***
Pagi ini Putri menjalani perannya sebagai pembantu. Ia bangun subuh, setelah menjalankan dua rakaat, langsung beberes. Mencuci piring, menyapu, ngepel, siram bunga. Kemudian ia mencuci baju. Sudah ada 2 keranjang penuh cucian kotor di depan mesin cuci. Perpaduan baju Dira, Dina, Radit dan Diana.
"Sabar, Put," ucapnya menguatkan. Ia menyeka dulu keringat di keningnya, setelahnya memasukan sebagian demi sebagian pakaian ke mesin. Mulai menggiling, membilas dan memasukkan ke mesin pengering, setelahnya menjemur di samping rumah.
Selesai.
Putri melakukan kerjaan itu dengan semangat, membuat tubuhnya terasa segar karena sekalian berolah raga.
Gadis itu masuk ke dalam rumah, ke kamarnya, memutuskan untuk mandi. Namun, diurungkan ketika ada ketukan di pintu.
"Aunty."
Itu suara Diana.
"Ya, tunggu," ucapnya sembari berjalan ke arah pintu.
Ceklek!
Putri melihat Diana yang masih memakai baju tidur. Rambutnya, pun masih acak-acakan.
"Aunty bantu Diana bersiap ke sekolah, ya. Mama bisanya hanya ngomel. Padahal mama yang salah, bangun kesiangan. Jadi kita semua kesiangan." Diana cemberut. Tadi, ia dibangunkan paksa. Karena masih dalam keadaan kaget, ia hanya bisa diam saja. Mamanya malah mengomel sambil meninggalkannya pergi.
"Ya udah, ayo ke kamar Diana," ajak Putri. Diana mengangguk. Memegang tangan Auntynya dan berjalan sama-sama ke kamarnya di lantai atas.
"Loh, Nak, belum siap?" tanya Radit. Pria itu belum memakai dasi, bahkan bajunya belum masuk semua ke celana. Belum rapi.
"Belum. Mama hanya marah-marah. Ngga mau bantuin siap-siap," ucap Diana. Gadis kecil itu terlihat kesal.
"Put, tolong urus Diana, ya," ucap Radit.
"Ya, Mas." Putri mengangguk. Ia segera menarik tangan Diana. Harus secepat mungkin mempersiapkan keponakannya untuk ke sekolah.
"Mas, dasimu," ucap Dina.
"Mana, Sayang." Radit mengancing lengan kemejanya sembari duduk di kursi makan.
"Ini."
Dina yang penampilannya masih acak-acakan--belum sisi rambut--berdiri di depan suaminya dan mulai memasangkan dasi.
"Mas, Maaf. Kesiangan," ucap Dina memelas.
"Ngga papa." Radit berdiri. Kemudian mengecup kening istrinya sebagai ucapan terima kasih. Kemudian ia kembali duduk. "Kita sarapa apa?" tanyanya.
"Ya ampun, aku belum pesan makan, Mas." Dina menyengir.
"Kak, kok ngga bangunin. Mana udah hampir jam tujuh. Aku bisa telat," ucap Dira sembari ikut duduk di kursi makan. Gadis itu sangat tergesa-gesa sampai lipstiknya pun mengenai gigi depannya.
"Kakak aja kesiangan. Nih Mas-mu sama Diana juga jadi telat. Mana kakak mau ketemu klien."
"Hadeh. Besok kita pasang alarm di depan toa. Ya udah deh. Jadi, kita sarapan apa?" tanya Dira sembari melihat di atas meja makan yang kosong.
"Kakak lupa pesan makanan saking bingung nyari kaos kaki sama dasi Mas mu."
"Ya ampun." Dira menepuk jidatnya.
"Papa," panggil Diana. Gadis itu menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Membuat Radit langsung menghampirinya dan menyambut dengan mengedong.
"Aduh, anak papa cantik sekali. Wangi lagi," ucap Radit. Ini bukan asal ucap, pagi ini Diana sangat berbeda dari hari-hari kemarin. Pagi ini lebih fresh dan cantik. Kuncir dua membuatnya terlihat lebih menggemaskan.
Dira dan Dina saling tatap. Kemudian menatap tidak suka pada Putri yang berjalan pelan menuruni tangga.
"Kamu--"
"Mas yang suruh Putri buat bantu Diana bersiap. Habis tadi belum siap sama sekali. Bersiap sendirian bakalan telat." Radit memotong ucapan Dina. Ekspresi istrinya itu terlihat mau marah, padahal yang dilakukan adik tirinya baik.
"Kok ngga nyuruh Dira aja, Mas! Kenapa harus dia?" Dina tidak terima.
"Dira aja telat bangun, Sayang. Ngurus dirinya aja belum beres. Itu, giginya juga dipakaikan lipstik saking buru-burunya. Kalau ngurus Diana lagi, yang ada mereka berdua pada telat. Udahlah, Sayang. Harusnya makasih ke Putri karena sudah bikin anak kita terlihat lebih cantik." Radit mencium pipi Diana setelah berucap.
Mendengar ucapan Radit, Dira langsung mengambil cermin kecil dalam tasnya dan melihat giginya.
"Aku berangkat duluan," ucap Dira. Itu caranya menghindari momen memalukan. Gadis itu langsung berlari membuat Radit tertawa pelan.
"Mas, jangan gitu. Kasian Dira, pasti malu," ucap Dina yang tidak terima adiknya dibuat lelucon.
"Iya, maaf." Radit menurunkan Diana. "Ya udah, Mas dan Diana berangkat, nanti beli bubur di jalan aja."
"Ya udah. Aku juga mau berangkat." Dina menampakkan wajah tidak enak hati. Kesiangan memang hal yang selalu terjadi setelah pembantu cuti. Namun, kali ini lebih parah.
"Assalamualaikum," ucap Radit setelah aksi cium tangan Dina.
"Waalaikumsalam." Dina tersenyum semanis mungkin.
"Dadah Aunty Putri," ucap Diana sembari melambai pada Putri yang berdiri di anak tangga pertama.
"Ya. Diana hati-hati," ucap gadis itu sembari membalas lambaian.
Dina menatap tidak suka momen itu, tetapi Radit mengambil alih situasi dengan membawa Diana keluar rumah.
"Urusan kita belum selesai!" Ucapan tegas dari Dina membuat Putri mengangguk, setelahnya Kakaknya berangkat bersama anak dan suaminya.
**
"Ya gitulah, aku selalu serba salah," ucap Putri sembari tersenyum tipis.
15 menit yang lalu Mita menelepon via video call, menanyakan sudah adakah panggilan kerja, Putri jawab belum. Mereka pun terus mengobrol sampai gadis cantik itu curhat masalah masakan, jadi pembantu dan mendandani Diana.
"Di gituin, kamu malah senyum? Aku takut kamu jadi psikopat, Put." Mita bergidik bahu.
"Aku hanya bisa senyum, buat penyemangat, Mit."
"Iya, sih. Kamunya sih, terlalu baik. Kalau aku, mending minggat," ucap Mita. Gadis gemuk itu tengah mengemil keripik singkong sambil tiduran.
"Andai aku diusir, aku pergi, Mit, tapi kalau pergi sendiri mah--"
"Ngga enak?" terka Mita.
Putri mengangguk. "Iya. Ngga enak sama Ibu Amelia yang udah ngerendahkan diri minta aku tinggal di sini, dan ngga enak sama mas Radit. Selain Diana, dia juga yang baik sama aku."
"Hati-hati, mak lampir makin cemburu."
Putri tertawa pelan. Mak lampir adalah panggilan Mita untuk Dira atau Dina. Jika ingin menyebut dua-duanya, dia akan mengatakan duo mak lampir.
"Entah rasa itu benci atau cemburu, yang pasti tuduhan setelah aku injak rumah ini, ya ... katanya aku mau jadi pelakor, merebut mas Radit. Padahal ngga ada niat."
"Niatin aja. Biar rasa. Dituduh pas ngga ngelakuin apapun itu sakit, mending buktikan. Kamu cantik, pakek polesan sedikit semakin menarik. Aku yakin iparmu pasti akan kegait." Mita berbicara dengan mulut yang penuh keripik.
Benar kata Mita. Di tuduh itu sakit, apalagi tuduhan itu tidak benar, tetapi membuktikan merebut suami kak Dina membuat statusnya semakin buruk nantinya di mata masyarakat. Apa bedanya dong, ia sama Ibunya? Tetapi Dengan mengait Radit, pasti bisa membalaskan dendamnya, hanya sepertinya iparnya itu tipe setia. Bisakah dia jatuh hati pada anak pelakor sepertinya?
"Astagfirullah." Putri tersadar dari pikiran. Bisa-bisanya ia memikirkan suami orang.
"Kenapa, Put?" tanya Mita.
"Gara-gara kamu, pikiranku ke mana-mana. Udah, ah. Aku mau nyari sarapan di depan kompleks dulu."
"Ngga makan di rumah? Masa rumah sebesar itu ngga ada stok bahan buat dimasak."
"Aku ngga boleh masak."
"Aneh kakak kamu."
"Biarin aja." Putri berdiri. Ia mengambil uang di dompet kecilnya dan berjalan ke luar kamar.
"Kapan-kapan melawan," ucap Mita.
"Iya."
"Ya udah. Aku mau tidur. Kapan-kapan main ke sini."
"Iya. Assalamualaikum, gendut."
"Waalaikumsalam, langsing."
Putri dan Mita saling bertukar senyum. Kemudian komunikasi itu terputus.
"Sabar perut, ini lagi jalan cari makan," ucap Putri sembari mengelus perutnya yang berbunyi nyaring.
****
***"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya."Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu."Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri."Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia den
***"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam."Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya."Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman."Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana."Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. A
***"Putri!" Panggilan Dina membuat Putri mau tidak mau harus keluar kamar. Berjalan cepat sambil menyiapkan mental baja untuk menghadapi dua Kakaknya dan sahabat-sahabatnya karena muncul dengan pakaian tidak layak seperti ini.Pakaian yang dipakai Putri adalah pemberian Dina. Ia juga yang merancang bahkan menjahitnya. Kain-kain sisa di butik yang ia sulap menjadi daster."Putri!" Panggilan kedua membuat langkah Putri semakin lebar."Iya, Nyonya," jawabnya setelah sampai di hadapan Dina dan lainnya. Tadi, Dira telah menekankan kata Nyonya buat Dina dan Nona buatnya, membuat gadis itu merasa sepenuhnya pembantu di rumah ini, tidak ada hubungan keluarga sama sekali."Ambilin jus," suruh Dina dengan angkuh."Baik, Nyonya." Putri langsung menuju dapur. Mengambil nampan yang sudah terisi 10 gelas berisi jus warna orange yang terlihat segar. Membawa kembali ke ruang tamu. Segera
***Putri merebahkan dirinya di ranjang. Jam 5 sore barulah bisa istirahat. Itupun setelah menyapu, mengepel, buang sampah dan cuci piring.Gadis itu menyeka air matanya. Kemudian menghela napas berulang-ulang. Hari ini sungguh melelahkan, menguras kesabaran juga. Tubuhnya terasa lemas dengan hati yang sepertinya hanya tersisa sepotong saja. Sepotong lainnya telah hancur akibat bersabar dari hinaan.Tadi, Bukan hanya disuruh duduk sembari menunduk dan membantu menyiapkan makanan, gadis itu juga disuruh jalan kaki menuju mini market yang letakkan cukup jauh. Bukan hanya sekali, tetapi 5x. Membeli kacang kulit, minuman kaleng, kacang kulit lagi, minuman kaleng lagi dan terakhir membeli permen dengan harga 5000 rupiah. Harus di tempat yang ditentukan Dina, sebagai bukti, wanita itu meminta struk pembayaran.Bukan hanya malu karena bolak-balik, Putri juga malu karena menjadi pusat perhatian di jalan maupun di
***Radit membuka mata tepat jam 8 malam. Ia segera mandi dan keluar kamar. Tidak berniat membangunkan istrinya yang terlihat sangat nyenyak."Dir, ngga ada makanan?" tanya Radit setelah berkunjung ke dapur. Pria itu kembali menghampiri adik iparnya yang berada di sofa ruang tamu. Kemudian bertanya."Ngga ada, Mas. Kan biasanya kak Dina yang nyiapin semua. Ini ... aku juga udah laper banget. Kak Dina ngapain, sih?" tanyanya. Dira menaruh ponsel di pahanya dan memegang perutnya yang sebenarnya tidak lapar sama sekali. Gadis itu baru saja balik dari makan warung di depan gang. Namun, mengompori dengan maksud lain."Dina lagi tidur. Kecapean. Ya udah, mending kamu masak. Ada bahan kan di dapur?"Dira membulatkan mata. Apa? Masak? Itu adalah hal yang tidak pernah ia lakukan."Aku ngga bisa, Mas. Terlalu lemes, ngga bisa banyak gerak," ucapnya beralasan.Radit
***"Aunty senang ngga tinggal di sini?"Pertanyaan itu membuat Putri menghentikan aktifitas menyelimuti tubuh merek berdua. Gadis itu pun menatap keponakannya dengan senyum yang terpaksa. Tadi, setelah selesai makan malam, mereka sempat nonton bersama di ruang keluarga, tetapi saat Radit berpamitan masuk kamar, Diana pun meminta masuk ke kamar."Senang."Jawaban palsu Putri sukses membuat Diana tersenyum manis. Gadis kecil itu langsung memeluk Putri yang tidur terlentang. Ia bahkan tidur di lengan Auntynya."Diana juga senang ada Aunty di rumah ini.""Kenapa senang?""Ada teman main.""Emang suka main sama Aunty Putri?"Tanya jawab pun terjadi."Suka banget. Aunty itu baik, perhatian lagi. Coba Aunty itu mama aku, pasti senang banget."Baik dan perhatian, kapan? Sepertinya ia di rumah ini
***"Sudah bangun, Yang?" tanya Radit. Pria itu tengah memakai pakaian kantor.Dina beranjak duduk. Tidak menjawab pertanyaan suaminya. Ia malah membuka topik baru. Berucap sembari menatap kesal pada Radit."Mas, kenapa menu makan malam kita berbeda?"Radit menoleh, menatap wajah istrinya yang tetap cantik walau baru bangun tidur. Kemudian menjawab dengan santai, "Hanya ingin menu yang berbeda." Setelah berucap, ia kembali menatap cermin sembari mengancing kemeja warna biru navi.Hati Dina mengondok. Jawaban suaminya adalah pembelaan buat Putri. Jelas-jelas Dira bilang kalau adik tirinya yang meminta menu itu. Dengan kekesalan mendalam, wanita itu berjalan cepat ke kamar mandi.Radit mengambil sepatu di rak pojok kamar, duduk di tepi kasur dan memakai alas kaki itu.Dina keluar dari kamar mandi. Mukanya semakin masam. Ia berjalan ke lemari, mengeluarkan pa
***Putri keluar kamar setelah mendengar deru mesin mobil menjauh dari rumah. Langkahnya menuju ke dapur. Perutnya keroncongan, butuh diisi. Tadi, setelah selesai menjemur baju, ia berjalan ke kamar, Radit yang melihatnya memanggil untuk sarapan bersama, tetapi tatapan tajam Dina dan Dira membuatnya harus menggeleng dan masuk kamar tanpa menjawab.Putri menghela napas setelah melihat piring bekas sarapan masih berantakan berada di meja. Dua Kakaknya memang benar-benar tidak ingin ia tinggal dengan nyaman dan gratis di rumah ini, makanya selalu membuatnya bekerja, bekerja dan bekerja.Putri mencuci piring dulu, mengelap meja. Kemudian mencari makanan. Mengerjakan pekerjaan rumah sungguh menguras tenaga dan dengan makan tenaga itu akan pulih, sayangnya ia tidak mendapatkan menu apapun. Sepertinya makanan sisa yang Dira janjikan palsu. Gadis itu duduk di kursi. Lemas.Dreet!Ponsel dalam saku