Share

Bagian 4 : Serba Salah

***

Putri merasa dillema. Ini sudah sore, pasti sebentar lagi semua penghuni rumah akan pulang melepas lelah dan ia yang seharian berada di rumah tidak tahu harus memasak atau tidak. Mau memasak, takut ditegur karena menyentuh barang milik Kakaknya. Parahnya, kalau disangka mau menguasai rumah ini. Tidak memasak, malu rasanya jika mereka pulang dengan rasa lelah dan mungkin saja lapar, saat membuka tudung saji, nyatanya tidak berisi. Gadis itu pun mengelus perutnya yang keroncongan. Ia hanya sarapan, belum makan siang.

Putri berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar, menempelkan telinganya di daun pintu, mendengar suara Diana berbicara. Namun, ia urung keluar.

"Mama, laper," ucap Diana merengek.

Dina yang baru saja mendaratkan bokong di sofa ruang tamu, berdiri lagi, berjalan ke arah dapur. Ruangan itu bersih dan rapi, hanya saja saat ia membuka tudung saji di atas meja makan, kosong, tidak berisi. Rasa lapar dan lelah membuatnya murka, apa lagi ia tahu di rumah ini ada orang. Kenapa sampai tidak ada makanan pas ia datang? Sungguh, adik tirinya itu tidak punya pikiran.

"Putri!" teriaknya.

Putri tersentak kaget. Ia mengelus dadanya. Kemudian keluar kamar.

"Iya, Kak?"

"Kerjaan kamu di rumah seharian ini apa, hah?! Tidur, nonton televisi, main ponsel, santai-santai ... apa, hah?!"

"It--itu, Kak--"

"Itu apa?! Kenapa ngga ada makanan? Kamu masak buat kamu makan sendiri, iya? Dasar ngga punya otak! Seenaknya sekali tinggal di rumah orang!" Dina menoyor kepala Putri. Hal ini sebenarnya sudah biasa gadis itu dapatkan dari dulu, hanya saja masih selalu terasa nyeri di dalam hati.

"Kak, kenapa?" Tanpa salam, Dira nyelonong masuk. Segera ikut menatap Putri yang hanya menunduk. Gadis itu baru pulang dari kampus.

"Ini, dia di rumah seharian, tapi ngga melakukan apapun. Ngga masak. Ngga mikir kalau orang pulang dari kerja itu lapar dan pengennya langsung makan, eh ... malah ngga ada apapun di meja makan." Dengan kesal, Dina kembali menoyor kepala Putri.

Selama pembantu rumah tangganya cuti, pada biasanya, Dina selalu membeli makanan di luar untuk makan malam saat pulang dari butik, tetapi teringat ada Putri di rumah, ia pun mengandalkan gadis itu, nyatanya ia mendapat zonk.

Putri hanya menghela napas dan menerima perlakuan buruk Kakaknya. Tidak melakukan apapun, Putri itu hanya tidak memasak, tetapi pekerjaan lainnya semua beres.

"Nah, kan! Nyusahin emang dia ini." Dira ikut menyalahkan. "Udah ngemis-ngemis tinggal di sini, malah kelakuan macam bos." Omelnya.

"Kak, Putri udah beberes rumah, kok. Hanya belum masak saja. Habisnya takut--"

"Takut apa? Takut tangan elo lecet? Sok banget jadi orang." Lagi, Putri mendapat toyoran, kali ini dari Dira.

"Bukan, Kak. Ya ... ya udah, Putri masakin dulu." Putri tidak membela diri lagi, tetapi merendah. Ia malas berdebat.

"Ngga perlu. Dir, pesan makanan online, untuk berempat. Dia ngga usah." Setelah berucap, Dina melenggang pergi. Menyisakan Dira yang menatap bahagia pada Putri.

"Emang enak. Elo malam ini puasa, ya." Tawa renyah Dira membuat Putri sakit hati, tetapi ia tersenyum. Ini sudah biasa dan cukup disenyumin saja biar masalah cepat seleasai.

**

Kruyuk-kruyuk!

Perut Putri berbunyi. Tadi, ia melewatkan makan malam dengan alasan sudah mengambil bagian dan makan duluan. Lagian, mau makan, pun tidak ada bagiannya karena Kakaknya hanya memesan porsi pas.

Dreet!

Ponselnya di atas nakas bergetar, pertanda panggilan masuk.

Wajah Putri seketika berbinar saat tau jika Ibunya yang menelepon.

"Hallo, Bu. Assalamualaikum," ucapnya.

"Waalaikumsalam. Kamu sudah makan?" Pertanyaan itu langsung membuat Putri tersenyum tipis. Ia memegang perutnya yang keroncongan.

"Sudah, Bu."

"Kalian makan pakek apa? Siapa yang masak?" tanyanya lagi.

"Em ... makan pakek ayam goreng sama capcai. Kak Dina yang masak." Putri meremas kulit perutnya yang mulai terasa melilit.

"Oh, baguslah. Kamu lagi apa, Put?"

"Lagi baring-baring, Bu. Kekenyangan." Putri yang tadinya duduk di tepi kasur, kini beranjak, berbaring.

"Ibu kangen kamu, Nak. Sepi rasanya."

Putri tersenyum. Ia menyeka air mata yang lolos mengalir. Kangen? Ia pun merasakan hal itu. Lebih nyaman di kampung daripada di sini.

"Putri juga kangen. Ibu sehat-sehat."

"Kamu juga. Jangan lupa makan. Kamu punya penyakit maag, loh."

"Iya. Putri ngantuk, Bu. Tidur dulu, ya." Kebohongan demi kebohongan terus terjadi. Gadis itu mengakhiri komunikasi karena semakin lama perutnya semakin sakit.

"Iya. Assalamualikum."

"Waalaikumsalam." Putri menaruh ponsel kembali ke atas nakas. Kemudian ia memejamkan mata sembari mengigit bibir bawahnya.

Tok-tok!

Pintu kamarnya di ketuk.

"Aunty," panggil Diana.

Mata Putri terbuka. Ia menyeka air matanya. Kemudian beranjak untuk membukakan pintu.

Ceklek!

"Ya, Sayang," ucap Putri menatap Diana yang membawa piring berisi makanan.

"Suapin Diana, dong."

Alis mata Putri bertaut. Diana tahu Auntynya itu bingung.

"Mama lagi video call sama temannya. Papa pergi ke ruang kerjanya, setelah ada telepon dan aunty Dira ke kamar, katanya mau ngerjain tugas."

Putri terdiam. Orang-orang dewasa itu pergi sendiri-sendiri tanpa memikirkan perasaan anak kecil yang belum selesai makan, sungguh kisah yang memilukan.

"Aunty," panggil Diana.

"Ya. Eh! Ya udah, kita kembali ke dapur. Aunty suapin," ajak Putri.

"Ngga mau. Mau makan di kamar Aunty aja." Diana nyelonong masuk. Ia duduk di kursi meja rias.

Putri menyusul. Ia duduk melantai dihadapan Diana. Mengambil alih piring yang berisi lauk pauk yang lezat, membuatnya susah payah menelan saliva. Perutnya terasa semakin melilit.

"A ...." Putri menyuruh Diana buka mulut. Gadis kecil itu mengangguk dan menuruti. Wajahnya terlihat ceria, mungkin inseden seperti ini sudah terbiasa.

"Aunty beneran sudah makan?" tanya Diana.

"Sudah. Aunty sudah makan." Malam ini banyak sekali kebohongan yang Putri buat. Namun, menurutnya itu demi kebaikan.

"Diana senang ada Aunty di sini."

Putri tersenyum. Ia juga sedikit senang, setidaknya ada yang menerima kehadirannya dengan tulus. Ia pun terus menyuap keponakannya.

***

Hari ini, sengaja Putri bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan kewajiban sebagai perempuan, yaitu memasak dan beres-beres rumah. Biar tidak dikatai macam bos di rumah orang.

Harum bumbu yang ditumis menusuk indra penciuman Radit. Pria itu membuka mata perlahan. Mengira bau itu dari masakan istrinya, nyatanya Dina masih terlelap di sisinya. Pria itu menerka-nerka. Mungkinkah Dira yang memasak? Atau ....

"Yang, Sayang." Radit mengusap pipi Dina. Mengusik tidur lelap wanita ayu itu.

"Ya, Mas." Dina beranjak duduk. Menguap, setelahnya menggosok mata.

Radit pun beranjak duduk. "Siapa yang masak? Baunya harum. Mas jadi lapar."

Dina terdiam. Ia sedang membaui bau yang kata suaminya harum dan membuat lapar. Benar adanya, bau harum bumbu yang di tumis itu juga membuatnya lapar. Namun, ucapan langka suaminya membuatnya geram. Wanita itu tahu siapa yang memasak dan membenci kenapa gadis itu harus membuat suaminya mengatakan hal yang merujuk pada pujian.

'Gadis sialan!'

Dina segera menyibak selimut, berdiri. Kemudian berjalan cepat ke luar kamar. Tangannya yang mengepal itu ingin cepat menemukan sasaran.

Langkahnya terhenti di depan pintu dapur. Benar, Putri yang memasak. Gadis itu terlihat menikmati proses memasaknya, terlihat dari senyumnya yang mengembang.

Dengan langkah lebar, Dina mendekati adik tirinya itu. Mengambil kasar spatula dari tangan Putri. Kemudian membuangnya ke lantai. Ia mendorong tubuh Putri, membuat gadis itu mundur 2 langkah.

"Kak--"

Ucapan protes Putri harus terhenti saat Dina menatapnya tajam. Sorot penuh kebencian terlihat jelas. Lagi, bukan Putri takut--ini sudah biasa--hanya saja diamnya gadis itu supaya masalah cepat selesai.

Dina mematikan kompor. Ia melihat di atas wajan terisi daging ayam yang bercampur dengan bumbu kecap, terlihat lezat. Namun, ia mengambil lap, memegang telinga wajan, berjalan ke arah tempat sampah, menumpahkan masakan Putri ke dalam tong pembuangan itu.

Mata Putri membulat sempurna.

Dina tersenyum miring. "Jangan lancang menyentuh barang-barang di rumah ini dan jangan pernah cari perhatian sama mas Radit."

Klontang!

Dina menjatuhkan wajan ke lantai. Ia pun berjalan pergi dengan senyuman puas setelah melihat mata Putri berkaca-kaca.

Putri menghela napas. Merasa serba salah seperti ini sudah ia alami sedari kecil. Cukup disenyumin dan berharap suatu saat apa yang ia lakukan akan dihargai. Gadis itu pun pergi meninggalkan dapur.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status