Ramon berhadapan dengan Sergio anak buahnya yang telah bekerja dengannya semenjak ada di Indonesia. Hampir 5 tahun lamanya. Dulu Ramonlah pertama kali yang menolongnya dari kematian dalam tawuran antar geng mafia jalan di Argentina. Kemudian Ramon menyuruhnya untuk bergabung dalam organisasi milik Alfaro. "Kenapa kau melakukan semuanya padaku Sergio?" tanya Ramon dengan mata tajam dan rahang mengeras menahan kemarahan yang begitu besar.Sergio menentang mata Ramon dengan berani."Semua demi kejayaanmu. Aku tak mau kau terlihat lemah," "Lemah katamu? Marco dan Ganis adalah kelemahanku?" kata Ramon serasa mencengkeram buku-buku jarinya."Dari dulu aku mengagumimu. Aku tak mau apa yang ada pada dirimu hilang. Tegas, dominan dan tak tersentuh," ujar Sergio tegas."Apakah menurutmu rasa sayang dan cinta yang kurasakan adalah kelemahan yang harus disingkirkan?" tanya Ramon lagi. Kini rasa amarah dalam dirinya sedikit mereda. Ia memandang Sergio kasihan."Ya mereka harus disingkirkan karen
Malam itu sepulang dari bandara Ramon kembali ke Bungalow. Pak Dirman sudah menyambut kedatangan Ramon dengan wajah menyiratkan kekhawatiran."Apa benar Ganis telah mengalami musibah kemudian menghilang?" tanya pak Dirman. Ramon hanya mengangguk muram. "Darimana Pak Dirman tahu?" tanya Ramon duduk di sofa ruang tamu. "Dari teman Non Ganis yang bernama Shane. Dia sempat mencurigai ku menyembunyikan Non Ganis. Sumpah saya tidak tahu apa-apa. Saya pulang kampung. Saat saya kembali orang orang pada ngomong kalau anda sempat keluar mencari-cari non Ganis. Shane datang dan menanyakan non Ganis juga," terang pak Dirman dengan wajah sedih."Apa kau tahu kalau Ganis hamil?" tanya Ramon kini dengan nada kesal.Mata pak Dirman melebar. "Non Ganis hamil? kenapa dia tak mengatakannya pada saya," kata orang tua itu sedikit terkejut. Ramon melihat ekpresi pak Dirman sama sekali tak dibuat-buat. "Kau yang mengantarkannya ke klinik. Kau juga kan yang merawatnya," sahut Ramon ketus."Maafkan aku. S
Ramon tak melanjutkan tidur. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dari Ganis dengan mulai melihat dan menilai kandidat calon CEO yang dikirim Mara. Hampir pukul 7 ia telah memutuskan pilihannya. Ia segera mengirimkannya pada Mara. Ia sudah mempercayakan semuanya pada sekretarisnya itu. Selanjutnya ia akan fokus mencari Ganis sampai ketemu. Bahkan sampai ke ujung dunia pun. Mungkin ia akan menyisir setiap tempat atau mungkin keliling Nusantara. Ia bersumpah tak akan berhenti mencari Ganis. Ia yakin Ganis masih hidup di suatu tempat. Sampai di kantor Mara menyambutnya dengan pandangan bertanya-tanya."Kenapa anda tidak berangkat? bukannya pernikahan anda berlangsung dalam hitungan jam?" tanya Mara berdoa semoga tak terjadi apa-apa dengan rencana bosnya itu."Pernikahanku akan digantikan oleh sepupuku Tobias," jawab Ramon.Mara tampak bingung."Jangan khawatir Mara. Sofia bukan ratu di hatiku. Kami memang tak bisa di takdirkan bersama,"Mara hanya menggeleng. Ia tak bisa berpendapat bany
Pagi itu dalam balutan gaun putihnya Sofia berjalan bergandengan tangan bersama ayahnya menuju altar pernikahan. Tobias memandang Sofia dengan serius. Para tamu hening dalam kekhidmatan. Sofia ingin ini adalah mimpi tapi begitu ayahnya melepaskan tangannya ia tahu ini bukan mimpi. Pendeta mulai membimbing keduanya mengucapkan sumpah pernikahan. Tobias mengucapkan dengan lancar. Sofia berusaha untuk terlihat tenang. Dengan menghela nafas ia pun mengucapkan janji pernikahan. Pendeta pun mulai doa pemberkatan."Mempelai pria boleh mencium mempelai wanita," ucap pendeta. Tanpa canggung Tobias menunduk dan mencium bibir Sofia. Ciuman yang terlalu singkat tanpa kehangatan. Sofia sungguh bersyukur karena tak perlu berlama-lama kontak fisik dengan pria yang lebih muda 4 tahun di bawahnya. Para hadirin pun bertepuk tangan. Tepuk tangan yang garing. Para undangan masih sedikit terkejut karena mempelai pria yang diundangan tidak sama dengan mempelai pria di altar. Semuanya masih sibuk berasums
Paket makanan yang dipesan Sofia akhirnya datang. Sofia sendiri yang menerimanya. Ia tak ingin para pelayan sampai menyentuh pesananya. Dengan antusias Sofia segera menikmati makanannya di meja makan keluarga. "Ini pesanan terakhirmu di sini Sofia " ucap Sabina dengan wajah sinis."Kau tak bisa melarangku. Toh ini uangku sendiri,"kata Sofia mencoba tak peduli. Sabina mendengus. "Ini bukan rumahmu. Kau menantu keluarga ini sekarang. Kau harus menuruti semua aturan disini ,""Ini hanya pernikahan bisnis. Jangan samakan,"bantah Sofia santai.Sabina langsung menggebrak meja."Bahkan Ramon menolakmu meskipun pernikahan bisnis. Harusnya kau bersyukur Tobias masih mau menikahii jalang. Jadi sekarang dengarkan baik-baik." ucap Sabina tanpa mau dibantah. Ia tak ingin Tobias terjebak dengan wanita macam Sofia. "Pertama kau tak boleh memakai ponsel. Tak boleh keluar kecuali untuk belanja keperluan dapur. Fungsimu di sini adalah membantu bibi Carmen mengurus rumah besar ini. Jangan pernah
Hari itu Ramon berpamitan dengan Mara. Mata Mara menatap pria itu dengan tatapan prihatin. Kemarin Ramon telah melantik CEO untuk perusahaan hasil interview beberapa waktu yang lalu."Aku sudah bicara dengan CEO yang baru untuk berdiskusi denganmu jika diperlukan," kata Ramon."Pak aku tak habis pikir seperti apa wanita yang bisa membuat anda meninggalkan perusahaan dan pernikahan anda seperti ini," ucap Mara menggeleng."Seseorang yang juga awalnya aku tak mengira. Aku tak akan kembali ke perusahaan sampai gadis itu bisa aku temukan dan bisa hidup bersamanya," kata Ramon dengan wajah muram."Apakah ini berkaitan dengan adik anda Marco?" Ramon hanya diam tapi sinar matanya mengiyakan. "Aku percayakan jalannya perusahaan ini padamu Mata. Kau bisa menghubungiku jika kau sudah mentok tak bisa mengatasinya. Aku harap itu tak terjadi," kata Ramon akhirnya mengulurkan tangannya. "Lantas pak Ramon akan menetap atau bagaimana?" tanya Mara masih sangat mencemaskan bosnya itu."Aku akan berke
"Maaf anda memanggil siapa? apa aku mengenalnya?" ucap Ganis mencoba untuk tetap terlihat tenang. Ramon berjalan mendekati Ganis. "Nis jangan berpura-pura. Tak mungkin kau melupakan aku," ujar pria itu menatap ke dalam mata gadis itu. Ganis segera menghindari tatapan Ramon. Masih sama tatapan yang membuatnya terlena. Ia tak boleh membiarkan sesuatu yang dikuburnya dalam-dalam mengusik kehidupannya lagi. Entah apa yang terjadi pada Ramon dan pernikahannya."Maaf aku bukan Ganis. Mungkin aku agak mirip dengannya. Kau salah orang. Aku harus kerja. Silahkan ambil motor anda, bayar di kasir dan pergilah," tukas Ganis segera menjauhi Ramon. Ramon langsung meraih tangan Ganis dan menariknya."Tidak. Kau Ganis. aku tak mungkin salah," ucap Ramon dengan penuh penekanan.Ganis mencoba untuk tetap santai tak terbawa perasaan. "Sudahlah! Mungkin. Anda terlalu merindukannya hingga melihat wajah gadis itu di wajahku. Saya tegaskan sekali lagi. Saya bukan Ganis tapi Gendis," ungkap Ganis mencoba
Ramon menyesap anggurnya dengan dada sesak. Ingatan dari ucapan Ganis berulang-ulang berputar di otaknya. Ia terus minum meskipun sudah mabuk. Hatinya terasa sakit dan remuk. Begini menyakitkannya patah hati itu. Baru pertama kali seumur hidupnya ia merasakannya. Kenapa pada Ganis? gadis biasa dengan standar biasa yang berani-beraninya memporak-porandakan dirinya. Begitu mudahnya gadis itu bilang kalau cintanya sudah hilang. Malah menuduh cinta yang ia rasakan adalah cinta yang semu dan tak nyata. Ia memang tak pernah jatuh cinta seperti pada Ganis sebelumnya. Mengapa di usianya yang sudah hampir kepala 4 ia baru mengalaminya. Selama ini ia selalu menganggap cinta sejati yang dialami dan dikatakan orang hanyalah suatu sia-sia. Kini rasanya bernafas saja susah. Hatinya mulai memanas rasa sakit itu kini menjadi kemarahan. Ia marah pada dirinya sendiri. Kenapa tidak sedari awal ia menyadari perasaannya yang sesungguhnya. Kenapa ia begitu bodoh menuruti saran Ganis untuk tetap bersama S