Share

Bagian 6 : Jadi Pembantu

***

Putri berjalan penuh semangat ke arah pintu rumah yang terbuka. Tadi, ia dan Mita sudah menaruh berkas lamaran pekerjaan, setelahnya jalan-jalan keliling mall dan makan bakso sebelum pulang, jadi saat nanti tidak ikut makan malam, ia tetap bisa tidur tanpa ganguan kelaparan.

"Assalamualaikum," ucapnya sembari melangkah masuk. Namun, senyum dan semangatnya luntur saat melihat Dira dan Dina yang duduk si sofa, melipat tangan di dada dan menatapnya dengan tajam. Putri mematung di depan pintu. Tubuhnya seakan sulit digerakkan. Ia merasa seperti pencuri yang ketahuan.

"Assalamualaikum." Suara dari belakang Putri membuat gadis itu, bahkan Dira dan Dina menatap Radit yang memasuki rumah.

"Waalaikumsalam."

Seperti biasa, Dina berdiri, menghampiri dan menyambut kedatangan suaminya dengan aksi cium tangan.

"Udah pulang, Mas?"

Pertanyaan bodoh dari mulut Dina membuat Putri mengulum senyum. Ya, ia hanya bisa menertawakan dalam hati demi kedamaian.

Radit mengangguk. Ia mengecup kening Dina. Kemudian melihat Putri yang terlihat baru pulang dari bepergian, hanya berdiri di tempat. Bukannya masuk, segera menganti baju, malah seperti patung penunggu pintu.

"Putri kenapa, Yang?" tanya Radit.

"Itu, Mas--" Dina menatap Dira. Kedipan mata sebagai kode bahwa akan terjadi sebuah kebohongan lagi.

"Itu, itu apa?" tanya Radit sembari melonggarkan dasi. Ia hanya ingin tahu, takut ada pembully-an di sini. Riwayat hubungan Dira dan Dina dengan Putri itu buruk. Radit selalu merasa iba kalau ipar tirinya itu di benci atas kesalahan yang tidak ia buat. Dulu, saat belum tinggal bersama, rasa iba itu hanya seperti angin lalu, tetapi saat bersama seperti ini, ia yang sudah berjanji akan menjaga gadis itu merasa punya tanggung jawab untuk melindungi.

"Cuma negur Putri, Mas. Habisnya kunci rumah tadi aku temukan di depan pagar. Kalau di temu orang jahat, habis semua isi rumah kita. Teledor sekali. Bisa-bisanya menjatuhkan kunci."

Putri menautkan alis matanya. Ia menoleh, menatap Dina yang tersenyum miring padanya. Kunci jatuh, jelas-jelas ia menitipkan pada Satpam depan.

Radit menatap Putri. Raut wajah gadis itu terlihat ... mengemaskan. Bibir mungil yang terbuka sedikit itu menarik perhatian. Radit beristigfar dalam hati karena memuji adik tirinya.

"Untung jatuhnya di depan rumah. Kalau di tempat lain, aku kan ngga bisa masuk, Mas. Aku lupa bawa kunci cadangan." Dira ikut mendrama.

"Lain kali hati-hati," ucap Radit.

"Iya, Mas." Putri menatap Radit, mengangguk. Kemudian tersenyum manis. "Sudah ngga ada lagi tuduhan, kan? Kalau gitu, aku permisi ke kamar dulu." Putri pun melangkah.

"Tuduhan? Maksud elo apa? Kita ngga nuduh. Kenyataan gue nemu kunci di depan pagar. Lain kali jangan teledor. Sudah bagus diizinkan tinggal di sini," ucap Dira

"Iya, Kak." Putri menjawab sembari menatap Dira. Memberi senyuman manis untuk Kakak tirinya itu. Yang disenyumin malah terlihat kesal.

Putri masuk kamar. Menghela napas berulang-ulang. Ada-ada saja kelakuan 2 kakaknya untuk membuatnya malu dan menderita. Biarlah, toh ia masih punya banyak stok senyuman manis untuk membalasnya.

Gadis itu memutuskan mandi dan saat ia keluar kamar mandi, dikejutkan dengan Dira yang sudah duduk di tepi ranjang.

"Kak Di--"

"Gue bukan kakak elo. Stop panggil gue kakak. Sumpah, telinga gue rasanya pengen copot karena panggilan itu." Dira menatap sinis pada Putri yang sedang menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil.

"Elo pakai pakaian kayak gitu di rumah ini, mau menggoda mas Radit?" tanya Dira dengan mata memicing. Putri terlihat seksi dengan kaos putih lengan pendek dan celana levis diatas lutut yang pres bodi. Hati Dira panas karena merasa kalah dari segala segi. Wajah juga bodi. Hanya status yang menguntungkannya. Terlahir dari rahim wanita baik, berbeda dengan adik tirinya itu.

Putri menatap pakaiannya. Kemudian menatap pakaian Dira. Menurutnya, yang pantas dikatakan pakaian penggoda itu adalah yang dipakai Kakaknya. Tangtop dan celana gemes lebih seksi daripada apa yang dipakainya. Sudahlah, Putri yakin Dira tidak ingin dicela.

"Nanti aku ganti, Kak." Putri berjalan ke arah meja rias. Mengambil sisir dan merapikan rambutnya. "Kak Dira ada perlu?" tanyanya, tidak biasanya kakaknya itu akan menghampirinya. Sudah terbiasa membuat Putri lebih santai menghadapi kebencian Kakak-Kakaknya. Berbeda saat masih kecil, ia akan sangat ketakutan sampai sembunyi, menangis padahal belum diapa-apakan bahkan pernah pipis di celana.

"Ya."

"Perlu apa?" tanya Putri sembari berbalik.

Dira berdiri. "Perlu buat gue nyadari elo yang ngga tau diri. Maksud elo apa tinggal di rumah ini?"

Putri menghela napas. "Aku dipaksa ibu."

"Ngarang. Gue tau betul elo pasti yang ngerengek minta ke sini, kan? Elo mau ikutin jejak ibu elo dengan menjadi pelakor di hubungan bahagia kak Dina dan mas Radit, kan?"

Putri tersenyum. Ia mengepalkan tangan di belakang tubuhnya. "Aku ngga ada niatan kayak gitu, Kak." Rasanya bosan selalu dituduh, hanya gadis itu tidak bisa menghindar karena ingin balas budi. Bukan sekali dua kali dibully dengan kata-kata mau ngambil, mau merebut, dulu saat Dira putus sama pacarnya, dirinya selalu yang disalahkan.

"Bohong! Mana ada pelakor mau ngaku."

"Serius, Kak. Aku ngga sejahat itu."

"Cih! Awas saja kalau elo macam-macam." Dira menatap semakin sinis. Berhadapan dengan Putri selalu membuatnya murka. Sekarang gadis itu sudah tidak ketakutan seperti dulu. Sikapnya tenang dan selalu berakhir dengan senyuman, bukan tangisan, hal itu sangat menyebalkan buat Dira, dan kalah seksi ... membuatnya sangat amat ingin sekali menghajar adik tirinya hingga babak belur.

Putri mengangguk, merespon ancaman Kakaknya. "Ada lagi?" tanyanya sembari tersenyum tipis. Senyum membuat gadis itu merasa kuat untuk menghadapi kehidupannya.

"Elo tinggal di sini, jangan cuma enak-enakan di kamar saja." Dira berucap sembari melipat tangan di dada.

"Kak Dina ngga ngeboleh--"

"Mulai malam ini elo boleh dan harus ngelakuin tugas-tugas di rumah ini dengan baik. Hitung-hitung sebagai biaya numpang. Elo bayangin, ngekos di luar sana dengan fasilitas seadanya saja mahal, elo tinggal di rumah ini, tidur di kamar ini dengan fasilitas bagus, elo ada niat buat bayar sewa? Jangan mikir mau tinggal gratis ya, karena tidak ada yang gratis di dunia ini."

"Aku akan bayar kalau memang harus."

"Dengan apa? Uang? Emang punya?"

"Ya, nanti aku kerja dulu."

"Haduh, lama. Mending bayar dengan tenaga aja." Dira berdiri. Ia berjalan dan berhenti dihadapan Putri. "Nyapu, ngepel, cuci baju, siram bunga, nyuci piring, ngikutin perintah gue dan kak Dina, hanya satu yang ngga boleh elo lakuin."

"Apa?" tanya Putri setenang mungkin.

"Masak. Elo ngga boleh masak buat makan kita sekeluarga. Gimana, setuju?"

Putri diam. Dengan mengatakan setuju, berarti ia menjadi babu di rumah ini. Tidak mempermasalahkan nyuci, ngepel-nya, hanya mengikuti perintah dua kakaknya yang membuatnya ngeri.

"Aku ngga masalah nyuci atau ngepel, Kak, tapi kenapa ada poin harus ngikuti kemauan kalian?"

"Ikutin aja. Em ... tapi kalau elo ngga mau ngelakuin poin-poin tadi, ngga masalah. Elo bisa membayar kamar ini aja. Sebulan itu, 3 juta. Ini hasil kesepakatan gue sama kak Dina, loh. Jadi, elo pilih mana?" Dira tersenyum miring. Ia suka situasi yang menyudutkan Putri.

Putri menghela napas. Ia belum kerja dan kalau sudah kerja, pasti gaji pertamanya nanti, pun tidak sampai harga sewa kamar ini. Tetiba kepalanya terasa nyeri.

"Gimana? Atau elo mau laporan ke ibu, ngerengek biar kami di marahin? Elo mau bikin hubungan anak dan ibu kandung berantakan? Sungguh amat sangat tidak tau diri." Ucapan Dira penuh penekanan. Gadis itu semakin tersenyum miring saat melihat Putri tertekan.

"Aku ngga akan bilang apa-apa ke ibu." Sudah cukup Amalia berbaik hati padanya, ia tidak mau lagi menambah budi baik wanita tua itu padanya, karena akan semakin susah untuknya membalas.

"Bagus. Kalau gitu silahkan jawab. Gue harus ngasih jawaban elo ke kak Dina," desak Dira.

"Kasih aku waktu."

"Buat apa? Buat berpikir, pikir apa, sih? Bukanya pekerjaan rumah udah biasa kamu lakukan? Gue kasih waktu dua detik. Tik, tik. Waktu habis. Sekarang jawab ya atau tidak."

"Kak, aku ngga masalah dengan melakukan pekerjaan di rumah ini, tapi tidak dengan mengikuti perintah kalian." Lebih baik diusir, ia akan senang hati pergi, tetapi tetap disuruh menetap dengan status orang yang mengikuti perintah ....

"Kenapa ngga mau kami perintah? Jangan durhaka sama kakak. Ngga boleh. Ngga baik. Gini, aku jelasin. Kamu kan melakukan semua tugas di rumah ini kecuali Masak, jadi kami para majikanmu, masa ngga boleh perintah-perintah. Kan, babu itu wajib disuruh-suruh." Dira tertawa. Sedangkan Putri menatap tajam kakak tirinya itu.

Sebenarnya, tanpa disuruh beberes, Putri pasti akan melakukan karena itu pesan Amalia. Ia sadar kalau menumpang, makanya ingin membantu merawat rumah dengan suka rela. Sayangnya Dina tidak memperbolehkan. Kali ini, Dira datang membawa kabar kalau ia boleh membantu merawat rumah, tetapi dengan statusnya sebagai pembantu. Miris.

"Mulai malam ini sampai seterusnya, kamu jadi babu kami."

"Ngga mau!" tolak Putri.

"Woe! Numpang pakek otak. Bagus dijadikan pembantu, kalau elo kita jual ke om-om, mau? Elo Kasian kalau Kak Dina yang baru pulang kerja harus beberes. Gue sibuk, ngga bisa bantu dan ngga etis juga kalau sampai mas Radit turun tangan ikut menyapu. Elo tau, kan, pembantu di rumah ini lagi cuti dan ngga mungkin cari pembantu baru. Elo ngga kita usir, tapi elo harus mengurus rumah dan kami."

Putri menatap tidak suka pada Dira. Ingin sekali menampar, tetapi niat itu luntur ketika teringat kebaikan Amalia.

Air mata Putri mengalir. Entah sampai kapan ia akan terbebas dari penyiksaan batin ini. Ia berharap suatu saat nanti akan hidup bahagia, dikelilingi oleh orang-orang yang sayang dengannya.

"Gimana, lama banget dah jawabnya. Dah, gue anggap elo setuju. Harusnya elo makasih sama gue dan kak Dina, dengan cara mengabdi ke kita, elo bisa menebus kesalahan ibu elo ke ibu gue. Dulu ibu elo nyakiti ibu gue, sekarang gue yang nyakiti elo. Impas."

Diamnya Putri membuat Dira terlihat puas. Gadis itu berjalan ke pintu. Namun, ia menghentikan langkah dan menoleh. "Anak pelakor, masalah ini ngga boleh ditau mas Radit. Kalau dia sampai tau dan itu dari elo, elo bakalan tau akibatnya."

Putri tersenyum. Kemudian mengangguk. "Oke," ucapnya serak.

Dira keluar kamar. Meninggalkan Putri yang  menitikan air mata. Ia sekarang bukan hanya bercap anak pelakor, tetapi juga pembantu. Sungguh nikmat penderitaannya.

Putri menghela napas. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Ia harus menyiapkan mental dalam mengabdi pada 2 Kakaknya.

"Perbanyak stok kesabaran, Put," ucapnya menyemangati diri sendiri.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status