Seluruh keluarga Harun kembali ke Menteng Dalam setelah mendengar penjelasan dari polisi. Mereka diminta menunggu hasil pencarian dari tim yang telah dibentuk. Sesuai dengan permintaan Farzan, tidak boleh seorang pun membahas tentang kecelakaan yang menimpa Brandon di depan Arini.
Karena sekarang sudah malam, Farzan memutuskan untuk menginap di rumah keluarganya. Dia juga meminta Nadzifa untuk menginap terlebih dahulu, karena tidak mungkin kembali ke Cikarang larut malam sendirian.
“Aku balik pakai taksi aja, Zan,” tolak Nadzifa satu jam yang lalu.
“Nggak, Zi. Kamu nginap dulu. Aku butuh kamu sekarang,” tanggap Farzan tidak ingin gadis itu beranjak dari sisinya.
Akhirnya Nadzifa setuju. Dan di sinilah mereka berada sekarang. Berkumpul di ruang keluarga kediaman Harun.
“Mami udah tidur, Al?” tanya Farzan kepada Alyssa yang baru saja keluar dari kamar Arini.
Wanita itu menggeleng lesu menahan tangis. “
Semua yang ada di ruangan itu kompak dalam diam. Tidak ada seorang pun berani membuka suara menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arini barusan. Bingung, tak tahu harus memberi jawaban apalagi agar wanita itu percaya.Arini berdiri kemudian melangkah ke arah Farzan. Dia menatap sayu sang adik ipar dengan mata merah digenangi air. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Meski sakit, tapi Arini bisa merasakan ada yang disimpan oleh keluarganya saat ini.Dia menarik tangan Farzan ke posisi berdiri, sehingga mereka berhadapan saat ini. “Kamu jawab kakak, Zan. Kenapa Bran belum pulang?” lirihnya terdengar memilukan di telinga pria itu.Farzan menarik napas dalam, sehingga menimbulkan sesak di dalam dada.“Zan!!” bentar Arini, “kamu selama ini nggak pernah bohong sama Kakak.”Netra cokelat lebar Arini menatap mata elang Farzan satu per satu. Dia berharap adik yang telah dibesarkan dengan penuh kasih sayang mau men
Sepasang mata elang tampak mengerjap berusaha untuk terbuka. Dia melihat seorang perempuan berparas cantik masih lelap di samping. Tangannya bergerak naik ke atas, lalu membelai lembut kepala yang dihiasi rambut hitam tebal itu.Farzan berusaha bangun, tapi kepala terasa pusing. Dia tidak bisa tidur sejak tadi malam memikirkan nasib Brandon yang sampai sekarang belum diketahui. Baru memejamkan mata, sudah terbangun lagi sekarang.“Astaga! Aku jadi ketiduran di sini,” gumam Nadzifa jadi ikut terjaga.Tadi malam ia hanya berniat mengantarkan teh hangat untuk Farzan. Nadzifa mendengarkan curahan hati pria itu hingga tertidur di kamarnya.“Kamu mau ke mana?” tanya Farzan menahan tangan Nadzifa ketika ingin berdiri.“Aku mau ke kamar sebelah dulu. Nggak enak kalau Tante Lisa dan yang lain lihat.”Farzan menggelengkan kepala, kemudian mengerling ke jam dinding. “Mereka baru keluar kamar nanti jam 06.00. Se
“Tujuan lo nikah ‘kan cuma meyakinkan Bang Brandon kalau lo nggak ada perasaan apa-apa sama Kak Arini. Sekarang waktu yang tepat untuk batalin pernikahan.”Langkah Nadzifa berhenti ketika mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan Bramasta. Dia berdiri di depan kamar seraya memegang nampan berisikan dua cangkir teh yang baru saja dibuat.Kening gadis itu berkerut memikirkan maksud perkataan sahabat Farzan tersebut. Pikiran Nadzifa kembali ke saat pertama bertemu dengan Arini, tepat satu hari setelah menyetujui rencana pria itu untuk menikah. Dia bisa melihat perubahan yang signifikan dari cara Farzan memperlakukan wanita usia pertengahan empat puluhan itu.Pujian-pujian yang dilontarkan Farzan terhadap Arini, ditambah lagi dengan kecemasan yang ditunjukkan terhadap wanita itu. Hingga saat ini, Nadzifa belum mengetahui alasan yang sebenarnya kenapa lelaki itu diminta menikah oleh Brandon secepatnya. Semua memperkuat dugaan Nadzifa.Pegangan
Satu bulan kemudianSepasang mata elang tengah mengedip pelan berusaha terbuka. Jari-jari bergerak mengurut pangkal hidung, menghalau hangover pasca bangun tidur. Setelah sepenuhnya terbuka, sorot mata itu menatap sendu melihat ruang kosong yang ada di samping.Seharusnya, tempat itu sudah terisi dengan sosok perempuan yang akan mendampinginya satu bulan lalu. Namun, peristiwa pahit nan memilukan mampu mengubah semua. Terutama kehilangan dua orang sekaligus yang begitu berarti bagi Farzan; Brandon dan Nadzifa.Hingga detik ini, jasad Brandon belum ditemukan. Tim yang dibentuk kepolisian masih melakukan pencarian, sesuai dengan permintaan keluarga Harun. Mereka masih belum bisa menerima Brandon dinyatakan tewas pada kecelakaan tersebut.“Aku belum percaya sampai melihat jasad Brandon di depan mata.” Begitulah kalimat yang dilontarkan Arini ketika menolak suaminya dinyatakan tewas dalam kecelakaan tunggal.Raut l
“Apa pantas gue jemput kebahagiaan di saat suasana keluarga gue sedang berduka?” Pertanyaan itu dilontarkan Farzan setelah hening beberapa saat.“Nggak ada salahnya, Zan. Lo berhak bahagia. Masa cinta lo harus kandas untuk kedua kalinya? Nggak nyesek apa?” Bramasta memanas-manasi pria itu.Farzan tepekur sebentar, memikirkan langkah apa yang harus ditempuh. Tiba-tiba Bram menepuk pundaknya keras.“Udah sana. Kelamaan mikir lo. Entar beneran diembat orang, baru tahu rasa,” sambungnya menakut-nakuti.Kepala Farzan langsung menggeleng cepat. “Gue nggak akan biarkan itu terjadi, Bram.”Pria bertubuh tegap itu langsung berdiri, kemudian menggamit tangan Bramasta. “Temenin gue.”Dia beranjak ke dekat meja kerja mengambil jaket kulit berwarna cokelat yang biasa dikenakan ketika mengendarai motor.Bramasta tertawa melihat kepanikan yang tergambar jelas di paras sahabatnya. Dia berdir
Beberapa hari kemudianSeluruh keluarga Harun sedang berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Suasana begitu hening, tidak banyak percakapan yang tercipta. Keluarga ini masih diselimuti duka yang mendalam.“Mami makan dulu,” kata Alyssa menyodorkan satu sendok bubur ayam kepada ibunya.Arini menggeleng lesu. “Mami nggak lapar.”Anggota keluarga lainnya menatap prihatin kepada wanita itu. Farzan berdiri kemudian berjalan ke dekat Arini.“Kakak makan ya. Kalau Mas Brandon tahu Kakak nggak mau makan, pasti bakalan sedih,” bujuknya mengambil alih sendok yang ada di tangan Alyssa.“Brandon?”Farzan mengangguk cepat. “Kita nggak tahu kapan Mas Brandon pulang ke rumah, jadi Kakak makan dulu. Biar Kakak kelihatan cantik kalau Mas Brandon pulang.”Senyum merekah di paras cantik Arini, sehingga memperlihatkan lesung pipi di kedua belah pipi. “Brandon pulang
Setelah mendapatkan telepon dari salah satu tim yang dibentuk kepolisian, seluruh keluarga Harun tanpa terkecuali segera berangkat ke Sukabumi. Mereka berangkat menggunakan dua mobil, karena tidak cukup menampung semuanya.Farzan mengemudi sendirian. Ada Arini dan Elfarehza yang ikut bersama dengannya. Sementara yang lain berada di mobil yang satu lagi, dikemudikan oleh supir.Sepanjang perjalanan, Arini terus melafalkan doa agar informasi yang diberikan oleh polisi benar. Dia berharap semoga orang tersebut benar-benar Brandon. Meski menurut petugas tersebut, tubuhnya lebih kurus dan tidak terawat dari yang ada di foto.“Mami nggak boleh lupa, El,” gumam Arini yang duduk di jok belakang, “Mami harus ingat.”Arini mengerahkan seluruh kemampuan, agar tidak melupakan apa yang telah terjadi. Dia tidak membiarkan penyakit Alzheimer mengambil kendali atas dirinya. Sejak tadi, Arini mengetikkan kalimat yang sama di ponselnya.&lsqu
“Seberapa mirip sih, Bram?” selidik Farzan.“Kalau lepas kerudung mirip banget, Zan,” sahut Bramasta yakin.Farzan menyandarkan punggung di dinding. Dia memikirkan segala kemungkinan wanita itu Nadzifa. Kepalanya menggeleng cepat.“Kayaknya nggak mungkin deh,” kata Farzan ragu.“Kenapa nggak mungkin, Dek?” Arini ikutan nimrung.“Zizi pernah bilang belum siap pake kerudung. Katanya harus dari hati dulu.”Elfarehza berdecak beberapa kali seraya geleng-geleng kepala. “Yang namanya hidayah itu kita nggak tahu, Bang. Bisa jadi ada yang bikin Kak Nadzifa mau tutup aurat, ‘kan?”Bramasta manggut-manggut setuju dengan perkataan El.“Allah maha membolak-balikkan hati manusia, Dek. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Apalagi kamu udah sebulan lebih nggak ketemu sama Nadzifa, ‘kan? Siapa tahu sekarang dia beneran pakai hijab. Jangan bilang