Share

Bagian 5 : Ide Buruk

***

"Sayang, bukannya tadi ada yang masak, baunya wangi sekali, kok kita sarapan pakek roti?" tanya Radit. Ia merasa heran.

"Oh, itu ... anu ... kata Dira, masakan yang tadinya buat sarapan dijatuhi cicak, jadi dibuang." Dengan gagap, Dina mampu menyelesaikan kalimat kebohongan. Dia segera mengoles selai Kacang di atas roti, menumpuk dengan satu roti lagi, setelahnya menyerahkan pada suaminya.

"Makasih, Sayang." Radit mengigit rotinya. "Emang tadi pagi kamu masak apa, Dir?" tanya Radit sembari menatap Dira yang sedang mengoles selai stroberi ke rotinya. 

"Em ... itu ...  Mas, anu ...."

"Ya ampun, saking mikir keras tentang pelajaran kuliah, sampe jadi pelupa gitu. Tadi kamu masak ayam kecap, kan?" Dina mengedipkan sebelah matanya untuk kode.

"Oh, iya Mas. Aku masak ayam kecap. Karena cicak, jadi dibuang." Dira tersenyum paksa. Kakaknya itu menjengkelkan, masa mengajak membuat kebohongan tanpa kompromi dulu.

"Oh. Padahal dari baunya, pasti masakan itu rasanya lezat." Radit menyayangkan masakan itu. Setelah mencium aromanya, ia yakin pasti rasanya akan cocok di lidahnya. Pasalnya, setelah Bi Inem, pembantu rumah tangganya cuti seminggu yang lalu, pria itu tidak pernah merasa cocok dengan masakan yang istrinya beli. Namun, tetap memakan karena tidak ingin mengecewakan.

"Nanti aku belikan, Mas," ucap Dina. Wanita itu mengunyah rotinya pelan. 

"Mas maunya kamu yang masak."

"Ngga bisa, Mas. Kuku aku baru perawatan," tolak Dina membuat Radit menghela napas berat.

"Ma, aunty Putri mana?" tanya Diana. Gadis kecil itu sudah siap dengan pakaian sekolah. Pipi gembilnya bergoyang saat ia menguyah roti berisi selai stroberi. Terlihat menggemaskan.

"Ngga tau!" Dina menjawab asal. Ia lebih tenang tidak ada Putri. Jujur ia mulai merasa cemburu dengan gadis itu yang sudah bisa mencuri pujian dari suaminya. Rasanya, ia harus memberi pelajaran supaya adik tirinya itu tidak macam-macam.

"Dir, panggil Putri. Kita sarapan bersama," suruh Radit.

"Ngga usah dipanggil. Dia ngga biasa makan roti," ucap Dina.

"Sayang, mau sampe kapan bersikap seperti ini sama dia. Putri adik kamu, walaupun tiri. Mungkin memang ibunya ngambil bapak, kekesalan kalian harusnya sama ibunya, jangan anaknya."

Dina menatap tidak percaya pada suaminya. Pria dingin itu mulai banyak bicara dan itu tentang adik tirinya. Sekali lagi, Putri mengambil miliknya, yaitu rasa iba suaminya. 

"Dir, panggil Putri," suruh Radit lagi. Bukan apa-apa, hanya merasa tidak enak saja mengabaikan Putri saat kumpul-kumpul seperti ini. Lagian Ibu mertunya menitipkan supaya ada yang memantau, kalau seperti ini namanya mengabaikan.

"Ngga usah, Dir!" Dira yang sudah mau berdiri, kembali duduk karena larangan Kakaknya. "Mas! Mas ini kenapa, hah?" Dina bertanya dengan mata yang memerah dan suara yang menggelegar. "Oke, Dira panggil Putri sekarang, tapi aku ngga ikut kalian sarapan. Mas mau sarapan dengan aku atau Putri?!" tanya Mama Diana itu penuh penekanan.

Radit menghela napas. "Kita lanjut makan." 

Dina tersenyum penuh kemenangan. 

***

Lagi, Putri merasa kesepian di rumah sebesar ini. Semua orang sudah beraktifitas sedangkan ia masih rebahan dengan tubuh lemah dan perut yang keroncongan. Semalam, ia bersyukur bisa makan, walaupun itu sisa Diana, tetapi perlakuan buruk Dina tadi pagi membuat tenaganya terkuras habis hanya untuk melakukan gerakan tersenyum ikhlas.

Ia tidak masalah tidak dipanggil sarapan bersama, toh, lebih bagus karena tidak akan bertemu dengan kakak-kakaknya. Ia jadi bisa mengistirahatkan telinga dan hatinya.

Kruyuk-kruyuk!

Putri mengelus perutnya. Bisa saja dia sekarang ke dapur dan makan apa saja yang ada di sana. Hanya saja tidak ingin apa yang dilakukan mengakibatkannya mendapat omelan. Gadis itu hanya berkuasa atas kamar ini, tidak dengan ruangan lainnya. 

Dreet!

Ponsel Putri bergetar. Telepon masuk dari Mita.

"Hallo, Assalamualaikum," ucap Putri. Ia perlahan duduk. Masih dengan memegang perut. Baru 2 hari tinggal di sini, ia sudah merasa 2 kali juga kelaparan. 

"Waalaikumsalam. Jadi mau naruh berkas lamaran?"

"Jadi. Aku siap-siap dulu."

"Mau aku jemput?"

"Ya. Aku ngga tau jalan."

"Aku juga ngga tau, Put. Kita naik taksi online aja. Besok-besok kalau udah tau jalan, baru naik angkot yang murah. Kirim alamat rumahmu."

"Oke." Putri tersenyum. Ini di kota, ia harus memanfaatkan momen merantaunya dengan berbagai  kejadian-kejadian seru supaya punya pengalaman. 

"Ya udah, bye!"

"Assalamualaikum," ucap Putri.

"Iya, iya. Waalaikumsalam."

Putri tersenyum. Ia pun mengirim alamat rumah, setelahnya segera beranjak untuk bersiap-siap. Mandi, memakai pakaian sopan dan rapi, mengoles make up senatural mungkin, meraih tas selempang dan mengambil map berisi berkas lamaran. Gadis itu siap mencari pekerjaan.

Ponselnya bergetar lagi. Telepon dari Mita, mengatakan kalau ia sudah berada di depan rumah. Putri langsung berlari keluar kamar, tidak lupa mengunci pintu utama dan mendadak pusing karena tidak tahu kunci itu harus di taruh di mana.

"Kenapa?" tanya Mita dari dalam Taksi.

"Kuncinya mau tarok di mana?" tanya Putri salah tempat. Ia bertanya pada orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan rumah mewah itu.

"Titipkan saja di satpam depan, Mbak," usul pak Sopir.

"Bener juga." Putri langsung masuk ke taksi dan kuda besi itu berjalan pelan.

Sesuai dengan ide sopir, kunci rumah megah itu ia titipkan pada Satpam depan kemplek. Takut kalau ada salah satu penghuni rumah itu pulang, sedangkan kunci ada di tangannya. Masalah bisa panjang.

"Titip ya, Pak," ucap Putri.

"Iya, Mbak." Satpam muda itu tersenyum ramah.

Taksi yang membawa Putri dan Mita pun berjalan pergi, menuju salah satu mall besar. Mereka berdua memutuskan untuk menaruh berkas lamaran di sana.

***

Dina pulang lebih awal. Ia tidak konsen dengan pekerjaan padahal di butik sedang sibuk-sibuknya. Pikirannya terus tertuju pada Radit. Ia tidak mau pria tercintanya berurusan dengan Putri, membuatnya harus memikirkan keras cara menyingkirkan adik tirinya atau paling tidak membuat gadis itu buruk di depan suaminya supaya dilepas dari tanggung jawab.

"Ma, laper," ucap Diana. Setiap pulang sekolah, gadis kecil itu akan di jemput Mamanya, dibawa ke butik dan pulang bersama-sama di sore hari.

"Mama pesanin makanan, ya." Dina yakin Putri tidak masak setelah tadi pagi ia melarangnya.

"Iya, Ma. Aku ganti baju dulu, ya." Diana berpamitan. Anggukan Dina membuatnya ke kamar, di lantai atas.

"Kak, sudah pulang? Cepet banget," ucap Dira yang baru juga pulang dari kampus. 

"Iya. Lagi banyak pikiran."

Dira duduk di sisi Dina. "Putri naruh kunci di satpam depan." Gadis itu menaruh kunci rumah di meja kaca. "Berani sekali dia nitip sama orang yang ngga dia kenal. Kalau satpam baru itu pencuri, habis rumah elo, Kak." 

Tadi Taksi Dira di stop di depan kompleks dan si satpam muda itu menyerahkan kunci rumah.

"Satpam depan bisa di percaya," ucap Dina.

"Iya, sih." Dira mengangguk. Gadis itu bersandar di punggung sofa, melepas penat. Sungguh, mata kuliahnya hari ini menguras energi dan pikiran.

"Dir," panggil Dina.

"Ya?"

"Kakak lagi sebel. Si Putri sudah pakai jurus ibunya. Suami kakak sudah mulai terpancing."

Dira menautkan alis matanya. 

"Putri cari perhatian. Dia masak pagi-pagi, mas Radit muji harum masakannya. Kan kakak jadi sebel. Terus tadi pakek acara ngajak sarapan bersama, benci banget tau ngga. Untung pesona kakak belum hilang, mas Radit akhirnya tetap memilih kakak." Dina tersenyum bangga walaupun sakit hatinya. Ia harus sering-sering merawat diri supaya suaminya terus jatuh hati.

"Oh, pantes. Ada kebohongan di pagi hari. Lain kali itu konfirmasi. Aku ngga tau apa-apa, malah ditanya masakan. Boro-boro masak, bedain kemiri, ketumbar sama merica aja aku ngga bisa."

Dina tertawa. "Emangnya kakak bisa? Kakak juga ngga bisa, makanya punya niatan nikah sama orang kayak biar punya pembantu atau bisa pesan makanan."

"Kakak enak banget, doanya dijabah. Semoga nanti gue juga punya suami macam mas Radit."

"Aamiin."

"Emang masakan tadi pagi di mana, Kak?" tanya Dira.

"Masakannya kakak buang. Siapa yang mau makan masakan dia? Em ... Kamu ada ide buat dia ngga betah tinggal di sini? Kalau kita usir, pasti dia bakalan lapor ibu dan kita kena imbasnya." 

Dina dan Dira saling tatap. Dua orang itu terlihat serius dengan obrolan mereka.

"Iya, Kak. Kedatangannya ke sini pasti dia sendiri yang minta, ngerengek-rengek ke ibu. Punya niatan buruk dia pasti sama keluarga di sini. Pasti mau rebut mas Radit. Kakak harus siaga."

"Nah, walaupun dia pasti tidak akan menang dari kakak, karena mas Radit sudah cinta mati sama kakak, kita harus mencari cara agar dia menderita batin yang sangat parah. Kamu ada ide apa?" tanya Dina.

"Bagiamana kalau kita jadikan dia babu. Melayani semua keperluan kita di rumah ini. Kalau dia bosan, pasti pergi tanpa di minta." Ide Dira.

"Tapi dia kalau keterima kerja, gimana?" tanya Dina.

"Ya, kita buat dia ngga bisa kerja di tempat lain. Hanya bisa kerja di sini, melayani kita. Dia harus menderita untuk menebus penderitaan ibu kita yang diambil ibu dia."

"Benar juga. Anak pelakor itu harus menebus kesalahan Ibunya dengan menjadi babu kita selamanya," ucap Dina sembari tersenyum manis.

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
kayaknya bakal menarik nih,btw author bakal update tiap berapa hari yah..? author ada sosmed engga?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status