Share

Bagian 2 : Dapat Teman Kecil

Ceklek!

Saat pintu terbuka, mata Radit langsung bertatapan dengan mata Dina yang tajam. Wanita itu duduk di tepi ranjang.

"Dek, jangan begitu sama ibu." Radit langsung menegur. Sikap istrinya sangat tidak sopan. Pria itu sedikit malu karena merasa gagal mendidik.

"Mas jahat, tau ngga!" Dina mengalihkan pembicaraan, membuat Radit yang tengah membuka kancing kemejanya menghentikan aktifitas. Kemudian menatap Istrinya.

"Jahat kenapa?"

"Kenapa Putri dibolehkan--"

"Masih bahas itu. Astaga, Din. Putri adek kamu. Apa salahnya--"

"Mas tau jelas kalau dia itu bukan adik kandung aku. Aku benci dia. Dia anak pelakor, Mas! Mas sadar, dengan masuknya dia ke rumah kita, terancam sudah keluarga kita."

Radit menghela napas. Ia lelah, bertambah lelah saat istrinya marah-marah. Dina terlalu memojokkan Putri dan menurutnya itu tidak baik.

"Mana Diana?" tanya Radit. Ia mengalihkan topik. Menanyakan anaknya yang berumur 5 tahun, ingin meluangkan waktu untuk bermain.

"Jangan alihkan topik, Mas! Aku sekarang was-was tau ngga. Takut kamu diambil anak pelakor itu!"

Radit menghela napas beratnya. Walaupun Ibu kandung Putri adalah pelakor, tetapi gadis itu dibesarkan dikalangan orang-orang baik, pastilah terdidik dengan sikap dan sifat yang baik juga. Radit tau, kalaupun Putri boleh memilih, ia ingin terlahir dari anak orang baik-baik dan dari sini bisa disimpulkan yang salah bukan anaknya, melainkan peran orang tuanya, tetapi imbasnya sampai ke anak cucu.

Selain karena permintaan Ibu mertua, hatinya pun merasa iba dengan perlakuan buruk yang gadis itu dapat. Ada sedikit rasa simpati. Walaupun ia anak pelakor, ia pasti juga ingin hidup yang baik.

"Mas, malah melamun!" Dina berdiri. Ia bertambah kesal. "Mas, apa mas suka sama Putri?" Terkaan itu membuat Radit menatap datar pada Dina. Istrinya itu suka sekali menuduh. Bukan hanya ke Putri, sekertaris, klien wanita bahkan orang yang tidak di kenal, jika berkomunikasi dengannya pasti dikira ia suka atau selingkuhannya.

"Aku mau mandi." Pria itu berjalan ke kamar mandi.

"Mas, kita belum selesai bicara. Mas!" Dina berteriak, tetapi tidak dihiraukan suaminya. Ia pun mengumpat kata sial sembari menendang ranjang.

**

"Kamu baik-baik di sini, ya."

"Iya, Bu."

Putri tetap tersenyum walau menitikan air mata di pangkuan Amalia. Ibunya besok mau pulang kembali ke kampung. Gadis itu akan sendirian berada di kandang macan yang siap menerkam kapan saja. Namun, semua harus dijalani demi balas budi dan masa depan.

Ia tahu jalan cerita bagaimana ia bisa lahir dan tinggal bersama keluarga Handoyo juga kenapa para Kakaknya selalu jahat padanya, itu karena ia anak selingkuhan Bapaknya yang di taruh di depan pintu rumah saat masih bayi. Amalia sudah menceritakan semua. Wanita yang Putri tahu sebagai Ibunya itu sangat baik. Selain ucapan terima kasih, mungkin dengan ia mengabdi, bisa menebus rasa letih dalam merawatnya dan menebus kesalahan Ibu kandungnya.

"Nantinya, tolong jangan dimasukkan ke hati perlakuan dan perkataan kakak-kakakmu. Nak, ibu melalukan ini untuk kebaikanmu. Di sini kamu punya keluarga yang bisa memantau. Ibu tidak mau kamu salah bergaul." Amalia mengecuk kening Putri. "Tolong maafkan jika ibu egois." Sambungnya.

Putri tersenyum dan menggeleng pelan. "Ibu tidak egois. Makasih atas perhatiannya."

Amalia menyeka air matanya. Ia sungguh berat jauh dari Putri, anak tiri yang sangat ia sayangi. Walaupun dulu awalnya perih menerima anak hasil perselingkuhan, tetapi paras Putri yang cantik menggemaskan mampu meluluhkan hatinya. Hingga kini, paras anaknya semakin cantik, bukan lagi menggemaskan, tetapi menawan, membuatnya was-was jika salah pergaulan. Ia harap, cukup ibunya yang salah langkah, jangan anaknya.

"Patuh sama mas Radit. Jangan buat dia kecewa karena telah mengizinkanmu tinggal di rumah ini."

"Iya, Bu."

"Sebelum dapat kerjaan, kamu bisa bantu beres-beres rumah."

"Iya." Putri menjawab sembari menatap wajah Amalia. Nantinya, ia pasti akan merindukan sosok itu. Kebawelan, perhatian dan senyumannya.

"Put."

"Ya, Bu." Putri beranjak duduk bersila di depan Amalia.

"Kamu ngga ada niatan untuk ... itu ... untuk ... anu nak Radit, kan? Em ... maaf kalau ibu nanyak kayak gini. Hanya ingin melegakan hati ibu saja." Amalia sebenarnya tidak enak hati, tetapi kalimat Dira tentang Putri yang nantinya akan mengait Radit, membuatnya banyak pikiran.

Putri tersenyum. Ia mengerti Anu yang Ibunya maksud. "Bu, Putri ngga ada niatan kayak gitu." Jangankan untuk merebut, untuk tinggal di sini saja gadis itu tidak ada niatan.

Amalia tersenyum. Ia berharap benar-benar tidak ada niatan buruk di hati Putri. Semoga didikkan baiknya selama ini terus melekat di diri anak tirinya itu.

"Ibu percaya sama kamu."

"Makasih, Bu."

Tok-tok!

Ketukan pintu membuat Amalia dan Putri menoleh. Pintu terbuat dari kayu jati itu terbuka, memunculkan sosok gadis kecil yang tersenyum lebar.

"Nenek!" serunya sembari berlari.

"Diana, cucu nenek." Amalia tersenyum. Ia mengulurkan kedua tangannya. Menjemput tangan mungil Diana. Kemudian menarik pelan, membuat Nenek dan cucu itu saling berpelukan.

"Nenek kapan datang?" tanya Diana sambil mendongak di pelukan Neneknya.

"Tadi sore. Jam 5, Sayang. Kamu ke mana? Kok tadi ngga jemput nenek." Amalia berpura-pura merajuk. Diana melepas pelukan. Anak yang berdiri di sisi ranjang itu menatap memelas.

"Maaf, Nek," ucapnya sembari mengatupkan tangan, membuat Amalia gemas. Sedangkan Putri tersenyum melihat tingkah yang lucu itu. "Diana ketiduran di kamar."

"Ngga papa, Sayang. Nenek bercanda." Amalia mengangkat Diana ke pangkuannya. "Kenalin, ini Tante Putri. Dia mau tinggal di sini."

Diana menatap Putri. Yang ditatap, pun tersenyum manis.

"Aku panggil Aunty aja ya, Nek. Teman-teman aku panggil adik mamanya pada Aunty."

"Boleh." Amalia mengangguk setuju, setelahnya mengecup pipi gembil Diana.

"Hay Aunty cantik, kenalkan, aku Diana." Diana mengulurkan tangannya pada Putri.

"Namaku ... ups! Nama Aunty, Putri. Senang berkenalan dengan gadis comel sepertimu," ucap Putri menyambut uluran tangan Diana. Mereka pun bertukar senyuman.

"Aunty cantik sekali, Nek. Mukanya beda dari mama dan Aunty Dira."

Amalia tersenyum.

"Makasih. Diana juga cantik." Putri mencubit gemas pipi keponakannya itu. Baru kali ini mereka bertemu dan dekat. Pasalnya, Putri tidak diberikan izin berbaur saat kumpul keluarga oleh Dina dan Dira.

Diana tersenyum lebar. "Aunty, kita berteman, ya," ucapnya

"Boleh."

Amalia tersenyum lebar. Ia senang Putri diterima Diana. Setidaknya ada teman main anaknya selepas ia mendapat tekanan batin.

"Bu, Ayo makan," panggil Dira di depan pintu membuat Amalia, Diana dan Putri menoleh. "Diana, di sini rupanya. Aunty cariin di kamar tadi, tapi ngga ada.  Ayo kita makan sama-sama." Dira menatap Putri sinis. "Elo, Put, kalau tau diri, jangan makan!" sambungnya dengan nada ketus, setelahnya berjalan pergi.

"Nek, kok aunty Dira galak sama Aunty Putri?" tanya Diana.

Amalia tersenyum. "Selama Aunty Putri di sini, Diana harus temani, ya." Bukannya menjawab, nenek Diana itu malah memberi pesan.

"Iya." Diana yang penurut, pun mengangguk.

"Makasih, Sayang." Amalia tersenyum lebar. Ia menatap Putri, mengelus surai hitam panjangnya. "Berteman baik sama Diana, ya."

"Iya, Bu." Putri mengangguk.

"Ya sudah, ayo kita keluar dari kamar ini. Kita makan malam bersama," ucap wanita berumur 58 tahun itu.

Putri dan Diana mengangguk setuju. Mereka pun berjalan beriringan keluar kamar. Bukannya tidak tahu diri, hanya saja Putri merasa lapar.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status