***
"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya.
"Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu.
"Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.
Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.
Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri.
"Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia dengan perempuan lain dan apa kamu pernah dengar dia membantah ucapan kakak? Ngga kan?" tanya Dina.
"Iya." Dira menjawab dengan malas. Semua yang Dina ucapkan benar. Andai dia yang berada di posisi kakaknya, pasti akan sangat bahagia karena mendapat suami tampan, kaya, penyayang dan penurut seperti Radit.
"Jadi, jangan kamu ragukan kesetiaan iparmu itu." Dina kembali menatap Laptopnya. Ia sedikit kesal dengan Dira yang meragukan suaminya. Bagaimana mungkin pria itu berpaling, sedangkan pelayanannya selalu memuaskan. Bukan hanya bagian kasur, tetapi mata suaminya pun terpuaskan dengan penampilannya yang selalu modis, tubuh yang terawat dan wajah yang glowing. Ia tidak pernah membuat malu saat dibawa ke mana-mana.
"Kak, Kakak ngga lupa niat anak pelakor itu tinggal di rumah Kakak? Putri sudah dekat dengan Diana dan sudah dapat pembelaan dari mas Radit, loh. Kalau keseringan, bisa-bisa kita yang di skak sama suami Kakak itu." Dira masih terus mengompori.
Ada benarnya ucapan Dira. Menurut Dina, langkah putri sangat bagus sebagai pelakor pemula. Pertama, masuk rumahnya, mengambil hati anaknya. Kemudian suaminya, setelahnya meminta perlindungan dua orang itu untuk aksinya membalas dendam padanya dan Dira. Sungguh, itu tidak boleh terjadi.
"Kamu ada ide?" tanya Dina sambil menatap Dira.
"Ya ngga ada." Dira menegakkan duduknya. "Tapi kita harus buat mas Radit ilfil sama dia, biar ngga ada lagi yang belain."
"Caranya?"
"Ngga tau. Gue laper. Belom bisa mikir."
Dina mendengkus.
"Kak, bagi uang. Mau beli makan." Dira menyengir setelah berucap.
"Kamu beli makan sekalian jemput Diana." Dina mengambil uang dalam tasnya.
"Males pakek banget. Belum bisa lupain kaki gue diinjak sama teman Diana. Gue mutusin itu hari pertama dan terakhir gue jemput anak elo. Elo tau, gue ngga suka anak-anak. Tingkah mereka itu bikin gue siaga melulu." Dira berdiri, berjalan ke arah meja kerja Dina untuk mengambil uang merah yang disodorkan.
"Kakak lagi sibuk masalahnya." Dina kembali fokus pada Laptopnya.
"Suruh asisten Kakak aja."
"Dia juga lagi sibuk packing. Barang hari ini harus dikirim semua. Ngga mungkin mau nyuruh mas Radit, dia pasti juga lagi sibuk."
"Nah, repot, kan? Kenapa juga harus cepat-cepat punya anak kalau masih mau berkarir."
Ucapan Dira menohok hati Dina. Hatinya terasa nyeri. Namun, kembali memfokuskan pikiran pada info pelanggan.
"Kenapa ngga suruh Putri aja," saran Dira yang membuat senyum Dina terbit.
"Benar. Kakak lupa kalau ada Putri di antara kita sekarang. Kenapa kita harus merepotkan diri mikir ini itu, kan ada Putri. Tugas kita sekarang itu membuatnya repot." Dina menatap manis pada Dira.
"Bener. Gue setuju. Kan dia sekarang pembantu kita, jadi harus direpotin." Dira tertawa.
"Bener-bener. Ya udah, kamu ada nomernya?" tanya Dina.
"Ngga ada, Kak." Dira melipat tangan di depan dada. Ia bersandar di meja kerja Kakaknya. "Ponsel gue mendadak pecah layarnya kalau masukin nomer dia."
"Ya udah, kakak telpon ibu aja, sekalian mau tanya kabarnya."
"Boleh. Aku keluar beli makanan, ya."
"Ya." Jawaban Dina membuat Dira berjalan pergi. Sedangkan sang Kakak sibuk mencari nomer ibunya dalam ponsel.
Ngobrol lima belas menit, Dina mendapatkan apa yang ia mau. Nomer Putri. Beralasan kalau lupa meminta dan sedang membutuhkan jasa gadis itu untuk menjemput Diana. Amalia pun memberinya dengan suka rela. Mengira anak tirinya sudah diterima di keluarga anak kandungnya.
"Ibu, hati-hati. Jaga kesehatan," ucap Dina diakhir komunikasi.
"Iya, Nak. Ibu sehat dan akan baik-baik saja kalau kamu akur dengan kedua adikmu."
Dina menghela napas. Ia sebenarnya sedikit bingung dan kesal dengan perhatian lebih yang Putri dapatkan dari Ibunya. Harusnya anak pelakor itu dibenci bukan disayangi. Sudah ibunya mengambil Bapak, malah masih saja berbaik hati dengan anak haram itu. Entah terbuat dari apa hati Ibunya.
"Dina mau kembali kerja. Lagi sibuk, Bu."
"Iya. Sesibuk apapun jangan lupa tugas sebagai istri dan seorang ibu."
"Dina tau."
Dina menutup komunikasi dengan Ibunya tanpa salam. Rasanya kesal selalu mendapat ceramahan. Mana mungkin melupakan status. Ini juga perjuangannya untuk anak dan suami, jadi kalau melakukan kesalahan, harus dimaklumi. Saat ia sukses, dua orang tercinta itu pasti juga bangga.
Dina menyimpan nomer Putri dengan tulisan 'Babu Forever' setelahnya ia menelepon.
"Hallo, Kak." Kalimat pembuka dari Putri dengan suara yang lembut.
"Lama banget angkat telepon. Lagi ngapain kamu? Enak-enakan makek fasilitas rumahku, kan? Dasar kurang ajar!" maki Dina.
"Ngga, Kak. Putri baru selesai balik jemuran."
Dina menghela napas. "Jemput Diana sekarang ke sekolahnya. Bawa pulang ke rumah."
"Iya, Kak. Tapi ... sekolahnya di mana?" tanya Putri.
"Cari sendiri."
Dina memutuskan komunikasi. Ia tersenyum puas saat mengerjai Putri. Hatinya sangat senang.
"Biar mampus!" ucapnya sembari menaruh ponsel di atas meja. Namun, dering kembali berbunyi dari benda pipih itu. Mawar, nama teman arisannya muncul.
"Hallo, War," ucap Dina setelah menerima telepon, menaruh benda pipih itu ke telinga kanannya.
"Mawar. Manggil itu yang lengkap, Dina, biar kedengarannya bagus."
Dina tertawa. "Iya, sorry. Kenapa, Say?"
"Ngga lupa besok kita arisan, kan? Teman-teman ngajak ketemuan di restoran mewah, mau?"
"Mau, lah. Eh ... tapi gimana kalau arisan besok di rumah aku aja." Seketika Dina dapat ide untuk kembali membuat repot Putri.
"Di rumah kamu?"
"Iya. Tenang, makanan dari restoran terkenal, banyak cemilan dan kita lebih leluasa ngobrol."
"Boleh. Oke. Aku bilang sama yang lainnya. Sampai jumpa besok."
"Oke."
Dina tersenyum semakin lebar. Entah mengapa ia tidak sabar menunggu hari esok. Putri akan benar-benar menjalani perannya sebagai pembantu. Melihat gadis itu menderita adalah kebahagiaan tersendiri baginya.
"Kak, kenapa?" tanya Dira yang baru datang. Di tangan gadis itu ada dua box nasi.
"Besok ada arisan di rumah kakak."
"Kenapa di rumah Kakak? Biasanya juga di luar. His, Kak, arisan di rumah itu merepotkan. Harus siapin makanan, cemilan, minuman dan bikin males saat beberes pas udah kelar acara. Aku males lo turun tangan bersih-bersih. Baru pakek kuteks mahal nih." Dira duduk di sofa, menaruh box nasi di meja. Kemudian memperlihatkan sepuluh kuku jarinya yang berwarna putih mengkilat.
Dina menghela napas. "Kenapa kita yang repot, kan ada Putri."
"Oh iya, Bener pakek banget. Setuju banget kalau ada acara arisan di rumah. Nanti kenalin aku sama teman-teman sosialita Kakak, ya."
"Oke. Putri juga bakalan kakak kenalin ke mereka."
"Putri juga?" tanya Dira tidak percaya.
"Ya. Liat aja besok."
Walaupun masih bingung, Dira pun tersenyum membalas seringaian mengerikan Kakaknya. Ia tidak sabar menunggu kejutan yang dibuat saudara kandungnya untuk si anak pelakor.
****
***"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam."Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya."Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman."Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana."Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. A
***"Putri!" Panggilan Dina membuat Putri mau tidak mau harus keluar kamar. Berjalan cepat sambil menyiapkan mental baja untuk menghadapi dua Kakaknya dan sahabat-sahabatnya karena muncul dengan pakaian tidak layak seperti ini.Pakaian yang dipakai Putri adalah pemberian Dina. Ia juga yang merancang bahkan menjahitnya. Kain-kain sisa di butik yang ia sulap menjadi daster."Putri!" Panggilan kedua membuat langkah Putri semakin lebar."Iya, Nyonya," jawabnya setelah sampai di hadapan Dina dan lainnya. Tadi, Dira telah menekankan kata Nyonya buat Dina dan Nona buatnya, membuat gadis itu merasa sepenuhnya pembantu di rumah ini, tidak ada hubungan keluarga sama sekali."Ambilin jus," suruh Dina dengan angkuh."Baik, Nyonya." Putri langsung menuju dapur. Mengambil nampan yang sudah terisi 10 gelas berisi jus warna orange yang terlihat segar. Membawa kembali ke ruang tamu. Segera
***Putri merebahkan dirinya di ranjang. Jam 5 sore barulah bisa istirahat. Itupun setelah menyapu, mengepel, buang sampah dan cuci piring.Gadis itu menyeka air matanya. Kemudian menghela napas berulang-ulang. Hari ini sungguh melelahkan, menguras kesabaran juga. Tubuhnya terasa lemas dengan hati yang sepertinya hanya tersisa sepotong saja. Sepotong lainnya telah hancur akibat bersabar dari hinaan.Tadi, Bukan hanya disuruh duduk sembari menunduk dan membantu menyiapkan makanan, gadis itu juga disuruh jalan kaki menuju mini market yang letakkan cukup jauh. Bukan hanya sekali, tetapi 5x. Membeli kacang kulit, minuman kaleng, kacang kulit lagi, minuman kaleng lagi dan terakhir membeli permen dengan harga 5000 rupiah. Harus di tempat yang ditentukan Dina, sebagai bukti, wanita itu meminta struk pembayaran.Bukan hanya malu karena bolak-balik, Putri juga malu karena menjadi pusat perhatian di jalan maupun di
***Radit membuka mata tepat jam 8 malam. Ia segera mandi dan keluar kamar. Tidak berniat membangunkan istrinya yang terlihat sangat nyenyak."Dir, ngga ada makanan?" tanya Radit setelah berkunjung ke dapur. Pria itu kembali menghampiri adik iparnya yang berada di sofa ruang tamu. Kemudian bertanya."Ngga ada, Mas. Kan biasanya kak Dina yang nyiapin semua. Ini ... aku juga udah laper banget. Kak Dina ngapain, sih?" tanyanya. Dira menaruh ponsel di pahanya dan memegang perutnya yang sebenarnya tidak lapar sama sekali. Gadis itu baru saja balik dari makan warung di depan gang. Namun, mengompori dengan maksud lain."Dina lagi tidur. Kecapean. Ya udah, mending kamu masak. Ada bahan kan di dapur?"Dira membulatkan mata. Apa? Masak? Itu adalah hal yang tidak pernah ia lakukan."Aku ngga bisa, Mas. Terlalu lemes, ngga bisa banyak gerak," ucapnya beralasan.Radit
***"Aunty senang ngga tinggal di sini?"Pertanyaan itu membuat Putri menghentikan aktifitas menyelimuti tubuh merek berdua. Gadis itu pun menatap keponakannya dengan senyum yang terpaksa. Tadi, setelah selesai makan malam, mereka sempat nonton bersama di ruang keluarga, tetapi saat Radit berpamitan masuk kamar, Diana pun meminta masuk ke kamar."Senang."Jawaban palsu Putri sukses membuat Diana tersenyum manis. Gadis kecil itu langsung memeluk Putri yang tidur terlentang. Ia bahkan tidur di lengan Auntynya."Diana juga senang ada Aunty di rumah ini.""Kenapa senang?""Ada teman main.""Emang suka main sama Aunty Putri?"Tanya jawab pun terjadi."Suka banget. Aunty itu baik, perhatian lagi. Coba Aunty itu mama aku, pasti senang banget."Baik dan perhatian, kapan? Sepertinya ia di rumah ini
***"Sudah bangun, Yang?" tanya Radit. Pria itu tengah memakai pakaian kantor.Dina beranjak duduk. Tidak menjawab pertanyaan suaminya. Ia malah membuka topik baru. Berucap sembari menatap kesal pada Radit."Mas, kenapa menu makan malam kita berbeda?"Radit menoleh, menatap wajah istrinya yang tetap cantik walau baru bangun tidur. Kemudian menjawab dengan santai, "Hanya ingin menu yang berbeda." Setelah berucap, ia kembali menatap cermin sembari mengancing kemeja warna biru navi.Hati Dina mengondok. Jawaban suaminya adalah pembelaan buat Putri. Jelas-jelas Dira bilang kalau adik tirinya yang meminta menu itu. Dengan kekesalan mendalam, wanita itu berjalan cepat ke kamar mandi.Radit mengambil sepatu di rak pojok kamar, duduk di tepi kasur dan memakai alas kaki itu.Dina keluar dari kamar mandi. Mukanya semakin masam. Ia berjalan ke lemari, mengeluarkan pa
***Putri keluar kamar setelah mendengar deru mesin mobil menjauh dari rumah. Langkahnya menuju ke dapur. Perutnya keroncongan, butuh diisi. Tadi, setelah selesai menjemur baju, ia berjalan ke kamar, Radit yang melihatnya memanggil untuk sarapan bersama, tetapi tatapan tajam Dina dan Dira membuatnya harus menggeleng dan masuk kamar tanpa menjawab.Putri menghela napas setelah melihat piring bekas sarapan masih berantakan berada di meja. Dua Kakaknya memang benar-benar tidak ingin ia tinggal dengan nyaman dan gratis di rumah ini, makanya selalu membuatnya bekerja, bekerja dan bekerja.Putri mencuci piring dulu, mengelap meja. Kemudian mencari makanan. Mengerjakan pekerjaan rumah sungguh menguras tenaga dan dengan makan tenaga itu akan pulih, sayangnya ia tidak mendapatkan menu apapun. Sepertinya makanan sisa yang Dira janjikan palsu. Gadis itu duduk di kursi. Lemas.Dreet!Ponsel dalam saku
***"Put, mbok yo sekali-sekali dilawan gitu loh. Aku dengernya aja gedek banget, masa kamu yang ngerasain 'B' aja," ucap Mita yang menasehati Putri sembari memperhatikan sahabatnya itu makan mie instan buatannya. Tadi, Putri menelepon, menyuruh menjemput di depan gang dan di sinilah gadis itu, berada di kosan. Sedikit menceritakan tentang kesialan yang dialami pagi ini, tetapi membuat banyak emosi Mita yang keluar."Mit, niat aku mau balas budi, bukan buat masalah, nambah masalah dan bermasalah." Putri menyeka keringatnya. Kuah mie yang panas, bercampur dengan rasa pedas berkat irisan cabai, makan tanpa gangguan, kenyang makan bukan tekanan, membuatnya merasa hidup kembali."Ya sekali-sekali dilawan. Aku tau kamu ngga bodoh-bodoh amat buat membalas mereka, hanya kamu terikat dengan kata balas budi. Jadinya kamu itu pasrah pada penderitaan tanpa mau memperjuangkan kebahagiaan. Tulul tau ngga." Mita berucap sambil mengambil