Share

Bagian 3 : Di Rumah Sendirian

***

Putri berjalan di belakang Amalia menuju ke ruang makan untuk sarapan bersama. Sebenarnya gadis itu enggan karena insiden semalam, saat Dina dan Dira menolak makan bersama dengannya, akhirnya Radit dengan tegas memarahi dua orang itu. Ia merasa tidak enak hati dan meyakini setelah ini pembalasan dendam pasti terjadi. 

"Bu, Putri, silahkan duduk," ucap Radit ramah. Bukan sok ramah, pria itu tau betul bagaimana harus bersikap dengan orang tua.

"Makasih, Nak Radit. Ayo, Put." Amalia menarik tangan Putri. Mereka pun duduk bersisian di sisi Diana, berhadapan dengan Radit, Dina dan Dira. Dua wanita dewasa itu menatap sinis pada Putri, membuat gadis itu hanya bisa menunduk, bukan takut, tetapi menghormati, biar tidak dikatai menantang masalah.

"Nanti Ibu biar Radit yang antar, ya, sekalian searah sama kantor dan sekolah Diana," ucap Radit ramah. Ia mengambil piring sodoran Istrinya yang sudah penuh nasi dan lauk pauk, mengucap terima kasih dengan senyuman dan kembali menatap Amalia.

"Makasih, Nak. Maaf, ibu merepotkan."

"Tidak sama sekali, Bu. Ya sudah, Ibu silahkan makan."

"Iya, Nak."

Sarapan pagi pun berlangsung, tanpa ada percakapan, hanya sorot mata tajam Dira dan Dina yang terus mengarah pada Putri. Membuat gadis itu tidak nyaman, tetapi tetap menikmati sarapan karena ini adalah rezeky dari Tuhan.

**

Amalia melepas pelukan. Putri menghela napas berat. Ia menarik napas, menyeka air matanya. Kemudian menatap dengan senyuman manis wajah Ibunya. Sedih sekali akan ditinggal. Namun, keputusan untuk bekerja sudah bulat. Bersabar sedikit lagi menghadapi dua kakak tirinya, setelah ia mendapat gaji dari tempat kerja, akan menyisihkan sedikit untuk membeli rumah biar secepatnya bisa pindah.

"Jaga diri baik-baik," ucap Amalia. Tidak bisa dipungkiri, ia juga sedih berjauhan dari Putri. Pada biasanya mereka akan bersama-sama terus setiap hati. Setelah ini, di rumah kampungnya sana pasti terasa sepi. Hidup sendiri tanpa siapapun menemani.

"Ibu juga jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, kabarin Putri." Air mata gadis itu mengalir deras. Ibu tiri rasa kandung itu sangat berarti buatnya.

"Iya." Amalia beralih menatap Dira dan Dina yang menatapnya dengan malas. Mungkin drama perpisahannya dengan Putri membuat mereka sakit mata, tetapi jujur, berat hati meninggalkan Putri diantara anak-anaknya yang punya sifat pembenci. Seketika ia merasa bersalah dengan ide konyol ini.

"Putri akan baik-baik saja di sini, Bu. Ibu tenang saja." 

Ucapan Radit membuat Amalia menatapnya. Kemudian tersenyum. Ada perasaan lega. Ia berharap kata-kata itu adalah sebuah janji.

Amalia kembali menatap Dira dan Dina. "Ibu pulang dulu. Ibu titip Putri."

Dira dan Dina tidak menjawab.

"Ibu hati-hati," ucap Dina.

"Jaga diri baik-baik," ucap Dira.

"Iya, Nak. Makasih atas perhatian kalian. Ibu pamit." Amalia memeluk Dina dan Dira bergantian. Kemudian memeluk cucunya.

"Cucu nenek sehat terus, rajin belajar dan bahagia selalu, ya."

"Baik, Nek." Diana menjawab mantap dengan senyuman lebar.

"Kita berangkat, Bu," ajak Radit.

"Ya."

"Mas berangkat, Sayang," ucap Radit pada Dina. Pria itu mengulurkan tangan. Sang istri menyalami dengan takjim, memberi senyuman. Kemudian kecupan di pipi sang suami.

"Hati-hati, Mas. Jaga mata juga hati," ucapnya manja.

"Iya." Radit tersenyum. Ia mengecup kening istrinya. Kemudian berjalan ke arah mobil bersama Amalia dan Diana yang sekalian mau berangkat sekolah.

"Dadah!" Dina melambai saat mobil keluar dari garasi, setelahnya berbalik menatap Putri yang sejak tadi juga memperhatikan kuda besi yang membawa ibunya. Tangannya ingin melambai, tetapi diurungkan, takut kalau Kakaknya salah paham.

"Lihat keharmonisan hubungan kami, kan? Ngga ada celah buat pelakor!" Dina berucap sembari mendorong dada Putri mengunakan jari telunjuk, setelahnya ia dan Dira masuk ke dalam rumah. 

Putri diam mematung. Ia tidak mengerti apa maksud ucapan Kakaknya. Pelakor? Ia bukan pelakor, hanya anak seorang pelakor.

***

Rasa sepi membuat Putri ingin menangis. Dira sudah berangkat ke kampus. Sedangkan Dina, Kakaknya itu sudah berangkat ke Butik.

Gadis itu sudah memasukkan pakaiannya ke lemari. Entah, apa yang harus dilakukan lagi untuk membunuh kejenuhan.

Dreet!

Ponselnya bergetar. Ia segera mengambil dan menerima telepon dari Mita, sahabatnya.

"Hallo, Assalamualaikum," ucapnya membuka obrolan.

"Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja, kan?" 

Pertanyaan Mita membuat Putri tersenyum. Perhatian sahabatnya itu tidak berkurang sedikitpun.

"Baik. Kamu?"

"Ngga. Aku kepikiran kamu terus. Janjian mau sama-sama, kok malah pisah."

"Kemauan ibu aku. Ngga bisa nolak." Putri beranjak berdiri. Berjalan ke arah jendela, melihat keluar. Tidak ada pemandangan bagus, hanya tembok pagar yang menjulang tinggi.

"Karena mau balas budi? Ya Allah, kamu kok yo bisa setabah itu, Put." Mereka berangkat satu angkot dan berpisah setelah sampai di terminal. 

"Ya harus. Ibu aja tabah ngurus aku dari kecil, padahal aku anak selingkuhan suaminya." 

"Ya udah, mau cari kerja kapan?" tanya Mita.

"Besok aja. Hari ini mau istirahat dulu."

"Hati kamu sakit, kan?"

Putri tersenyum. Mita sahabatnya, tidak kaget kalau dia tahu seluk beluk kehidupannya.

"Put, Put, padahal udah dua tahun hati dan telinga kamu aman. Malah sekarang mau-maunya kembali ke momen penderitaan." 

Selama 2 tahun, saat Dira lulus dan memutuskan kuliah di kota, hari-hari Putri sangat baik. Telinga dan hatinya aman dari sindiran pedas bahkan bullyan kakak tirinya itu.

"Mau di apa, Mit. Semoga kita cepat dapat kerja, aku bisa nyisikan uang buat beli rumah."

"Aamiin. Put, mumpung di kota, kenapa ngga sekalian nyari ibu kandungmu?" tanya Mita.

Putri terdiam. Sejak bayi bersama Amalia, ia tidak tau seperti apa wajah Ibu kandungnya. Tidak ada jejak yang ditinggalkan pula. Mustahil untuk mencarinya.

"Mita, ibu aku ... ibu Amalia. Ya sudah, sepertinya aku mau jalan-jalan ke dapur. Mau cari kerjaan. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Komunikasi berakhir. Putri menghela napas. Ada rasa ingin bertemu dengan Ibu kandung, tetapi kemustahilan mereka akan bertemu membuat gadis itu enggan memikirkan. Lagian, ia cukup dengan Ibu Amalia, tidak ingin Ibu yang lainnya.

Putri menaruh ponsel di atas kasur. Ia pun berjalan ke luar kamar, menuju dapur. Pertama, ia mencuci piring bekas sarapan, setelahnya menyapu dapur, ruang tamu, kamarnya dan teras. Kemudian dilanjutkan ngepel. Terakhir, menyiram bunga di teras yang hampir layu. Setelah selesai, ia mandi dan memutuskan rebahan di kamar. 

Gadis itu ingin menonton televisi, seperti saat di rumah kampung, selalu membunuh kejenuhan dengan nonton film kartun, sayangnya ia tidak berani memakai fasilitas elektronik di rumah ini. Tahu diri kalau statusnya hanya menumpang, tidak ingin pula dibilang lancang.

Putri menghela napas. Ia merasa kesepian. Ya, kesepian, disaat rumah sebesar ini hanya ada dirinya seorang. Huft!

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status