Aku sudah duduk di sini. Aku tidak sendiri. Sengaja aku membawa Aksa karena dengan begitu aku merasa lebih tenang. Ini sudah sore. Aku ke sini bukan tanpa alasan, melainkan mau mengembalikan wadah yang berisi makanan darinya. Wadah itu tidak kubiarkan kosong. Aku mengisinya dengan buah. Aku tidak mau merepotkan Bik Tun untuk masak-masak. Lagian, di rumah ini hanya ada dua orang. Mereka bisa memasak makanan sendiri. “Ini rumah Mama dulu?” tanya Aksa kepadaku. “Ini rumah nenek,” bisikku. Aku terlalu ragu untuk mengenalkan Aksa kepada Ibu. Namun, bagaimanapun rasanya mereka memang perlu saling mengetahui. Kukira Ibu menjaga toko seperti biasa, ternyata tidak. Dia baru pulang dari rumah tetangga yang memiliki bisnis katering. Rumah dengan tiga kamar ini terlihat sangat sepi dan suram. Aku tidak melihat tanda-tanda ada Mbak Tasya di sini. Jejeran sepatunya yang biasanya ada di teras pun juga nggak ada. Apa sudah dipindahkan ke tempat lain? Ibu menghampiri kami sambil membawakan dua cang
Sejak tiga hari lalu bertemu Ibu, rasanya ada yang bekecamuk hebat di dalam sana. Apa ini semua salahku? Apa karena keegoisanku, Ibu harus menderita? Namun, aku sangat yakin ini bukan kesalahanku. Meski begitu, melihat kondisi Ibu yang seperti itu membuatku kepikiran. Senggaknya aku perlu mengembalikan toko agar tetap dikelola Ibu. Aku perlu mencari uang tambahan selain dari bisnis online. Tapi, aku nggak mungkin mengambil part time karena ada Aksa yang harus kuurus juga. “Bahasa inggrismu bagus, kenapa nggak coba jadi penerjemah aja? Atau bikin artikel internasional?” saran Mas Abi ketika aku bertanya mengenai pekerjaan yang bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. “Penerjemah jurnal juga lagi banyak dicari. Kalau kamu beneran serius mau menekuni, bisa kukenalkan sama sepupunya Rangga. Kebetulan dia juga menggeluti dunia itu.” Ibarat dapat durian runtuh, mataku langsung berbinar. Solusi yang ditawarkan Mas Abi terdengar menggiurkan. Kenapa aku nggak kepikiran, ya? Aku punya keah
Sejenak kurebahkan kepalaku di sofa ruang tamu. Rumah lagi sepi. Seperti biasa, sore ini Bik Tun menemani Aksa yang sedang mengaji. Kepalaku penat, ditambah lagi si pecundang yang menyerang lokerku. Nggak tahu aja kalau aku punya sahabat yang pintar melacak, siapa lagi kalau bukan Sherin. Dia paling jago stalker orang. Hanya bermodal satu nama, dia bisa menemukan sampai tujuh keturunan sebelumnya. Suara bel berbunyi menyadarkanku dari lamunan. Sebenarnya aku malas sekali untuk berbasa-basi dan memasang senyum palsu untuk menyambut tamu. Namun, hanya aku di sini, tidak mungkin kutolak. Aku membukakan pintu dan siapa lagi yang akan datang ke sini kalau bukan wanita yang masih terobsesi dengan suamiku? “Mas Abi masih di kampus,” ucapku langsung. Kuharap dia langsung pergi. Namun, tidak. Dia malah nyelonong masuk dan duduk begitu saja. “Aku mau ketemu kamu.” Ketemu aku? Untuk apa? Aku kembali ke tempat dudukku dan kini sudah berhadapan langsung dengannya. Kakinya disilangkan dan tang
Aku masuk ke kamar dan membersihkan lukaku sendiri. Rasanya sakit sekali ketika alkohol menyentuh lukaku. Lebih sakit saat air mataku tidak mengering sejak tadi. Aku tidak tahu ke mana Mas Abi membawa Rania. Yang jelas, dia memilih meninggalkanku dibanding menenangkan wanita yang katanya hanya sahabatanya itu. Kuyakin semua wanita yang ada di posisiku akan merasa sakit hati. Dia tahu Rania sakit dan malah sengaja menunjukkan kalau dia mencintainya. Bukankah itu salah? Harusnya Mas Abi bisa tegas agar Rania paham bahwa yang ada dipikirannya itu salah. Apa memang Mas Abi memiliki perasaan untuknya? Rania memang lebih cantik dan seksi daripadaku. Jika dia lulusan master di Australia, sudah pasti dia juga memiliki otak yang nggak bisa diremehkan. Bukankah ini semua perbandingan yang sempurna? Bibirku terasa perih dan kepalaku pusing. Sakit fisik, hati, dan mental, semuanya sudah bercampur menjadi satu. Kukira Mas Abi memang benar mencintaiku. Kukira dia akan memprioritaskan diriku di atas
Saat menuju datang bulan ini aku benar-benar diuji habis-habisan. Enggak di rumah, enggak di kampus, kurasa semuanya sedang berkoalisi untuk menggebukiku satu per satu. Hari ini aku benar-benar lelah mengurus administrasi dan ke sana sini menemui dosen hanya untuk tanda tangan. Sekarang aku istirahat sebentar di perpustakaan. Tempat ini memiliki sirkulasi AC paling bagus di antara ruangan lain. Selain itu, aku juga mau mencetak satu jilid draft lagi di sini. Tepat setengah jam sebelum perpustakaan tutup, aku keluar. Beruntung kali ini nggak ada orang iseng yang mengerjai lokerku. Aku masih belum ada waktu untuk mengurusi pecundang itu. Nanti dulu. Aku selesaikan skripsi ini, setelahnya dia nggak akan kulepaskan begitu saja. Aku sudah memastikan lokerku aman dan tepat berada di dekat CCTV. Kalaupun ada yang mau macam-macam, aku bisa langsung meminta bukti. Sebelum pulang, aku mau ke toilet dulu. Ada tuntutan dari dalam tubuhku untuk segera dikeluarkan. Nggak baik nahan pipis. Iya, kan?
Aku meminjam ponsel Bu Ratmi untuk menghubungi Sherin. Aku hapal nomornya. Dia langsung menjemputku karena jarak kosnya dan kampus sangat dekat. Aku menjadi benalu lagi di kosannya. Aku minta dibelikan makan dan meminjam bajunya untuk berganti. Pakaianku sudah tidak nyaman dan membuatku teringat dengan suasana di toilet tadi. Aku benar-benar seperti kucing yang baru keluar dari got, sangat menyedihkan. “Rin, aku cerita besok aja, ya, aku harus segera pulang.” Kulihat jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Iya. Pak Abi tadi juga ngehubungi gue. Gue kira lo lagi ke kafe atau ke mana untuk fokus ngerjain skripsi.” Ternyata dia masih peduli denganku. Aku meminjam uang Sherin untuk membayar taksi pulang. Saat ini, kepalaku benar-benar penat dan rasanya ingin meledak. Aku bersumpah, besok aku akan mengurus dan mengadukan ini ke pihak kampus. Aku sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam. Mas Abi yang membukakan pintu untukku. Dia memberikan tatapan cemas yang membuatku ingi
“Mama kemarin ke mana?” Pertanyaan itu yang kudapat prtama kali di pagi hari ketika Aksa melihatku. “Mama lagi kuliah.” “Sampe malam?” Aku mengangguk. Dia kemudian memelukku. “Aksa kangen,” katanya. Anak ini benar-benar pintar sekali membuatku terharu. “Nanti kita main, ya. Mau ke mana? Makan es krim? Ke playzone? Atau ke taman?” “Beneran?” Dia terlihat sangat antusias dan berjingkat-jingkat. Aku yang salah. Aku yang belum bisa membagi manajemen waktu. Kalau urusan skripsi dan Aksa saja membuat keteteran, kapan aku bisa mulai menjadi penerjemah? Aku yakin hari ini bisa leha-leha. Aku hanya perlu menunggu jadwal sidang. Aku ke kampus pun hanya untuk mengambil barang-barangku. Pagi ini sama seperti kemarin, aku dan Mas Abi masih sama-sama diam. Percayalah momen seperti ini lebih menakutkan daripada beradu argumen membahas pendapat yang berbeda. “Kita ke kampus bareng, motormu masih di sana, kan?” tanya Mas Abi. “Nggak usah, aku bisa pesen ojek online, nanti pinjam uang Bik Tun.”
Jika ini mimpi maka akan kubenci orang yang membangunkanku. Ini terlau indah dan terlalu membuatku seperti terbang. Aku belum pernah merasakannya, tapi kurasa ini surga dunia. Kami, aku dan dirinya sudah bersatu. Tidak ada yang memisahkan kami. Setiap deruan napasnya bisa kunikmati dengan jelas, begitu pula denganku. Aku tidak menjamin masa depan bahagia. Aku juga tidak tahu jika besok, lusa, satu minggu, satu bulan, atau satu tahun ke depan kami akan sama-sama menangisi kesalahan dan pertengkaran. Malam ini aku merasa menjadi wanita paling bahagia. Setiap sentuhannya membuatku seperti terbang ke langit ke tujuh. Dia membawaku ke suatu tempat yang hanya kami berdua yang tahu. Aku merasa begitu dicintai dan disayangi. Dia memperlakukanku dengan sangat lembut sampai membuatku tak sadar jika masih di bumi. Di saat kesadaranku kembali, barulah aku sadarbetapa memalukannya apa yang kami lakukan. Aku seperti kehilangan rasa malu. Tapi, di depan suami memang tidak perlu menunjukkan rasa malu