***
Putri berjalan di belakang Amalia menuju ke ruang makan untuk sarapan bersama. Sebenarnya gadis itu enggan karena insiden semalam, saat Dina dan Dira menolak makan bersama dengannya, akhirnya Radit dengan tegas memarahi dua orang itu. Ia merasa tidak enak hati dan meyakini setelah ini pembalasan dendam pasti terjadi.
"Bu, Putri, silahkan duduk," ucap Radit ramah. Bukan sok ramah, pria itu tau betul bagaimana harus bersikap dengan orang tua.
"Makasih, Nak Radit. Ayo, Put." Amalia menarik tangan Putri. Mereka pun duduk bersisian di sisi Diana, berhadapan dengan Radit, Dina dan Dira. Dua wanita dewasa itu menatap sinis pada Putri, membuat gadis itu hanya bisa menunduk, bukan takut, tetapi menghormati, biar tidak dikatai menantang masalah.
"Nanti Ibu biar Radit yang antar, ya, sekalian searah sama kantor dan sekolah Diana," ucap Radit ramah. Ia mengambil piring sodoran Istrinya yang sudah penuh nasi dan lauk pauk, mengucap terima kasih dengan senyuman dan kembali menatap Amalia.
"Makasih, Nak. Maaf, ibu merepotkan."
"Tidak sama sekali, Bu. Ya sudah, Ibu silahkan makan."
"Iya, Nak."
Sarapan pagi pun berlangsung, tanpa ada percakapan, hanya sorot mata tajam Dira dan Dina yang terus mengarah pada Putri. Membuat gadis itu tidak nyaman, tetapi tetap menikmati sarapan karena ini adalah rezeky dari Tuhan.
**
Amalia melepas pelukan. Putri menghela napas berat. Ia menarik napas, menyeka air matanya. Kemudian menatap dengan senyuman manis wajah Ibunya. Sedih sekali akan ditinggal. Namun, keputusan untuk bekerja sudah bulat. Bersabar sedikit lagi menghadapi dua kakak tirinya, setelah ia mendapat gaji dari tempat kerja, akan menyisihkan sedikit untuk membeli rumah biar secepatnya bisa pindah.
"Jaga diri baik-baik," ucap Amalia. Tidak bisa dipungkiri, ia juga sedih berjauhan dari Putri. Pada biasanya mereka akan bersama-sama terus setiap hati. Setelah ini, di rumah kampungnya sana pasti terasa sepi. Hidup sendiri tanpa siapapun menemani.
"Ibu juga jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, kabarin Putri." Air mata gadis itu mengalir deras. Ibu tiri rasa kandung itu sangat berarti buatnya.
"Iya." Amalia beralih menatap Dira dan Dina yang menatapnya dengan malas. Mungkin drama perpisahannya dengan Putri membuat mereka sakit mata, tetapi jujur, berat hati meninggalkan Putri diantara anak-anaknya yang punya sifat pembenci. Seketika ia merasa bersalah dengan ide konyol ini.
"Putri akan baik-baik saja di sini, Bu. Ibu tenang saja."
Ucapan Radit membuat Amalia menatapnya. Kemudian tersenyum. Ada perasaan lega. Ia berharap kata-kata itu adalah sebuah janji.
Amalia kembali menatap Dira dan Dina. "Ibu pulang dulu. Ibu titip Putri."
Dira dan Dina tidak menjawab.
"Ibu hati-hati," ucap Dina.
"Jaga diri baik-baik," ucap Dira.
"Iya, Nak. Makasih atas perhatian kalian. Ibu pamit." Amalia memeluk Dina dan Dira bergantian. Kemudian memeluk cucunya.
"Cucu nenek sehat terus, rajin belajar dan bahagia selalu, ya."
"Baik, Nek." Diana menjawab mantap dengan senyuman lebar.
"Kita berangkat, Bu," ajak Radit.
"Ya."
"Mas berangkat, Sayang," ucap Radit pada Dina. Pria itu mengulurkan tangan. Sang istri menyalami dengan takjim, memberi senyuman. Kemudian kecupan di pipi sang suami.
"Hati-hati, Mas. Jaga mata juga hati," ucapnya manja.
"Iya." Radit tersenyum. Ia mengecup kening istrinya. Kemudian berjalan ke arah mobil bersama Amalia dan Diana yang sekalian mau berangkat sekolah.
"Dadah!" Dina melambai saat mobil keluar dari garasi, setelahnya berbalik menatap Putri yang sejak tadi juga memperhatikan kuda besi yang membawa ibunya. Tangannya ingin melambai, tetapi diurungkan, takut kalau Kakaknya salah paham.
"Lihat keharmonisan hubungan kami, kan? Ngga ada celah buat pelakor!" Dina berucap sembari mendorong dada Putri mengunakan jari telunjuk, setelahnya ia dan Dira masuk ke dalam rumah.
Putri diam mematung. Ia tidak mengerti apa maksud ucapan Kakaknya. Pelakor? Ia bukan pelakor, hanya anak seorang pelakor.
***
Rasa sepi membuat Putri ingin menangis. Dira sudah berangkat ke kampus. Sedangkan Dina, Kakaknya itu sudah berangkat ke Butik.
Gadis itu sudah memasukkan pakaiannya ke lemari. Entah, apa yang harus dilakukan lagi untuk membunuh kejenuhan.
Dreet!
Ponselnya bergetar. Ia segera mengambil dan menerima telepon dari Mita, sahabatnya.
"Hallo, Assalamualaikum," ucapnya membuka obrolan.
"Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja, kan?"
Pertanyaan Mita membuat Putri tersenyum. Perhatian sahabatnya itu tidak berkurang sedikitpun.
"Baik. Kamu?"
"Ngga. Aku kepikiran kamu terus. Janjian mau sama-sama, kok malah pisah."
"Kemauan ibu aku. Ngga bisa nolak." Putri beranjak berdiri. Berjalan ke arah jendela, melihat keluar. Tidak ada pemandangan bagus, hanya tembok pagar yang menjulang tinggi.
"Karena mau balas budi? Ya Allah, kamu kok yo bisa setabah itu, Put." Mereka berangkat satu angkot dan berpisah setelah sampai di terminal.
"Ya harus. Ibu aja tabah ngurus aku dari kecil, padahal aku anak selingkuhan suaminya."
"Ya udah, mau cari kerja kapan?" tanya Mita.
"Besok aja. Hari ini mau istirahat dulu."
"Hati kamu sakit, kan?"
Putri tersenyum. Mita sahabatnya, tidak kaget kalau dia tahu seluk beluk kehidupannya.
"Put, Put, padahal udah dua tahun hati dan telinga kamu aman. Malah sekarang mau-maunya kembali ke momen penderitaan."
Selama 2 tahun, saat Dira lulus dan memutuskan kuliah di kota, hari-hari Putri sangat baik. Telinga dan hatinya aman dari sindiran pedas bahkan bullyan kakak tirinya itu.
"Mau di apa, Mit. Semoga kita cepat dapat kerja, aku bisa nyisikan uang buat beli rumah."
"Aamiin. Put, mumpung di kota, kenapa ngga sekalian nyari ibu kandungmu?" tanya Mita.
Putri terdiam. Sejak bayi bersama Amalia, ia tidak tau seperti apa wajah Ibu kandungnya. Tidak ada jejak yang ditinggalkan pula. Mustahil untuk mencarinya.
"Mita, ibu aku ... ibu Amalia. Ya sudah, sepertinya aku mau jalan-jalan ke dapur. Mau cari kerjaan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Komunikasi berakhir. Putri menghela napas. Ada rasa ingin bertemu dengan Ibu kandung, tetapi kemustahilan mereka akan bertemu membuat gadis itu enggan memikirkan. Lagian, ia cukup dengan Ibu Amalia, tidak ingin Ibu yang lainnya.
Putri menaruh ponsel di atas kasur. Ia pun berjalan ke luar kamar, menuju dapur. Pertama, ia mencuci piring bekas sarapan, setelahnya menyapu dapur, ruang tamu, kamarnya dan teras. Kemudian dilanjutkan ngepel. Terakhir, menyiram bunga di teras yang hampir layu. Setelah selesai, ia mandi dan memutuskan rebahan di kamar.
Gadis itu ingin menonton televisi, seperti saat di rumah kampung, selalu membunuh kejenuhan dengan nonton film kartun, sayangnya ia tidak berani memakai fasilitas elektronik di rumah ini. Tahu diri kalau statusnya hanya menumpang, tidak ingin pula dibilang lancang.
Putri menghela napas. Ia merasa kesepian. Ya, kesepian, disaat rumah sebesar ini hanya ada dirinya seorang. Huft!
****
***Putri merasa dillema. Ini sudah sore, pasti sebentar lagi semua penghuni rumah akan pulang melepas lelah dan ia yang seharian berada di rumah tidak tahu harus memasak atau tidak. Mau memasak, takut ditegur karena menyentuh barang milik Kakaknya. Parahnya, kalau disangka mau menguasai rumah ini. Tidak memasak, malu rasanya jika mereka pulang dengan rasa lelah dan mungkin saja lapar, saat membuka tudung saji, nyatanya tidak berisi. Gadis itu pun mengelus perutnya yang keroncongan. Ia hanya sarapan, belum makan siang.Putri berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar, menempelkan telinganya di daun pintu, mendengar suara Diana berbicara. Namun, ia urung keluar."Mama, laper," ucap Diana merengek.Dina yang baru saja mendaratkan bokong di sofa ruang tamu, berdiri lagi, berjalan ke arah dapur. Ruangan itu bersih dan rapi, hanya saja saat ia membuka tudung saji di atas meja makan, kosong, tidak berisi. Rasa lap
***"Sayang, bukannya tadi ada yang masak, baunya wangi sekali, kok kita sarapan pakek roti?" tanya Radit. Ia merasa heran."Oh, itu ... anu ... kata Dira, masakan yang tadinya buat sarapan dijatuhi cicak, jadi dibuang." Dengan gagap, Dina mampu menyelesaikan kalimat kebohongan. Dia segera mengoles selai Kacang di atas roti, menumpuk dengan satu roti lagi, setelahnya menyerahkan pada suaminya."Makasih, Sayang." Radit mengigit rotinya. "Emang tadi pagi kamu masak apa, Dir?" tanya Radit sembari menatap Dira yang sedang mengoles selai stroberi ke rotinya."Em ... itu ... Mas, anu ....""Ya ampun, saking mikir keras tentang pelajaran kuliah, sampe jadi pelupa gitu. Tadi kamu masak ayam kecap, kan?" Dina mengedipkan sebelah matanya untuk kode."Oh, iya Mas. Aku masak ayam kecap. Karena cicak, jadi dibuang." Dira tersenyum paksa. Kakaknya itu menjengkelkan, masa mengajak membuat kebohongan tanpa kompromi dulu."Oh. Padahal dari
*** Putri berjalan penuh semangat ke arah pintu rumah yang terbuka. Tadi, ia dan Mita sudah menaruh berkas lamaran pekerjaan, setelahnya jalan-jalan keliling mall dan makan bakso sebelum pulang, jadi saat nanti tidak ikut makan malam, ia tetap bisa tidur tanpa ganguan kelaparan. "Assalamualaikum," ucapnya sembari melangkah masuk. Namun, senyum dan semangatnya luntur saat melihat Dira dan Dina yang duduk si sofa, melipat tangan di dada dan menatapnya dengan tajam. Putri mematung di depan pintu. Tubuhnya seakan sulit digerakkan. Ia merasa seperti pencuri yang ketahuan. "Assalamualaikum." Suara dari belakang Putri membuat gadis itu, bahkan Dira dan Dina menatap Radit yang memasuki rumah. "Waalaikumsalam." Seperti biasa, Dina berdiri, menghampiri dan menyambut kedatangan suaminya dengan aksi cium tangan. "Udah pulang, Mas?" Pertanyaan bodoh dari mulut D
***Pagi ini Putri menjalani perannya sebagai pembantu. Ia bangun subuh, setelah menjalankan dua rakaat, langsung beberes. Mencuci piring, menyapu, ngepel, siram bunga. Kemudian ia mencuci baju. Sudah ada 2 keranjang penuh cucian kotor di depan mesin cuci. Perpaduan baju Dira, Dina, Radit dan Diana."Sabar, Put," ucapnya menguatkan. Ia menyeka dulu keringat di keningnya, setelahnya memasukan sebagian demi sebagian pakaian ke mesin. Mulai menggiling, membilas dan memasukkan ke mesin pengering, setelahnya menjemur di samping rumah.Selesai.Putri melakukan kerjaan itu dengan semangat, membuat tubuhnya terasa segar karena sekalian berolah raga.Gadis itu masuk ke dalam rumah, ke kamarnya, memutuskan untuk mandi. Namun, diurungkan ketika ada ketukan di pintu."Aunty."Itu suara Diana."Ya, tunggu," ucapnya sembari berjalan ke arah pintu.Ceklek!Putri melihat Diana yang masih memakai baju tidur
***"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya."Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu."Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri."Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia den
***"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam."Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya."Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman."Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana."Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. A
***"Putri!" Panggilan Dina membuat Putri mau tidak mau harus keluar kamar. Berjalan cepat sambil menyiapkan mental baja untuk menghadapi dua Kakaknya dan sahabat-sahabatnya karena muncul dengan pakaian tidak layak seperti ini.Pakaian yang dipakai Putri adalah pemberian Dina. Ia juga yang merancang bahkan menjahitnya. Kain-kain sisa di butik yang ia sulap menjadi daster."Putri!" Panggilan kedua membuat langkah Putri semakin lebar."Iya, Nyonya," jawabnya setelah sampai di hadapan Dina dan lainnya. Tadi, Dira telah menekankan kata Nyonya buat Dina dan Nona buatnya, membuat gadis itu merasa sepenuhnya pembantu di rumah ini, tidak ada hubungan keluarga sama sekali."Ambilin jus," suruh Dina dengan angkuh."Baik, Nyonya." Putri langsung menuju dapur. Mengambil nampan yang sudah terisi 10 gelas berisi jus warna orange yang terlihat segar. Membawa kembali ke ruang tamu. Segera
***Putri merebahkan dirinya di ranjang. Jam 5 sore barulah bisa istirahat. Itupun setelah menyapu, mengepel, buang sampah dan cuci piring.Gadis itu menyeka air matanya. Kemudian menghela napas berulang-ulang. Hari ini sungguh melelahkan, menguras kesabaran juga. Tubuhnya terasa lemas dengan hati yang sepertinya hanya tersisa sepotong saja. Sepotong lainnya telah hancur akibat bersabar dari hinaan.Tadi, Bukan hanya disuruh duduk sembari menunduk dan membantu menyiapkan makanan, gadis itu juga disuruh jalan kaki menuju mini market yang letakkan cukup jauh. Bukan hanya sekali, tetapi 5x. Membeli kacang kulit, minuman kaleng, kacang kulit lagi, minuman kaleng lagi dan terakhir membeli permen dengan harga 5000 rupiah. Harus di tempat yang ditentukan Dina, sebagai bukti, wanita itu meminta struk pembayaran.Bukan hanya malu karena bolak-balik, Putri juga malu karena menjadi pusat perhatian di jalan maupun di