"Aku tidak suka kebohongan, kamu tahu, kan?" nada menekan Risti tertuju lekat di netra milik Munos."Siapa yang berbohong sayang, itu maksudnya adalah milik keponakan mamah, sepupuku Nabila, tadi pagi aku mengantarkannya ke dokter kandungan." Munos beralasan tanpa berani menatap Risti.Risti menatap lekat disana, sedikit ragu."Oke ... kita telpon Nabila sekarang ya." Munos memencet no hp Nabila sepupunya, sebuah kebetulan Nabila memang sedang hamil."Tidakk perluu, aku percaya," sahut Risti akhirnya. "Hhhiiuuff...hampir saja." Munos berucap lega dalam hati, lalu melanjutkan fokus dengan riuh jalanan di ibu kota.Mata Risti tak dapat terpejam, pikirannya melayang jauh, tak lama lagi ia akan melepas status jandanya namun masih ada yang mengganjal dengan perangai Munos hari ini, dan obat itu."hhhhmm ... entahlah aku harus benar percaya atau tidak." Risti memandang lemas benda pipih yang berlogo apel digigit, saat benda itu bergetar.Ddrrtt..ddrrtt..Karin."Bagi tips bagaimana agar bi
"Percayalah Mah, insya allah pilihanku sudah tepat, Mama tahukan aku mencintai Risti sudah lama dan sekarang saatnya aku memiliki dia." Munos menatap wajah ibunya penuh kesungguhan."Baiklah, jika itu keputusanmu." Bu Sundari menarik nafas panjang."Oh ya Mama hari ini akan ke Bandung, bertemu dengan orang percetakan yang akan membuat undangan untuk pernikahanmu."Baiklah Mah, aku percayakan semuanya pada Mama, aku yakin pilihan Mama terbaik dan Risti pasti tak menolak."Menjelang siang, Bu Sundari sampai di Bandung dan langsung menuju Athayya Advertising."Silahkan duduk Bu," ajak Bambang mempersilakan sambil menyunggingkan senyum.Bu Sundari membalas senyumannya."Saya Bambang, yang akan mengerjakan design undangan pesenan Ibu.""Saya memang request ke teman kamu, supaya kamu yang mengerjakannya, sesuai dengan rekomendasi yang diberikan teman-teman arisan saya." puji bu Sundari sambil tersenyum hangat."Wah, Alhamdulillah kalau teman-teman ibu puas dengan hasil kerja kami," sahut Ba
Bambang dan Fani duduk di meja makan minimalis itu. Tampak Bambang hanya mengaduk-ngaduk teh yang dibuatkan oleh Fani."Hhmmm..jadi..apa yang akan kamu lakukan, Bang?" tanya Fani dengan suara sangat pelan."Tak ada, aku akan tetap membuat design undangan untuk Mbak Risti, anggap saja ini kado untuk mereka, apapun yang aku lakukan takkan mampu menghapus kesalahanku di masa lalu, dan aku tak ingin membuat Mbak Risti terluka lagi. Mungkin dia bisa bahagia bersama Munos," ucap Bambang datar tanpa ekspresi, matanya masih merah dan hidungnya sedikit berair. Seketika mata Bambang menatap wajah Fani yang pucat ada rasa kasihan tersirat di hatinya."Apakah kamu yakin takkan minta pertanggung jawaban Munos?" kali ini Bambang yang balik bertanya pada Fani. Wanita itu menggeleng dengan keras."Aku dan bayiku bisa mati Bang. Tidak-tidak! aku tak mau tahu lagi tentang dia, terserah dia mau apa!" cicit Fani dengan mata berair."Tapi bagaimana kamu menghidupi anak-anakmu tanpa seorang ayah? " "Enta
Risti mengampiri Bambang dengan tenang, padahal jantungnya juga serasa maraton."Sudah lama?" tanyanya sambil menyunggingkan senyum manis."Mmm ... lumayan Mbak, saya kirain siapa, benar kata Lala dan Lulu Mbak tambah cantik tertutup hijab seperti ini," puji Bambang tulus.Wajah Risti merona, lalu cepat membuang wajahnya takut terlihat oleh Bambang."Saya dengar, Mbak, bulan depan akan menyusul Mbak Karin ya, selamat ya Mba, saya turut berbahagia." ekspresinya ditahan sedatar mungkin, matanya tak berani menatap Risti yang masih terpaku di depan Bambang."Saya sungguh menyesal akan masa lalu, seandainya bisa saya ulang kembali, tentu sekarang kita sudah bahagia." Raut wajah Bambang murung, penuh penyesalan."Yang lalu biarlah berlalu Bang, aku sudah lama memaafkanmu." ucap Risti tulus."Apakah saat ini, cinta itu masih ada buat saya?" entah apa yang membuat Bambang mengeluarkan pertanyaan yang membuat Risti mematung dan berkeringat, Risti meremas jarinya untuk menghindari kegugupannya.
"Kamu yakin baik-baik saja, Fan? wajahmu terlihat sangat pucat." Bambang menatap khawatir wajah Fani."Aku baik-baik saja, jangan khawatirkan aku," lirihnya"Aku akan membuat teh sebentar." Fani mencoba bangkit dari kursi kerja, namun kepalanya berputar dan Fani kembali terduduk di kursinya."Susi, jika ada tamu bilang aku keluar sebentar," ucap Bambang saat melihat Susi yang tengah memperhatikan Bambang dan Fani.Bergegas Bambang memapah Fani masuk ke dalam mobil kijangnya untuk segera sampai ke rumah sakit terdekat."Semoga mereka baik-baik saja di sana," ucap Bambang sarat kekhawatiran lalu melihat ke arah perut Fani."Ya Allah beginilah dulu Risti saat aku tinggalkan, kesakitan dan lemah. Aku benar-benar suami tak berguna!" umpatnya dalam hati, sembari memperhatikan wajah Fani yang tertidur lelap sepanjang perjalanan.Tak perlu antri terlalu lama untuk mendapat giliran masuk ke ruangan dokter kandungan."Silahkan, istrinya langsung naikkan ke tempat tidur Pak," ucap ibu dokter.B
Sepekan kemudian.Malam sebelum besoknya pesta pernikahan Risti dan Munos berlangsung. Bambang sudah berada di hotel tempat acara akan berlangsung. Tak tanggung-tanggung, Bu Sundari memberikan dua kamar suit untuk Bambang, Fani, dqn juga kedua adik kembarnya. Lala dan Lulu tentu saja gembira, walau tersirat rasa sedih, karena Risti akan menikah. "Kalau udah mau nikah gitu, bisa digagalin gak sih, Lu?" tanya Lala pada Lulu saat mereka sedang tidur. Bambang dan Fani masih berbincang di depan kamar hotel."Ngaco, kamu! Ya, gak mungkin. Emangnya sinetron," timpal Lulu sambil menggelengkan kepala."Kali aja, kayak di TV, bisa digagalkan," sahut Lala masih tak yakin dengan komentar Lulu."Udah bukan jodoh Mas Bambang. Sekarang kita berdoa, agar Mas Bambang diberikan jodoh yang tepat. Teh Annisa anaknya Ustadz Salman juga manis," kata Lulu sambil membayangkan rona teduh milik Teh Annisa."Iya, sama siapa aja sih yang penting perempuan dan solih, serta gak mata duitan kayak kita, ha ha ha...
Dada bu Sundari berdebar, tangannya gemetar, kuat digenggamnya tangan suaminya, air dipelupuk matanya hampir tumpah, kekacauan yang sangat memalukan sudah dibuat oleh anak lelaki kebanggaannya. Tak kalah kecewa, terlihat jelas diraut wajah pemilik enam hotel mewah di Jakarta dan Australia Ahmad Karim ayah dari Munos. Lengannya mengepal, rahangya mengeras, dengan tajam ditatapnya laporan CCTV dan beberapa berkas, serta foto Munos bersama seorang wanita. Berulang-ulang Bu Sundari memutar video tersebut untuk memastikan siapa wanita yang sepertinya dia kenal.Terlihat seorang wanita berseragam resepsionis hotelnya rapi dan manis sambil membawa map bening. Mungkin berisi beberapa berkas penting, mengetuk ragu pintu kamar Munos. Setelah beberapa lama pintu terbuka Munos dalam keadaan mabuk, berbicara dengan seorang wanita itu di depan pintu kamarnya, terlihat Munos membentak wanita tersebut sehingga map berkas tadi jatuh berhamburan, saat wanita itu hendak membereskan kertas yang berantaka
Suasana ballroom hotel mendadak riuh, tamu-tamu yang hadir kebingungan karena di pelaminan ada dua pasang pengantin yang harus mereka beri selamat. Ada yang menarik dari atas pelaminan sana, pasangan pengantin yang satu berwajah gembira dan selalu menyunggingkan senyumnya, sedangkan pada pasangan satunya yang lain berwajah ketat dan menyeramkan.“Akhirnya... Terima kasih sudah menerimaku kembali,” bisik Bambang di telinga Risti. Diikuti wajah Risti yang mendadak bersemu merah.“Setelah sekian tahun akhirnya kita bisa bersama lagi, meskipun dadakan,” Bambang tertawa kecil, merengkuh tubuh istrinya. “Terima kasih, aku mencintaimu,” bisik Bambang lagi. Risti memalingkan wajahnya yang bersemu tidak ada sahutan apa pun yang keluar dari mulutnya.“Kenapa istriku tidak menjawab, ya?” Bambang menyolek lengan Risti. Risti masih bersikap cuek pura-pura tidak mendengar. Sambil melanjutkan menyalami para tamu undangan satu per satu. Bambang tidak mau patah semangat. Mulutnya masih saja komat kami