Share

Mencintai Kakak Ipar
Mencintai Kakak Ipar
Penulis: Kaka Put

Bagian 1 : Masuk ke keluarga baru

***

"Kenapa dia di bawa ke sini sih, Bu?! Bikin sakit mata aja."

"Bukan hanya sakit mata, Kak, sakit kepala juga dan ngga lama bakalan sakit hati."

Dina Amalia dan Dira Amalia, kakak beradik itu menatap tidak suka pada gadis ayu bernama Putri yang duduk menunduk di sisi Amalia, Ibunya.

Putri, 18 tahun yang memutuskan bekerja dari pada melanjutkan kuliah. Bukan karena biaya, lebih kepada tidak enak hati terlalu membebani keluarga tirinya.

Walaupun anak tiri, Amalia sangat menyayangi Putri. Pikiran wanita paruh baya itu sangat bijak membuatnya tidak pilih kasih. Namun, kedua anaknya tidak memiliki pemikiran yang sama. Mereka hanya tahu, Putri adalah anak haram dan pembawa sial karena terlahir dari perempuan selingkuhan Bapaknya.

"Din, ibu berat hati membiarkan Putri ngekos. Rumah kamu besar, pasti ada kamar kosong. Dira tinggal di sini, apa salahnya kalau Putri juga," ucap Amalia dengan lembut. Menghadapi dua anak kandungnya yang keras kepala, wanita itu harus bersikap lembut.

"Salah, Bu!" Dina berucap tegas. Ia menatap Putri yang masih menunduk, menatap tajam adik tirinya yang menunduk sembari meremas jemari.

"Salahnya di mana, Nak?" Amalia masih saja terus memelas. "Dira adikmu, Putri juga." Sambungnya.

Dina menghela napas. Sore-sore waktunya santai, malah harus merasakan hampir darah tinggi karena menghadapi kemauan Ibunya.

Tadi, saat ia dan Dira duduk santai di teras sambil menunggu suami tercintanya pulang, taksi berhenti depan pagar rumah. Tersenyum lebar saat melihat Ibunya turun dari kuda besi itu. Jarang sekali wanita tersayang mau datang berkunjung. Biasanya harus ada drama rengekan atau tipuan sakit, tetapi kali ini tanpa diminta. Sayang, senyuman lebar itu harus hilang saat seorang gadis yang ia benci turun juga dan berjalan bersisian dengan Ibunya.

Semakin datar wajah Dina saat Amalia mengutarakan niatnya datang yaitu untuk menitipkan Putri. 

"Putri bukan adikku, Bu. Dina ngga bisa terima orang asing tinggal di rumah ini."

"Bu, biar dia ngekos aja kenapa? Udah besar gini. Cukup kecilnya aja nyusahin, besarnya tau diri kenapa. Bu, apa Ibu ngga mikir, dengan dia tinggal di sini, keluarga bahagia Kak Dina terancam."

"Maksud kamu apa, Dir?" tanya Amalia.

"Ibu jangan pura-pura ngga ngerti. Ibu jelas tau apa maksud Dira. Harusnya kita semua ngaca dari masa lalu. Gimana Ibunya dia merebut Bapak." Dira terus menyudutkan Putri. Tersenyum miring saat melihat dia yang dianggap anak pelakor itu menyeka air matanya.

"Astagfirullah, Dira, kamu ngga boleh berpikir begitu, Nak. Putri ngga mungkin melakukan itu." Amelia menggenggam tangan Putri. Ia menatap sendu Dira yang berbicara keterlaluan. Selalu itu kata-kata yang terucap untuk memojokkan adik tirinya. 

"Antisipasi boleh, kan? Walaupun Ibu rawat dia dengan baik, beri pendidikan yang bagus, tetapi Ibu harus ingat, di darahnya itu mengalir darah Ibunya yang seorang pelakor. Bisa saja dia mengikuti jejak--"

"Dira, cukup, Nak!" Amalia merasa anak keduanya itu sudah sangat keterlaluan.

"Bu," panggil Putri. Gadis itu mendongak, menatap Amalia dengan mata merahnya. Ia tersenyum tipis, menggeleng menandakan cukup merendah untuknya. Jangan lagi membelanya. "Putri ngekos aja. Ada Mita, kok," ucapnya dengan air mata yang menetes. Niat dari awal ke kota adalah bekerja dan tinggal bersama Mita, sahabat terbaiknya dari kampung. Mereka berdua sudah saling berjanji, tetapi harus batal karena Amalia tidak mengijinkan, Ibu terbaik itu ingin anaknya hidup dalam pengawasan keluarga. Walaupun tidak sesuai dengan hati Putri, demi membalas budi, ia setuju. Walaupun, ia tahu bahwa hidupnya nantinya akan kembali seperti di neraka-banyak siksaan(batin)- yang pasti ia rasakan. 

"Ngga, Put. Ibu ngga rela. Ibu akan tenang kalau ada yang mengawasi kamu." Amalia berucap sembari menyeka air mata Putri.

"Tapi, Bu--"

"Assalamualaikum." Ucapan salam membuat semua menoleh ke arah pintu. Radit Sanjaya, suami Dina datang.

"Waalaikumsalam."

"Sudah pulang, Mas?" tanya Dina sembari berdiri. Kemudian berjalan menghampiri suaminya, mencium tangannya takjim.

"Ya." Pria itu menatap seluruh orang yang berada di ruang tamu. "Loh, ada Ibu." Radit langsung menyalami Amalia dan duduk di sisi Dina. "Kapan datang, Bu?" tanyanya ramah. Walaupun Radit terlihat cuek dan sering bersikap dingin, ia sangat ramah pada orang tuanya dan mertua.

"Baru, Nak Radit. Maaf, ibu ada maksud datang ke sini."

"Apa, Bu?" tanya Radit. Ia melirik ke sisi Amalia, melihat Putri yang menunduk dan koper di sisinya. Ia yakin maksud yang mertuanya bilang itu ada hubungannya dengan gadis itu. 

"Maaf sebelumnya, Nak Radit. Kedatangan ibu ke sini ingin menitipkan Putri. Dia ingin mencari kerja. Tadinya mau tinggal di Kosan, tetapi ibu tidak memberi izin. Dia baru di kota ini. Kalau tinggal di sini ibu tenang karena ada yang bisa memantau."

Radit mengangguk paham. Ia tahu Putri. Adik tiri istrinya yang pendiam. Yang selalu tidak ada saat mereka semua kumpul keluarga.

"Jangan mau, Mas. Nanti semua orang yang ada di rumah ini kena sial," ucap Dira yang membuatnya ditatap Radit. Pria itu tidak mengerti dengan arah ucapan adik iparnya. Sial? Memangnya adik tirinya punya kutukan mengerikan, kah?

"Aku juga ngga setuju, Mas. Mau dipantau atau ngga, darah pelakor sudah mengalir dan mendarah daging, jadi ngga bisa dihilangin dengan pantauan ketat sekalipun," ucap Dina sembari menatap Putri tajam.

Putri mengigit bibir bawahnya. Sakit sekali hatinya. Namun, genggaman erat Amalia membuatnya bertahan.

"Bu, Ibu mikir ngga, sih! Dengan dia tinggal di sini, dia memang tidak mengait suami orang diluar sana, tapi mengait pria di dalam rumah ini, yaitu Mas Radit. Ibu mau Kak Dina mengalami nasib seperti Ibu?" pertanyaan Dira menyentil hati semua orang yang berada di ruang tamu itu.

Dina semakin menatap tajam Putri.

Radit pun menatap Putri dalam diam.

Amalia menutup mata. Mengenggam semakin erat tangan Putri. Pedih hatinya saat anak yang tidak tau apa-apa harus mendapat hukuman atas kesalahan kedua orang tuanya. Ia tahu ini akan terjadi, tetapi niat agar Putri mendapat pantauan supaya tidak salah bergaul membuatnya egois. Dalam hati, ia terus mengucapkan kata maaf untuk anak tirinya itu. Sedangkan Putri, gadis itu berusaha mengatur napasnya. Dadanya terasa sesak.

"Bu," panggil Radit.

Amalia membuka mata, menatap sendu menantunya.

"Putri boleh tinggal di sini."

Amalia tersenyum. Namun, mata Dina dan Dira membulat sempurna.

"Mas, kenapa dibolehin?" tanya Dina yang tidak terima. 

"Iya, Mas. Nanti kalau mas digaet dengan dia gimana?" Dina ikut berargumen.

Radit menatap Putri yang juga menatapnya. Terlihat tatapan gadis itu seperti tidak percaya. Ya, Putri tidak percaya ia akan diperbolehkan tinggal di sini. Pasalnya dua Kakaknya menolak, tetapi Kakak iparnya malah menerima. Bingung saja.

"Mas, pokonya aku ngga setuju," ucap Dina. "Ibu, segera bawa Putri pergi dari rumahku."

"Dek, ngga boleh seperti itu." Radit menegur Dina yang kasar. "Dira boleh tinggal di sini, Putri juga adekmu, kan, biarkan dia juga tinggal di sini." 

"Ngga, Mas. Nantinya pasti akan banyak masalah."

"Din, selagi kita bisa mewujudkan permintaan orang tua, kenapa ngga kita lakuin. Kamu juga jangan pernah menghakimi seseorang seperti itu, ngga baik." Radit memberi pengertian buat istrinya.

"Tapi, Mas--"

"Cukup! Mas kepala keluarga, mas yang mengambil keputusan. Putri tinggal di sini. Dia juga keluarga kita. Dia anak Ibu, adikmu, adik iparku. Biar sedikit, aku punya tanggung jawab atas dia. Putri akan mendapatkan hak sama seperti Dira."

Dina terdiam, ia menatap tajam Putri. Tangannya mengepal. Ingin sekali menjambak rambut gadis itu.

"Makasih, nak Radit. Ibu berhutang budi sama kamu, Nak."

"Bu, jangan seperti itu. Apapun yang membuat Ibu bahagia, selagi itu bisa Radit wujudkan, akan terwujud."

Amalia tersenyum lebar. Ia merangkul Putri yang menunduk lagi. Mendengar ia diterima di rumah ini, bulu kuduknya berdiri. Ia merinding. Apalagi, tatapan tajam dua kakaknya yang mematikan, membuatnya merasa berada di situasi horor.

Dina berdiri, menatap tajam pada Amalia. "Bu, kalau sampai terjadi apa-apa dengan keluargaku karena Putri, Ibu yang harus bertanggung jawab!" Setelah mengucapkan kalimat penuh penekanan itu, Dina dengan tidak sopan berjalan pergi ke kamarnya. 

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
UlfSanita
Ibu yang bijak. Seandainya semua ibu sambung seperti itu ❤️❤️ Lanjut Thor ceritanya 💪 Penisirin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status