karena dia ada di dunia ini.Karena Jonas membuat aku terlihat menyedihkan di mata orang-orang yang kukenal, di depan mama dan ayah, di depan Maureen. Lihat sa
CitraKutatap pantulan wajahku di cermin, pipiku jadi berisi dan agak bulat. Lalu kumundurkan sedikit tubuhku untuk melihat bagaimana rupa seluruh tubuhku. Perut yang membuncit, kaki yang mulai bengkak, dan kulit bagian bawah perutku juga mulai terasa gatal yang tak tertahankan.“Sebentar lagi kita ketemu, nak.” Bisikku pada si kecil di dalam perut, ia bergerak sedikit.Aku sangat senang merasakan respon si kecil. Bisa kurasakan gerakannya halus di bawah telapak tangan yang kuletakkan di atas perut. Jagoan kecil yang kunanti-nanti, maafkan mama yang tak bisa memberikan keluarga utuh untukmu.Tetapi walaupun begitu, mama berjanji akan memberikan kasih sayang yang melimpah untukmu dan mama pastikan kamu tak akan merasa kesepian di dunia ini. Kita berdua akan bersama-sama terus.“Citra, kamu di dalam?”Terdengar suara Martha di depan pintu, entah kenapa aku merasa sedikit khawatir tiap kali me
CitraSetelah mendengar anak-anak café akan datang ke rumahnya, Martha sangat semangat memasak di dapur. Ia membuat Choi pan, pao isi pasta kacang merah, dan membuat es teler. Aku kagum karena semua bahan yang dibutuhkan ada di dalam lemari es milik Martha. Sepertinya perempuan nyentrik itu memang selalu menyetok semua bahan-bahan masakan di rumah, jadi saat mau memasak apapun, bahannya selalu ada.“Jangan kecapekan, ingat kehamilanmu!”“Iya, aku enggak capek kok. Aku malah senang banget.”“Iya. Tapi setelah selesai menyiapkan alat makan, duduklah.”“Tapi aku belum capek…”“Citra! Kubilang sudah, sudah! Kamu itu sedang hamil dan aku mau kamu istirahat! Aku paling tahu kondisi ibu hamil, dan aku enggak mau kamu kecapekan lagi!”Aku tak bisa menyela lagi, aku juga tidak mau membuat Martha semakin marah kepadaku. Memang maksudnya baik, ia ingin aku le
RakaAku sudah tak tahan lagi, hidupku sudah cukup susah sekarang, ditambah harus mengurus Maureen yang cacat. Aku memang dulu ingin hidup serumah dengannya, tetapi saat aku maish cinta padanya dan dia juga masih normal!Kalau sudah cacat begini, siapa yang mau?Aku bukan lembaga amal.Aku cuma lelaki biasa yang mendambakan cinta, aku hanya ingin memiliki seseorang yang benar-benar jadi milikku sendiri.Bukan seseorang yang harus kubagi dengan orang lain.Sejujurnya aku kesepian.“Rakaaaa! Aku lapaaar!”Kututup telingaku rapat-rapat, sudah sejak tadi Maureen berteriak-teriak padaku meminta makan. Tetapi aku tak bisa berikan apapun padanya karena tak tahu bagaimana cara memasak. Untuk membeli makanan jadi aku juga tak bisa, sebab harus menghemat uangku lebih lama.“Raka! Gerah banget sih di sini? Kenapa pake kipas angina? Aku maunya pake AC!”Teriakan Maureen masih saja bisa ku
CitraLola membawaku ke salah satu sudut rumah yang sepi, tidak ada orang yang melihat aku dan dirinya di sini. Si kecil dalam rahimku gelisah, seolah merasa ada sesuatu yang akan terjadi ketika gadis di hadapanku ini mulai bertingkah aneh.“Ada apa?” tanyaku segera, sambil menempelkan punggungku di dinding, waspada dengan segala pergerakan Lola. Apapun bisa ia lakukan saat ini. Walau dia memang tak pernah menyakiti aku secara langsung, tetapi setidaknya aku tahu jika dia gadis yang nekat. Aku tak boleh gegabah.“Puas kamu caper di sini, hah?”“Caper?”“Iya caper! Kamu sengaja kan sok lemah supaya orang-orang pada khawatir, terus cuma merhatiin kamu doang?!”Aku paham, ternyata Lola sedang melabrakku seperti anak-anak skeolah yang baru mengenal cinta dan rebutan lelaki. Aduh, bukan levelku seperti ini. Masalah hidupku jauh lebih pelik dibandingkan cuma caper pada orang lain demi p
Malaikat Kecil yang Memanggilku MamaCitraKepalaku terasa di awang-awang, sekelilingku terlihat gelap dan sangat sunyi. Tubuhku seolah sedang diayun dengan menggunakan sebuah ranjang raksasa. Aku sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.Ah, tapi aku sudah familiar dengan hal ini.Aku sudah beberapa kali mengalami masa-masa seperti ini, tubuh terasa melayang di ruangan besar yang luas dan gelap, juga dingin sampai tubuhku terasa menggigil parah.Sekalipun tak bisa mendengar apapun, tak bisa melihat apapun dan tak bisa merasakan apapun selain rasa dingin yang begitu menggigit. Aku bisa ingat apa yang sebelumnya terjadi padaku, kontraksi parah sampai ada cairan yang merembes dari bagian bawah tubuhku.Apakah itu air ketuban?Aku pernah membaca air ketuban itu deras seperti air kencing, dan saat pecah akan terasa seperti balon berisi air yang meletus. Tetapi tadi airnya merembes, a
Citra terpaku mematung, ia hanya bisa menatap lelaki yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang tidak percaya. Raka—lelaki yang baru datang itu, juga menatapnya balik dengan tatapan yang aneh.Bayi di pelukan Citra menggeliat dan mulutnya terbuka mencari-cari susu. Tetapi gadis mungil dalam pelukannya itu tidak menangis, hanya sedikit bersuara seolah tak mau membuat suasana semakin panik.“Mau apa kamu kesini?” tanya Jalu, ia terlihat tidak suka pada Raka.“Ja-Jalu…itu…dia suamiku,” ujar Citra terbata, walaupun ia tidak mengharapkan kedatangan lelaki itu, setidaknya Jalu tidak perlu salah sangka dengan mengira bahwa Raka adalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke ruang rawat inapnya.Jalu menoleh ke arah Citra sekilas, kemudian kembali menatap mata Raka lekat-lekat,“Iya aku tau, dia adalah lelaki enggak bertanggungjawab yang enggak pantas menjadi suami, apalagi menjadi seorang a