Farzan terkesiap saat mendengar suara bariton yang sangat dikenalnya, sehingga tubuh tegap itu mundur lagi ke belakang. Dia menoleh ke arah pintu dan melihat Brandon berdiri sambil menyipitkan mata. Pria paruh baya itu menggoyang-goyangkan tangan dengan jari telunjuk ke atas.
“Kamu itu udah gede, Zan. Masa masih nempel-nempel sama Kak Iin. Bikin Mas cemburu aja,” kata Brandon memasang tampang cemberut.
Pemuda itu tergelak, begitu juga dengan Arini yang sudah berdiri menghampiri suaminya. Wanita tersebut memberi kecupan singkat di bibir Brandon, sebelum mengambil tas kantor yang dibawa.
“Biar aku aja, In. Kamu duduk aja,” suruh Brandon membelai lembut rambut panjang hitam istrinya.
“Dari tadi duduk terus, bosan. Untung ada Farzan yang nemenin,” tanggap Arini menggandeng lengan Bran.
Farzan mulai salah tingkah melihat kemesraan suami istri itu. Jika dulu ia senang melihat Brandon dan Arini bermesraan, namun kini justru sebaliknya. Ada rasa sakit dan sesak di dalam dadanya.
“Mas udah pulang?!” sapa Farzan menepis perasaan cemburu yang mendominasi di dalam diri.
“Iya, sengaja cepat pulang karena kamu datang hari ini.” Brandon merentangkan kedua tangan.
Pemuda bertubuh tinggi tersebut segera menghampiri kakaknya, kemudian memberi pelukan singkat. Meski ada rasa cemburu, bukan berarti ia harus membenci Brandon. Dia sangat menyayangi kakak tirinya ini.
“Maaf Mas dan Kakak nggak bisa datang ke sana waktu wisuda kamu. Mama dan Papa juga nggak mungkin jalan jauh,” ucap Brandon setelah duduk di sofa.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Kondisinya emang nggak memungkinkan.” Farzan menarik napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. “Teman-temanku banyak di sana, jadi nggak kesepian juga waktu wisuda.”
Arini bisa menangkap kesedihan dari sorot mata Farzan, meski tersenyum. Dia benar-benar mengenal pemuda itu, sehingga tidak bisa dibohongi.
“Padahal kita udah ada rencana liburan ke sana sama El dan Al ya, Bran,” komentar Arini, “tapi nggak jadi, karena aku sakit.”
Brandon berdecak sambil membelai lembut pinggir pipi istrinya. “Kita sebagai manusia hanya bisa berencana, In. Allah juga yang menentukan.”
“Mas benar, Kak. Semua pasti ada hikmahnya. Yang penting kita udah ngumpul lagi sekarang,” tanggap Farzan tersenyum lebar melihat kedua orang yang sangat disayangi bergantian.
Brandon manggut-manggut. “Tuh, adek kesayangan kamu udah gede, In. Pengertian dengan kondisi kakaknya,” ledeknya.
“Iya udah gede, tapi belum pernah bawa pacar ke sini,” imbuh Arini mengerling usil kepada Farzan, “masa kalah sama Masnya yang punya gebetan berapa itu waktu SMA. Ada kali puluhan ya?”
Wanita paruh baya itu pura-pura berpikir sembari menghitung dengan jari satu per satu.
“Masa lalu nggak perlu diungkit lagi, In,” protes Brandon dengan mata menyipit.
“Kalau dihitung dengan waktu kuliah sama kerja, udah lima puluh kali ya?” sambung Arini tanpa menghiraukan protes yang dilayangkan Brandon.
“In? Mau aku cium kamu di sini kalau bahas itu lagi?” ancam Brandon gemas.
“Untung yang dipacari cuma tiga ya?” Arini masih melanjutkan ledekan, sehingga membuat Brandon mengejar bibir mungilnya.
Melihat kejadian itu, Farzan langsung berdiri. Hatinya terusik melihat kemesraan suami istri yang masih seperti pengantin baru.
“Aku ke atas dulu, Kak, Mas,” pamit Farzan sembari mengambil koper.
Arini berusaha menghindar ketika bibir Brandon nyaris menyentuh bibirnya. Dia mendorong tubuh pria itu ke belakang. “Kamu sih, Farzan jadi nggak nyaman, ‘kan?”
Brandon menoleh ke tempat Farzan berdiri dengan seulas senyum. “Sorry, Zan. Habis Kakakmu bikin Mas gemas. Kalau nggak gitu ya nggak mau diam.”
Pemuda itu menggeleng singkat. “Nggak pa-pa, Mas. Santai aja. Kebetulan aku mau istirahat.”
“Tuh, In. Mau istirahat katanya.” Brandon kembali melihat istrinya.
“Lanjutkan aja. Aku ke atas dulu.” Farzan mengedipkan sebelah mata dengan seulas senyum tipis.
Brandon mengangkat tangan ke atas. “Thanks atas pengertiannya, Zan. Dua jam lagi turun ya, kita ngobrol di ruang keluarga kalau Papa, Mama, El dan Al udah pulang. Ada yang mau Mas bicarakan.”
“Oke, nanti aku turun lagi,” pungkas Farzan sebelum pergi dari hadapan Arini dan Brandon.
Pemuda itu mengayunkan langkah menuju lantai dua, tempat kamarnya berada. Dengan hati perih, ia tinggalkan sepasang suami istri yang tengah dimabuk cinta tersebut. Sekali lagi, Farzan cemburu namun rasa sayang yang teramat sangat kepada Brandon dan Arini membuatnya meredam perasaan itu dalam-dalam.
***
Farzan meregang tubuh setelah berbaring satu jam di kamar. Penerbangan panjang membuat ototnya menegang karena duduk terlalu lama. Sejak tiba di kamar, ia berusaha memejamkan mata namun tidak bisa. Wajah Arini selalu menghiasi pelupuk mata. Rupanya rasa rindu masih belum terobati.
Pandangan mata elangnya bergerak melihat koper yang masih belum di buka. Ada banyak oleh-oleh yang dibeli untuk seluruh anggota keluarga, termasuk penjaga dan asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja dengan keluarga Harun.
“Abang.” Terdengar suara sedikit cempreng memanggil dari luar, seiringan dengan pintu diketuk.
Senyum mengembang di bibir sedikit tipis di bagian atas dan berisi di bagian bawah.
“Ya, Dek,” sahutnya beranjak ke posisi duduk.
Dia menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, menghalau pegal yang terasa.
“Bang Farzan lagi istirahat, Al. Nanti aja.” Kali ini suara Arini yang terdengar samar.
“Al udah nggak sabaran lagi, Mi. Pengin lihat coat yang dibawa sama Abang,” balas Alyssa dari luar.
Farzan bergegas beranjak membukakan pintu. Dalam hitungan detik seraut wajah cantik muncul tepat di depannya. Seorang gadis berusia lima belas tahun tampak semringah memperlihatkan lesung pipi yang diturunkan dari sang Ibu.
Gadis itu menadahkan tangan seraya mengedipkan mata pelan. “Pesenanku mana?”
“Alyssa!” Tiba-tiba Arini sudah berdiri di sampingnya, sebelum Farzan menjawab pertanyaan Al. “Jangan ganggu Abang dulu!”
“Dih Mami kenapa sih? Orang Bang Farzan aja nggak merasa terganggu kok.” Alyssa melirik kepada paman yang dipanggil dengan sebutan Abang. “Ya nggak, Bang?”
Sejak kecil, Farzan keberatan jika kedua ponakan memanggil dirinya dengan sebutan Om dan sejenisnya. Dia hanya ingin dipanggil Abang dan memanggil mereka dengan sebutan Adek.
“Nggak pa-pa, Kak. Aku juga nggak bisa tidur,” sahut Farzan.
“Tuh Mami denger sendiri, ‘kan?” sungut Alyssa memberengut.
“Ya udah deh. Mami mau ke bawah lagi.” Arini menoleh kepada Farzan sebelum turun lagi ke lantai satu. “Nanti turun ya, Dek. Mas mau ngomong.”
Farzan manggut-manggut paham sambil mengulas senyum. Setelahnya ia mengamati Arini sampai menghilang di pertengahan tangga.
“Mana, Bang? Aku pengin lihat coat-nya.” Alyssa sudah tidak sabar ingin melihat jas yang dipesan.
Pemuda itu bergeming dengan pandangan masih melihat ke arah tangga.
“Bang,” panggil Alyssa menggoyangkan tangan yang mengembang di depan wajah Farzan.
“Eh?” Pria tersebut terkesiap membuat mata elangnya mengerjap pelan.
“Bengong aja. Kenapa sih?” Alyssa memberi tatapan penuh selidik seraya melipat tangan di depan dada.
Farzan menggelengkan kepala, lantas mengusap puncak kepala Al. “Nggak kenapa-napa. Kecapekan aja sih.”
Mereka berdua berjalan beriringan ke dalam kamar yang biasa ditempati Farzan.
Al mengusap kedua belah tangan sambil nyengir kuda ketika pamannya membuka koper berwarna maroon. Dalam hitungan detik, koper itu terbuka. Tangan Farzan bergerak mengeluarkan sebuah kantong plastik berwarna putih, lalu menyerahkannya kepada gadis itu.
Dengan semangat Alyssa membuka kantong yang diterima. Senyumnya semakin lebar memperlihatkan lesung pipi yang dalam. Dia mengeluarkan sebuah coat berwarna light latte dari sana. Coat berbahan polyester keluaran terbaru dengan panjang hingga lutut.
“Bagus banget, Bang. Makasih ya,” ucap Alyssa memberi kecupan di pipi Farzan.
Alyssa senang bukan main. Apalagi gadis itu menaruh minat di dunia fashion.
“Sama-sama, Princess. Abang bingung mau pilih yang mana waktu itu. Jadi minta pilihkan sama pelayan tokonya aja. Syukurlah kamu suka,” tanggap Farzan merasa lega ketika melihat wajah bahagia Alyssa.
Gadis itu manggut-manggut mengambil lagi dress lain yang dibelikan Farzan.
“Kamu bawa aja ke kamar dulu. Abang mau turun, kasih oleh-oleh juga buat yang lain.” Farzan mengeluarkan semua oleh-oleh yang dibawa. “Kakek-Nenek udah pulang, ‘kan?”
“Kayaknya udah sih, Bang,” sahut Alyssa masih fokus melihat pakaian yang dibeli oleh pamannya.
Beberapa kantong plastik sudah memenuhi kedua tangan Farzan. “Abang turun ke bawah dulu ya, Dek. Pintu kamar ditutup aja ntar, kalau kamu udah keluar.”
“Oke, Bang.”
Pemuda itu bergegas turun ke bawah membawa barang yang akan dibagikan dengan seluruh anggota keluarga. Langkahnya tiba-tiba berhenti ketika melihat Brandon dan Arini sedang asik berciuman di ruang keluarga.
Farzan menjadi gamang, apakah akan turun ke bawah dan bersikap seolah dirinya baik-baik saja atau kembali lagi naik ke atas? Kakinya terasa berat ketika ingin memutar balik tubuh ke belakang. Bayangan bagaimana ia berciuman dengan Arini berbulan yang lalu kembali menari di pikiran. Hati pemuda itu terasa sakit, bagai ditusuk ratusan jarum halus di dalam sana.
Bersambung....
“Ngapain berdiri di tangga, Bang?” Tiba-tiba terdengar suara setengah matang dari belakang.Farzan menoleh bingung ke sumber suara dan melihat Elfarehza, anak pertama Brandon dan Arini, berdiri tepat di belakang.El yang heran dengan keanehan gelagat Farzan, segera mengalihkan pandangan ke ruang keluarga.“Oh shit my eyes!” ucapnya menirukan jargon yang diucapkan oleh Im Ju Young di drama Korea True Beauty, “My holy eyes. Astaghfirullah, ampuni dosa hamba.”Pemuda itu mengusap pelan kedua belah mata.“Watch your mouth, Kid!” tegur Brandon di sela napas yang tidak teratur saat belaian panas bibirnya dengan Arini terlepas paksa.El turun ke bawah dengan santai, seolah tanpa dosa. Dia duduk di antara Brandon dan Arini, lantas menunjuk ke arah Farzan.“Gara-gara Mami-Papi nih. Kasihan tuh Bang Farzan sampe ragu mau turun ke bawah.” El berdecak
Farzan memandang pantulan diri di depan cermin ketika memastikan pakaian dan juga tatanan rambut sudah rapi. Hari ini ia akan pergi ke Beer Garden bertemu dengan Bramasta sesuai dengan janji sebelumnya.Semenjak pertemuan keluarga tiga hari yang lalu, Arini dan Brandon masih berusaha membujuk Farzan untuk bekerja di The Harun Group. Pemuda itu masih bersikukuh tidak akan bekerja di sana, karena tidak memiliki minat di bidang properti dan garment.Beruntung tadi pagi ia mendapatkan panggilan kerja di salah satu perusahaan otomotif berskala internasional di Cikarang. Farzan bisa bernapas lega, karena bisa lolos dari bujukan kedua kakaknya tersebut.“Cie, mau ke mana malam Minggu, Dek?” tanya Arini melihat Farzan turun dari tangga.“Ketemu sama Bram di Beer Garden, Kak,” jawab Farzan sembari mengenakan jaket kulit.“Bram atau gebetan?” Arini mulai menggoda adik iparnya.Farzan menyipitkan mata sambil
Mata hitam lebar Nadzifa melihat Farzan dan Bramasta bergantian. Tanpa diminta, gadis itu sudah duduk di kursi yang masih kosong di meja kedua pemuda itu berada. Dia mengibaskan rambut panjang yang terurai di depan bahu ke belakang.“Nggak nyangka loh bisa ketemu lo lagi di sini,” ujar Nadzifa semringah.Farzan tak menyangka gadis yang pernah ditolong dulu masih ingat dengan dirinya. Apalagi saat itu Nadzifa sedang mabuk berat. Ketika pulang pun ia masih hangover.“Mbak tinggal di Jakarta?” tanya Farzan kemudian.“Iya. Keluarga gue tinggal di sini, tapi gue sih tinggal di daerah Cikarang.” Nadzifa melambaikan tangan memanggil pelayan. Dia menambah lagi minuman beralkohol sama seperti sebelumnya.“Eh, lo yang waktu pagi itu, ‘kan?” Pandangan Nadzifa beralih kepada Bramasta.“Iya, Mbak.” Bram mengulurkan tangan memperkenalkan diri. “Bramasta, panggil aja Bram. Sah
Tiga bulan kemudianFarzan menyusun kardus berisikan barang-barangnya di dekat dinding. Dia menghitung jumlah, memastikan tidak ada yang tertinggal ketika dibawa nanti. Sebenarnya tidak banyak yang ia bawa dari rumah, hanya tiga kardus besar dan dua kardus kecil. Tak lupa juga satu koper berukuran besar berisikan pakaian.“Yakin mau pindah, Dek?” tanya Arini duduk di pinggir tempat tidur Farzan.“Iya, Kak. Capek kalau bolak balik Jakarta-Cikarang setiap hari. Apalagi kalau harus masuk hari Sabtu. Nggak ada waktu istirahat,” jawab Farzan seraya memasukkan peritilan barang yang akan diangkut ke dalam ransel.Benarkah itu yang menjadi alasan sebenarnya Farzan memutuskan pindah ke Cikarang dan tinggal di apartemen? Tentu tidak pemirsa. Pemuda itu tidak ingin terus-terusan bertemu dengan Arini, takut khilaf. Ditambah lagi tidak kuat melihatnya bermesraan dengan Brandon. (Duh, sabar yaa, Zan.)“Trus siapa ya
Suara alarm terdengar nyaring memekakkan telinga ketika subuh menjelang. Jika saja di sini adalah pedesaan, maka akan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Sayangnya kamar ini berada di gedung apartemen yang tinggi, sehingga tidak ada ayam jantan yang bertengger hanya sekedar untuk membangunkan penduduk. Tangan yang cukup berotot itu bergerak meraba atas nakas, tempat ponsel berada. Sepasang netra elang berwarna hitam perlahan terbuka, mencari tahu pukul berapa sekarang. Ah, seharusnya tidak begitu juga karena dia tahu persis jam berapa alarm diterapkan. Farzan langsung mengubah posisi menjadi duduk, karena sebentar lagi waktu subuh tiba. Dengan masih terkantuk, ia berusaha berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi. “Kalau mau salat Subuh jangan lupa gosok gigi, Dek. Mau ketemu sama manusia aja kita nggak pede kalau belum gosok gigi, apalagi ketemu sama Allah.” Nasihat yang kerap dilontarkan Arini, selalu terpatri di dalam ingatannya.
Nadzifa dan Farzan berdiri di depan flat masing-masing sebelum berpisah. Kucing kesayangan gadis itu sudah dikuburkan di tanah kosong belakang gedung apartemen. Jangan ditanyakan lagi bagaimana sedihnya ia saat kucing jenis persia himalaya tersebut menjelang dikubur.“Thanks banget ya udah bantuin,” ucap Nadzifa tersenyum singkat, “jangan tolak bantuan gue. Habis ganti pakaian, gue ke flat lo.”Awalnya Farzan keberatan, tapi Nadzifa kekeh untuk membantu. Gadis itu merasa bersalah, karena sudah mengganggunya pagi-pagi.“Oke. Nanti pencet bel aja, jangan ketuk-ketuk. Berisik,” tanggap Farzan.Gadis berambut panjang itu tertawa singkat. “Iya, bawel.”“Astaga, lo bener-bener kayak Nyokap gue deh,” sambungnya geleng-geleng kepala.Setelah itu Farzan memasuki flat untuk berganti pakaian. Ujung kaki celana katun bermotif kotak yang dikenakan terkena tana
Farzan mencari pakaian yang akan dikenakan dari lemari. Dia baru saja mandi selepas kembali dari bekerja. Hari ini ia pulang terlambat, karena ada meeting dadakan menjelang waktu kerja berakhir.Ketika akan mengenakan baju kaus, ponselnya berdering. Dengan semangat pemuda itu melangkah menuju nakas dan mengambil handphone dari sana. Senyum terurai di paras tampannya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel. Apalagi si penelepon menggunakan video call. Farzan segera memasang baju kaus, sehingga menutupi tubuh berototnya.“Assalamualaikum, Kakak Cantik,” sapanya setelah wajah cantik Arini terpampang di ponsel.Pemuda itu segera beranjak menuju meja makan, lalu meletakkan ponsel di sana. Dia menarik kursi dan duduk di sana.“Waalaikumsalam, Dek,” balas Arini dengan wajah mengerucut, “kamu kok jarang telepon sekarang?”Kening Farzan mengernyit saat mengingat kapan
Satu tahun kemudian“Farzan,” teriak suara nyaring dari luar flat. Tak hanya itu ketukan pintu bertubi-tubi juga terdengar membuat pekak telinga Farzan.Desahan pelan keluar dari sela hidung pria bertubuh tinggi itu. Dia melirik malas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Farzan menghentikan aktivitasnya menyiapkan keperluan untuk dibawa ke Menteng Dalam. Hari ini ia akan menginap di rumah keluarga Harun.Setiap kali mendengar suara itu, Farzan selalu seperti ini. Ketenangannya selama satu tahun tinggal di apartemen menjadi terusik karena kehadiran Nadzifa.Gadis itu sering bertandang ke flat hampir setiap hari. Dia juga kerap masuk tanpa izin dari Farzan. Parahnya lagi, Nadzifa menjadikan flat-nya sebagai tempat menumpahkan keluh kesah seraya meneguk bir.“Farzaaaaan,” panggilnya lagi meniru suara Tarzan.“Astaghfirullah,” bisik Farzan sambil mengelu