Share

Bertemu Lagi Dengannya

Taksi yang ditumpangi Farzan sudah memasuki area perumahan tempat kediaman keluarga Harun berada. Rumah yang telah ditempatinya semenjak Ayu masuk ke dalam penjara atas kasus penggelapan dana perusahaan. Karena itulah sang Ayah menceraikan ibu kandungnya.

Semakin mendekat, jantungnya semakin gaduh. Kurang dari lima menit ia akan bertemu lagi dengan Arini.

Farzan sudah tidak sabar ingin berbagi cerita dengan kakak iparnya. Selama ini wanita itulah yang selalu mendengar keluh kesahnya mengenai apapun. Dari sana juga, ia menemukan kenyamanan dan kasih sayang tulus yang sangat didambakan.

“Ini ongkosnya, Pak,” ujar pemuda itu menyerahkan sejumlah uang sesuai dengan argonya.

Begitu taksi berhenti di depan pagar, Farzan segera menurunkan barang bawaan. Dua koper besar sudah berada di dalam genggamannya. Dengan semangat ia memasuki pekarangan rumah. Senyuman hangat Arini saat menyambutnya, membayang di pelupuk mata.

“Siang, Pak,” sapa Farzan kepada penjaga dengan semringah.

“Mas Farzan sudah datang,” sambut penjaga langsung berdiri.

“Iya, Pak. Aku bawa oleh-oleh buat Bapak, tapi nanti aja ya sekalian buat Bi Ijah,” seru Farzan seraya melangkahkan kaki menuju pintu masuk rumah.

“Wah, jadi sungkan saya, Mas.”

“Kapan lagi, Pak. Aku udah nggak balik ke sana lagi loh.” Farzan menoleh lagi ke penjaga yang masih berdiri di poskonya. “Masuk dulu ya, Pak.”

Langkah kaki panjangnya berlanjut menuju pintu masuk. Jantung kembali memberi respons tak biasa. Senyum lebar terukir parasnya saat melihat Arini duduk di ruang tamu menunggu kedatangannya.

Wanita berusia empat puluhan tersebut langsung berdiri sambil merentangkan kedua tangan. Kedua lesung pipi yang begitu dirindukan Farzan juga menghiasi kedua belah pipi tirus.

Pegangan di kedua handler koper terlepas begitu saja dari pegangan Farzan, ketika ia setengah berlari menghampiri Arini. Saat berjarak satu langkah dari wanita itu, ia berhenti. Tampak keraguan di iras wajah saat akan memeluknya.

“Kok bengong?” kata Arini dengan kedua alis naik ke atas.

Biasanya Farzan tidak canggung berpelukan dengan Arini, tapi sekarang terasa berbeda.

“Kenapa? Kakak jelek ya, jadi kamu nggak mau peluk lagi?” sungut Arini menyipitkan mata.

Pemuda itu menggelengkan kepala dengan cepat.

“Mas mana?”

“Kerja.”

“Adek-adek?” Farzan kembali mengajukan pertanyaan, agar mengalihkan perhatian Arini.

“Masih sekolah.”

Tangan Arini yang tadi membentang, kini turun memegang pinggang. Dia berdecak pelan sambil tersenyum usil.

“Adek kakak kayaknya udah malu nih dipeluk sekarang. Persis kayak El.” Arini memilih duduk lagi di sofa, kemudian mendesah. “Biasanya mau digandeng kalau pergi, sekarang nggak mau lagi.”

“Benar kata orang-orang, punya anak cowok itu bisa dipeluk dan dicium ya sampai SMP aja. Kalau gede dikit, udah nggak mau lagi. Malu katanya,” celoteh Arini lagi.

Farzan garuk-garuk kepala seraya tersenyum lembut memandangi kakak iparnya dalam kondisi normal sekarang. Tidak terlihat jika protein tak wajar sudah dengan jahat menyumbat batang otaknya.

“Mama mana, Kak?” Dia mendongakkan kepala agar bisa melihat ke ruang keluarga.

“Biasa lagi ke mana itu? Pokoknya jalan sama Papa.” Arini hening sesaat sebelum meneruskan perkataannya. “Nanti pulang lagi.”

“Kakak sendirian di rumah?” Tilikan netranya kembali beredar.

“Nggak, ada suster. Lagi ke belakang.”

Pandangan sorot mata elang Farzan masih belum beranjak mengitari paras cantik Arini yang sama sekali tidak memudar, meski tampak pucat. Wanita itu masih menarik di matanya.

“Gimana? Udah ketemu?”

Kening Farzan berkerut bingung. “Ketemu apa? Kakak nitip sesuatu sama aku?”

“Bukan. Masa nggak ngerti sih?”

Pemuda itu tersenyum awkward, lantas menggeleng pelan.

“Pacar. Masa itu aja nggak ngerti. Hati-hati loh kelamaan jomlo, bisa ditikung beneran sama Alyssa,” komentar Arini mengerling usil.

Farzan menarik napas panjang sebelum merespons perkataan kakak iparnya. “Alyssa perempuan, Kak. Aku ini laki-laki jadi harus mapan dulu, baru pacaran. Kalau bisa sih langsung nikah aja,” tanggapnya beralasan.

“Kamu itu udah dua puluh tiga tahun, Dek. Tiga tahun lagi udah pas untuk nikah.” Arini mengerling ke foto pernikahannya dengan Brandon yang terpajang di ruang tamu. “Tuh, Mas Brandon dan Kakak juga nikah umur dua puluh enam.”

Wanita itu kemudian cekikikan ketika ingat bagaimana gigihnya Lisa mencarikan calon pendamping untuk Brandon dulu.

“Kamu mau kakak carikan calon istri kayak Mama dulu carikan buat Mas Brandon?”

“Nggak mau ah,” sahut Farzan memasang tampang ogah-ogahan.

“Kenapa nggak mau?” Arini jadi penasaran.

“Karena ….” Kalimat Farzan berhenti ketika tangannya bergerak naik ingin membelai rambut hitam tebal Arini.

“Karena?” selidiknya semakin kepo.

Tangan yang nyaris menyentuh ujung rambut Arini kembali ditarik lagi. “Karena aku mau kerja dulu. Jadi kepala rumah tangga itu nggak mudah, Kak. Tanggung jawabnya gede.”

Sebelah alis Arini naik ke atas. Senyum usil masih belum beranjak dari wajahnya.

“Udah deh, Kak. Baru juga lulus kuliah, masa udah bahas jodoh?!” sungut Farzan dengan wajah mengerucut.

Arini mengangkat bahu singkat. Iras wajahnya perlahan berubah sendu. “Yang penting kamu masih suka cewek, Dek. Ngeri zaman sekarang.”

Wajah Farzan semakin berkerut. “I am still normal and straight, Kak,” tegasnya.

I hope so.

Andai Kakak bukan kakak iparku, udah pasti aku lamar saat ini juga, lirih Farzan dalam hati.

Suasana hening ketika mereka sama-sama terdiam. Keduanya larut dengan pikiran masing-masing.

“Kak,” panggil Farzan melihat kedua tangan yang bertautan di atas paha.

“Apa?” Arini menoleh ke arah pemuda yang duduk tepat di sampingnya.

“Kenapa Kakak bilang sama Mommy kalau aku pulang hari ini?” Meski jengkel, tapi ia tidak bisa marah kepada Arini hanya karena hal ini.

“Kasihan, Dek. Ayu tanya-tanya kamu terus sama Kakak.” Arini membelai lembut puncak kepala Farzan. “Kamu itu nggak pernah angkat teleponnya, jadi Kakak yang digangguin.”

Sorot netra elang itu menatap nanar meja kaca yang berada tepat di dekat kakinya. “Mommy ternyata belum berubah, Kak,” ungkap Farzan tercekat.

Dia berusaha sekuat tenaga agar tidak terlihat cengeng di hadapan Arini. Ya, walaupun seorang pria, Farzan tetaplah seorang anak yang haus kasih sayang dan belaian tulus dari ibu kandungnya.

“Belum berubah gimana?”

Farzan menarik napas dalam-dalam, ketika dada semakin terasa sesak. “Mommy mau jadikan aku sebagai alat pencetak uang.”

Kepalanya tertunduk dalam, membuat ujung dagu yang dihiasi belahan itu bertemu dengan dada bagian atas.

“Dia suruh aku ambil alih sebagian perusahaan,” sambungnya lagi, “kakak tahu ‘kan kalau aku nggak suka dengan bisnis, apalagi properti dan garment.”

Arini manggut-manggut paham. Dia tahu persis apa yang diminati Farzan, karena sudah sangat mengenalnya belasan tahun. Mata cokelat lebar Arini menatap sendu sang Adik.

“Sini peluk Kakak dulu,” ucapnya menarik bahu lebar itu ketika tahu Farzan butuh tempat untuk bersandar.

Dalam hitungan detik, pemuda itu sudah berada di dalam pelukan hangat Arini. Tepukan menenangkan diberikan di punggung Farzan.

“Nangis aja kalau mau, jangan ditahan,” bisik Arini masih menepuk punggungnya, “habis ini kamu pasti lega.”

Hidung Farzan mulai membersit tidak nyaman. Satu per satu air mata menetes membasahi gaun yang dikenakan Arini. Kelopaknya mengerjap berkali-kali, kembali berusaha mencegah bulir bening keluar lagi.

Setelah sedikit tenang, Farzan memundurkan lagi tubuh ke belakang lalu mengamati setiap jengkal wajah Arini. Wanita ini luar biasa berarti dalam hidupnya. Hanya dia yang bisa membuat pemuda itu mampu menjalani hari-hari yang menyesakkan sejak kecil.

Tilikan matanya berhenti ketika melihat bibir yang biasa merah ranum, namun kini memucat. Farzan teringat bagaimana rasa manis bibir Arini ketika mereka berciuman sepuluh bulan yang lalu. Keinginan untuk kembali melabuhkan kecupan di sana muncul di pikiran.

Tangan kiri Farzan mulai naik ke pipi tirus itu, sebelum bergerak ke balik tengkuknya. Sementara Arini menatap kosong ke wajah Farzan. Saat kepalanya akan mendekat, tiba-tiba terdengar suara bariton dari arah pintu masuk.

“Ada apa ini?”

Bersambung....

Siapa itu yang datang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status