Share

Bagian 7 : Momen Kesiangan

***

Pagi ini Putri menjalani perannya sebagai pembantu. Ia bangun subuh, setelah menjalankan dua rakaat, langsung beberes. Mencuci piring, menyapu, ngepel, siram bunga. Kemudian ia mencuci baju. Sudah ada 2 keranjang penuh cucian kotor di depan mesin cuci. Perpaduan baju Dira, Dina, Radit dan Diana. 

"Sabar, Put," ucapnya menguatkan. Ia menyeka dulu keringat di keningnya, setelahnya memasukan sebagian demi sebagian pakaian ke mesin. Mulai menggiling, membilas dan memasukkan ke mesin pengering, setelahnya menjemur di samping rumah.

Selesai.

Putri melakukan kerjaan itu dengan semangat, membuat tubuhnya terasa segar karena sekalian berolah raga. 

Gadis itu masuk ke dalam rumah, ke kamarnya, memutuskan untuk mandi. Namun, diurungkan ketika ada ketukan di pintu.

"Aunty." 

Itu suara Diana.

"Ya, tunggu," ucapnya sembari berjalan ke arah pintu. 

Ceklek!

Putri melihat Diana yang masih memakai baju tidur. Rambutnya, pun masih acak-acakan.

"Aunty bantu Diana bersiap ke sekolah, ya. Mama bisanya hanya ngomel. Padahal mama yang salah, bangun kesiangan. Jadi kita semua kesiangan." Diana cemberut. Tadi, ia dibangunkan paksa. Karena masih dalam keadaan kaget, ia hanya bisa diam saja. Mamanya malah mengomel sambil meninggalkannya pergi.

"Ya udah, ayo ke kamar Diana," ajak Putri. Diana mengangguk. Memegang tangan Auntynya dan berjalan sama-sama ke kamarnya di lantai atas.

"Loh, Nak, belum siap?" tanya Radit. Pria itu belum memakai dasi, bahkan bajunya belum masuk semua ke celana. Belum rapi.

"Belum. Mama hanya marah-marah. Ngga mau bantuin siap-siap," ucap Diana. Gadis kecil itu terlihat kesal.

"Put, tolong urus Diana, ya," ucap Radit.

"Ya, Mas." Putri mengangguk. Ia segera menarik tangan Diana. Harus secepat mungkin mempersiapkan keponakannya untuk ke sekolah.

"Mas, dasimu," ucap Dina.

"Mana, Sayang." Radit mengancing lengan kemejanya sembari duduk di kursi makan.

"Ini." 

Dina yang penampilannya masih acak-acakan--belum sisi rambut--berdiri di depan suaminya dan mulai memasangkan dasi.

"Mas, Maaf. Kesiangan," ucap Dina memelas.

"Ngga papa." Radit berdiri. Kemudian mengecup kening istrinya sebagai ucapan terima kasih. Kemudian ia kembali duduk.  "Kita sarapa apa?" tanyanya.

"Ya ampun, aku belum pesan makan, Mas." Dina menyengir.

"Kak, kok ngga bangunin. Mana udah hampir jam tujuh. Aku bisa telat," ucap Dira sembari ikut duduk di kursi makan. Gadis itu sangat tergesa-gesa sampai lipstiknya pun mengenai gigi depannya.

"Kakak aja kesiangan. Nih Mas-mu sama Diana juga jadi telat. Mana kakak mau ketemu klien."

"Hadeh. Besok kita pasang alarm di depan toa. Ya udah deh. Jadi, kita sarapan apa?" tanya Dira sembari melihat di atas meja makan yang kosong.

"Kakak lupa pesan makanan saking bingung nyari kaos kaki sama dasi Mas mu." 

"Ya ampun." Dira menepuk jidatnya.

"Papa," panggil Diana. Gadis itu menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Membuat Radit langsung menghampirinya dan menyambut dengan mengedong.

"Aduh, anak papa cantik sekali. Wangi lagi," ucap Radit. Ini bukan asal ucap, pagi ini Diana sangat berbeda dari hari-hari kemarin. Pagi ini lebih fresh dan cantik. Kuncir dua membuatnya terlihat lebih menggemaskan.

Dira dan Dina saling tatap. Kemudian menatap tidak suka pada Putri yang berjalan pelan menuruni tangga. 

"Kamu--"

"Mas yang suruh Putri buat bantu Diana bersiap. Habis tadi belum siap sama sekali. Bersiap sendirian bakalan telat." Radit memotong ucapan Dina. Ekspresi istrinya itu terlihat mau marah, padahal yang dilakukan adik tirinya baik.

"Kok ngga nyuruh Dira aja, Mas! Kenapa harus dia?" Dina tidak terima.

"Dira aja telat bangun, Sayang. Ngurus dirinya aja belum beres. Itu, giginya juga dipakaikan lipstik saking buru-burunya. Kalau ngurus Diana lagi, yang ada mereka berdua pada telat. Udahlah, Sayang. Harusnya makasih ke Putri karena sudah bikin anak kita terlihat lebih cantik." Radit mencium pipi Diana setelah berucap.

Mendengar ucapan Radit, Dira langsung mengambil cermin kecil dalam tasnya dan melihat giginya.

"Aku berangkat duluan," ucap Dira. Itu caranya menghindari momen memalukan. Gadis itu langsung berlari membuat Radit tertawa pelan.

"Mas, jangan gitu. Kasian Dira, pasti malu," ucap Dina yang tidak terima adiknya dibuat lelucon.

"Iya, maaf." Radit menurunkan Diana. "Ya udah, Mas dan Diana berangkat, nanti beli bubur di jalan aja."

"Ya udah. Aku juga mau berangkat." Dina menampakkan wajah tidak enak hati. Kesiangan memang hal yang selalu terjadi setelah pembantu cuti. Namun, kali ini lebih parah. 

"Assalamualaikum," ucap Radit setelah aksi cium tangan Dina.

"Waalaikumsalam." Dina tersenyum semanis mungkin.

"Dadah Aunty Putri," ucap Diana sembari melambai pada Putri yang berdiri di anak tangga pertama.

"Ya. Diana hati-hati," ucap gadis itu sembari membalas lambaian. 

Dina menatap tidak suka momen itu, tetapi Radit mengambil alih situasi dengan membawa Diana keluar rumah.

"Urusan kita belum selesai!" Ucapan tegas dari Dina membuat Putri mengangguk, setelahnya Kakaknya berangkat bersama anak dan suaminya.

**

"Ya gitulah, aku selalu serba salah," ucap Putri sembari tersenyum tipis.

15 menit yang lalu Mita menelepon via video call, menanyakan sudah adakah panggilan kerja, Putri jawab belum. Mereka pun terus mengobrol sampai gadis cantik itu curhat masalah masakan, jadi pembantu dan mendandani Diana. 

"Di gituin, kamu malah senyum? Aku takut kamu jadi psikopat, Put." Mita bergidik bahu.

"Aku hanya bisa senyum, buat penyemangat, Mit."

"Iya, sih. Kamunya sih, terlalu baik. Kalau aku, mending minggat," ucap Mita. Gadis gemuk itu tengah mengemil keripik singkong sambil tiduran.

"Andai aku diusir, aku pergi, Mit, tapi kalau pergi sendiri mah--"

"Ngga enak?" terka Mita.

Putri mengangguk. "Iya. Ngga enak sama Ibu Amelia yang udah ngerendahkan diri minta aku tinggal di sini, dan ngga enak sama mas Radit. Selain Diana, dia juga yang baik sama aku."

"Hati-hati, mak lampir makin cemburu."

Putri tertawa pelan. Mak lampir adalah panggilan Mita untuk Dira atau Dina. Jika ingin menyebut dua-duanya, dia akan mengatakan duo mak lampir.

"Entah rasa itu benci atau cemburu, yang pasti tuduhan setelah aku injak rumah ini, ya ... katanya aku mau jadi pelakor, merebut mas Radit. Padahal ngga ada niat."

"Niatin aja. Biar rasa. Dituduh pas ngga ngelakuin apapun itu sakit, mending buktikan. Kamu cantik, pakek polesan sedikit semakin menarik. Aku yakin iparmu pasti akan kegait." Mita berbicara dengan mulut yang penuh keripik. 

Benar kata Mita. Di tuduh itu sakit, apalagi tuduhan itu tidak benar, tetapi membuktikan merebut suami kak Dina membuat statusnya semakin buruk nantinya di mata masyarakat. Apa bedanya dong, ia sama Ibunya? Tetapi Dengan mengait Radit, pasti bisa membalaskan dendamnya, hanya sepertinya iparnya itu tipe setia. Bisakah dia jatuh hati pada anak pelakor sepertinya?

"Astagfirullah." Putri tersadar dari pikiran. Bisa-bisanya ia memikirkan suami orang. 

"Kenapa, Put?" tanya Mita.

"Gara-gara kamu, pikiranku ke mana-mana. Udah, ah. Aku mau nyari sarapan di depan kompleks dulu."

"Ngga makan di rumah? Masa rumah sebesar itu ngga ada stok bahan buat dimasak."

"Aku ngga boleh masak."

"Aneh kakak kamu."

"Biarin aja." Putri berdiri. Ia mengambil uang di dompet kecilnya dan berjalan ke luar kamar. 

"Kapan-kapan melawan," ucap Mita.

"Iya."

"Ya udah. Aku mau tidur. Kapan-kapan main ke sini."

"Iya. Assalamualaikum, gendut."

"Waalaikumsalam, langsing."

Putri dan Mita saling bertukar senyum. Kemudian  komunikasi itu terputus. 

"Sabar perut, ini lagi jalan cari makan," ucap Putri sembari mengelus perutnya yang berbunyi nyaring. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status