Share

Bagian 8 : Ide Buruk Lagi

***

"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya.

"Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu.

"Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.

Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.

Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri.

"Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia dengan perempuan lain dan apa kamu pernah dengar dia membantah ucapan kakak? Ngga kan?" tanya Dina.

"Iya." Dira menjawab dengan malas. Semua yang Dina ucapkan benar. Andai dia yang berada di posisi kakaknya, pasti akan sangat bahagia karena mendapat suami tampan, kaya, penyayang dan penurut seperti Radit.

"Jadi, jangan kamu ragukan kesetiaan iparmu itu." Dina kembali menatap Laptopnya. Ia sedikit kesal dengan Dira yang meragukan suaminya. Bagaimana mungkin pria itu berpaling, sedangkan pelayanannya selalu memuaskan. Bukan hanya bagian kasur, tetapi mata suaminya pun terpuaskan dengan penampilannya yang selalu modis, tubuh yang terawat dan wajah yang glowing. Ia tidak pernah membuat malu saat dibawa ke mana-mana.

"Kak, Kakak ngga lupa niat anak pelakor itu tinggal di rumah Kakak? Putri sudah dekat dengan Diana dan sudah dapat pembelaan dari mas Radit, loh. Kalau keseringan, bisa-bisa kita yang di skak sama suami Kakak itu." Dira masih terus mengompori.

Ada benarnya ucapan Dira. Menurut Dina, langkah putri sangat bagus sebagai pelakor pemula. Pertama, masuk rumahnya, mengambil hati anaknya. Kemudian suaminya, setelahnya meminta perlindungan dua orang itu untuk aksinya membalas dendam padanya dan Dira. Sungguh, itu tidak boleh terjadi.

"Kamu ada ide?" tanya Dina sambil menatap Dira.

"Ya ngga ada." Dira menegakkan duduknya. "Tapi kita harus buat mas Radit ilfil sama dia, biar ngga ada lagi yang belain."

"Caranya?"

"Ngga tau. Gue laper. Belom bisa mikir."

Dina mendengkus.

"Kak, bagi uang. Mau beli makan." Dira menyengir setelah berucap.

"Kamu beli makan sekalian jemput Diana." Dina mengambil uang dalam tasnya.

"Males pakek banget. Belum bisa lupain kaki gue diinjak sama teman Diana. Gue mutusin itu hari pertama dan terakhir gue jemput anak elo. Elo tau, gue ngga suka anak-anak. Tingkah mereka itu bikin gue siaga melulu." Dira berdiri, berjalan ke arah meja kerja Dina untuk mengambil uang merah yang disodorkan.

"Kakak lagi sibuk masalahnya." Dina kembali fokus pada Laptopnya.

"Suruh asisten Kakak aja."

"Dia juga lagi sibuk packing. Barang hari ini harus dikirim semua. Ngga mungkin mau nyuruh mas Radit, dia pasti juga lagi sibuk."

"Nah, repot, kan? Kenapa juga harus cepat-cepat punya anak kalau masih mau berkarir."

Ucapan Dira menohok hati Dina. Hatinya terasa nyeri. Namun, kembali memfokuskan pikiran pada info pelanggan.

"Kenapa ngga suruh Putri aja," saran Dira yang membuat senyum Dina terbit.

"Benar. Kakak lupa kalau ada Putri di antara kita sekarang. Kenapa kita harus merepotkan diri mikir ini itu, kan ada Putri. Tugas kita sekarang itu membuatnya repot." Dina menatap manis pada Dira.

"Bener. Gue setuju. Kan dia sekarang pembantu kita, jadi harus direpotin." Dira tertawa.

"Bener-bener. Ya udah, kamu ada nomernya?" tanya Dina.

"Ngga ada, Kak." Dira melipat tangan di depan dada. Ia bersandar di meja kerja Kakaknya. "Ponsel gue mendadak pecah layarnya kalau masukin nomer dia."

"Ya udah, kakak telpon ibu aja, sekalian mau tanya kabarnya."

"Boleh. Aku keluar beli makanan, ya."

"Ya." Jawaban Dina membuat Dira berjalan pergi. Sedangkan sang Kakak sibuk mencari nomer ibunya dalam ponsel.

Ngobrol lima belas menit, Dina mendapatkan apa yang ia mau. Nomer Putri. Beralasan kalau lupa meminta dan sedang membutuhkan jasa gadis itu untuk menjemput Diana. Amalia pun memberinya dengan suka rela. Mengira anak tirinya sudah diterima di keluarga anak kandungnya.

"Ibu, hati-hati. Jaga kesehatan," ucap Dina diakhir komunikasi.

"Iya, Nak. Ibu sehat dan akan baik-baik saja kalau kamu akur dengan kedua adikmu."

Dina menghela napas. Ia sebenarnya sedikit bingung dan kesal dengan perhatian lebih yang Putri dapatkan dari Ibunya. Harusnya anak pelakor itu dibenci bukan disayangi. Sudah ibunya mengambil Bapak, malah masih saja berbaik hati dengan anak haram itu. Entah terbuat dari apa hati Ibunya.

"Dina mau kembali kerja. Lagi sibuk, Bu."

"Iya. Sesibuk apapun jangan lupa tugas sebagai istri dan seorang ibu."

"Dina tau."

Dina menutup komunikasi dengan Ibunya tanpa salam. Rasanya kesal selalu mendapat ceramahan. Mana mungkin melupakan status. Ini juga perjuangannya untuk anak dan suami, jadi kalau melakukan kesalahan, harus dimaklumi. Saat ia sukses, dua orang tercinta itu pasti juga bangga.

Dina menyimpan nomer Putri dengan tulisan 'Babu Forever' setelahnya ia menelepon.

"Hallo, Kak." Kalimat pembuka dari Putri dengan suara yang lembut.

"Lama banget angkat telepon. Lagi ngapain kamu? Enak-enakan makek fasilitas rumahku, kan? Dasar kurang ajar!" maki Dina.

"Ngga, Kak. Putri baru selesai balik jemuran."

Dina menghela napas. "Jemput Diana sekarang ke sekolahnya. Bawa pulang ke rumah."

"Iya, Kak. Tapi ... sekolahnya di mana?" tanya Putri.

"Cari sendiri."

Dina memutuskan komunikasi. Ia tersenyum puas saat mengerjai Putri. Hatinya sangat senang.

"Biar mampus!" ucapnya sembari menaruh ponsel di atas meja. Namun, dering kembali berbunyi dari benda pipih itu. Mawar, nama teman arisannya muncul.

"Hallo, War," ucap Dina setelah menerima telepon, menaruh benda pipih itu ke telinga kanannya.

"Mawar. Manggil itu yang lengkap, Dina, biar kedengarannya bagus."

Dina tertawa. "Iya, sorry. Kenapa, Say?"

"Ngga lupa besok kita arisan, kan? Teman-teman ngajak ketemuan di restoran mewah, mau?"

"Mau, lah. Eh ... tapi gimana kalau arisan besok di rumah aku aja." Seketika Dina dapat ide untuk kembali membuat repot Putri.

"Di rumah kamu?"

"Iya. Tenang, makanan dari restoran terkenal, banyak cemilan dan kita lebih leluasa ngobrol."

"Boleh. Oke. Aku bilang sama yang lainnya. Sampai jumpa besok."

"Oke."

Dina tersenyum semakin lebar. Entah mengapa ia tidak sabar menunggu hari esok. Putri akan benar-benar menjalani perannya sebagai pembantu. Melihat gadis itu menderita adalah kebahagiaan tersendiri baginya.

"Kak, kenapa?" tanya Dira yang baru datang. Di tangan gadis itu ada dua box nasi.

"Besok ada arisan di rumah kakak."

"Kenapa di rumah Kakak? Biasanya juga di luar. His, Kak, arisan di rumah itu merepotkan. Harus siapin makanan, cemilan, minuman dan bikin males saat beberes pas udah kelar acara. Aku males lo turun tangan bersih-bersih. Baru pakek kuteks mahal nih." Dira duduk di sofa, menaruh box nasi di meja. Kemudian memperlihatkan sepuluh kuku jarinya yang berwarna putih mengkilat.

Dina menghela napas. "Kenapa kita yang repot, kan ada Putri."

"Oh iya, Bener pakek banget. Setuju banget kalau ada acara arisan di rumah. Nanti kenalin aku sama teman-teman sosialita Kakak, ya."

"Oke. Putri juga bakalan kakak kenalin ke mereka."

"Putri juga?" tanya Dira tidak percaya.

"Ya. Liat aja besok."

Walaupun masih bingung, Dira pun tersenyum membalas seringaian mengerikan Kakaknya. Ia tidak sabar menunggu kejutan yang dibuat saudara kandungnya untuk si anak pelakor.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status